Masjidilaqsa punya sejarah panjang. Saat dipegang umat Islam, masjid tempat Nabi Muhammad Saw melakukan mikraj ke langit itu menjadi simbol toleransi.
Tagar.co – Suatu saat Nabi Isa pergi dari kota kelahirannya ke Yerussalem dan masuk Masjidilaqsa. Dia marah karena masjid itu begitu mewah, tetapi akhlak Bani Israil rusak.
Bukan masjidnya yang membuat Nabi Isa marah, namun perilaku umatnya yaitu Bani Israel. Kemegahan bangunan masjid mestinya diiringi dengan kemegahan dan kemuliaan akhlak jemaahnya.
Di luar masjid banyak sekali bangku-bangku lintah darat. Nabi Isa keluar dari masjid itu dan mengutuk bahwa masjid itu akan dihancurkan Allah sambil menendangi bangku-bangku lintah darat.
Kutukan itu menjadi kenyataan pada tahun 70 Masehi ketika Kaisar Romawi Titus menyerbu Palestina dan menghancurkan semuanya. Itulah yang dimaksud Al-Quran ayat 4 dan 5 Surah Al-Isra’. Maka jangan sombong dengan hanya bermegah-megahan pada bangunan fisik masjid.
Baca juga: Sulitnya Mendidik Bani Israel
Setelah itu, oleh orang Roma, Yerussalem diubah menjadi koloni Roma dan namanya diganti Aelia Capitolina. Artinya kota dari Aelius, raja dari Roma. Ini penting karena pada waktu Yerussalem (Al-Quds) jatuh ke tangan umat Islam, orang Arab itu menyebutnya Ilya. Maka perjanjiannya pun disebut Perjanjian Ilya. Perjanjian antara Umar dengan Patriach di Yerussalem.
Begitulah keadaannya sampai Konstantin masuk Kristen pada abad ket Masehi. Hellena, ibu Konstantin, pergi ke Yerussalem mencari-cari bekas Nabi Isa, tapi tidak ada. Ada yang mengatakan, mungkin salibnya ada di bawah sebuah tumpukan sampah yang menggunung. Diperintahkanlah untuk digali.
Ternyata, katanya ada. Maka di tempat itu didirikanlah gereja, yang disebut The Holy Sepulchre atau Gereja Kebangkitan Kembali. Maksudnya, kebangkitan kembali Isa Al-Masih dari kuburnya lalu naik ke langit.
Di tempat itu dipercaya orang Kristen sebagai tempat Nabi Isa dikubur. Lalu pada hari ketiga bangkit ke langit, seperti kepercayaan Kristen.
Kemudian Hellena memerintahkan tentaranya supaya mencari tempat paling suci bagi agama Yahudi sebagai ajang balas dendam. Maka, Hellena memerintahkan agar inti dari Masjidilaqsa yang didirikan Nabi Sulaiman menjadi tempat pembuangan sampah selama ratusan tahun.
Toleransi Umat Islam
Sampai akhirnya Yerussalem jatuh ke tangan umat Islam. Banyak sekali peristiwa sangat penting dalam proses penyerahan Yerussalem kepada umat Islam. Termasuk perjanjian yang menjamin kebebasan beragama.
Mula-mula orang-orang Kristen melanjutkan politik Roma yang tidak mengizinkan sama sekali Bani Israil tinggal di Yerussalem. Jangankan di Yerussalem, di seluruh Palestina pun tidak. Saat itu disebut sebagai permulaan zaman Diaspora, yaitu zaman ketika orang Yahudi mengembara ke seluruh muka bumi tanpa tanah air. Terlunta-lunta.
Jadi, ketika Yerussalem menjadi kota Kristen, para pemimpin Kristen tidak mengizinkan orang-orang Yahudi tinggal di Yerussalem. Tetapi ketika Umar menerima kota itu dan membuat perjanjian, justru Umar mengatakan, “Ini adalah kota suci tiga agama, karena itu orang Yahudi boleh tinggal di sini.”
Baca juga: Saladin Camp: Misi Membebaskan Baitulmaqdis Kembali Digelar
Setelah terjadi tarik-menarik, akhirnya dicapai kompromi, bahwa orang Yahudi boleh tinggal di sana, tetapi harus dipisahkan dari orang Kristen.
Maka, Yerussalem pun dikapling-kapling. Ada kaplingnya Yahudi dan ada dua kaplingnya Kristen, yaitu Armenia dan Ortodoks. Di Yerussalem sekarang, masih ada sisanya yang disebut Quarter: Jewis Quarter, Armenian Quarter, dan Greek Quarter. Sedangkan inti kota itu ada di tangan umat Islam atau Moslem Quarter.
Satu peristiwa yang penting sekali ialah ketika Umar mengatakan kepada Patriak setelah selesai membuat perjanjian bahwa dia mau salat Syukur kepada Allah atas dibebaskannya Yerussalem.
Baca juga: Nenek Moyang Nabi Muhammad dan Keistimewaan Keluarganya
Patriak mempersilakan supaya sembahyang di gerejanya. Karena perjanjian tadi diadakan di Gereja Kiamat yang orang Inggris menyebutnya sebagai Gereja Makam Suci. Tapi Umar menolak. Lalu dia keluar dan pergi ke tangga agak jauh dari gereja itu dan di sanalah dia shalat sendiri.
Setelah selesai, dia mengatakan kepada Patriak, “Pak Patriak, tahukah Anda mengapa saya tidak mau sembahyang di gereja?”
“Ya, mengapa?” jawab Patriak.
“Kita ini masih ada dalam suasana perang, kalau rakyat saya tahu bahwa saya habis sembahyang di gereja Anda, mereka akan mengira gereja ini sudah menjadi masjid. Anda akan kehilangan gereja. Karena itu saya sembahyang di sana.”
Kemudian Umar menengok pada tentaranya, “Hai tentaraku, bila tempat bersejarah di tempat ini diperingati dengan pendirian masjid, saya pesan, masjid itu tidak boleh besar dan tidak boleh ada salat Jumat, tidak boleh ada azan, karena ada gereja itu, dan bangunannya tidak boleh lebih tinggi dari gereja itu.”
Itulah wasiat Umar. Sekarang masjid itu masih ada dan bisa dilihat di depan gereja di Yerussalem. Itulah toleransi yang ditetapkan Umar agar semua rukun aman damai sejahtera.
Kemudian Umar bertanya kepada Patriak, “Di mana bekas masjidnya Nabi Sulaiman, karena Nabi kami dulu pernah berjalan di sini dan bertemu dengan semua nabi dan beliau menjadi imam.”
Mendengar itu, Patriak merasa ngeri dan ketakutan, pasti Umar nanti marah. Karena tempat itu sudah menjadi tempat sampah. Maka oleh Patriak ditunjukkanl tempat-tempat yang bagus.
Umar menolak, “Bukan ini.” Akhirnya, terpaksa ditunjukkan di Bukit Muria, yang harus dicapai dengan merangkak untuk sampai atas.
Umar pun masuk kompleks masjid itu dan dilihatnya di atas batu suci sampah menggunung yang dilemparkan orang-orang Nasrani sebagai penghinaan kepada orang Yahudi. Maka, Umar pun betul-betul marah kepada Patriak dan memerintahkannya untuk memulai pembersihan.
Setelah bersih, Umar mengatakan kepada salah satu sahabatnya, namanya Ka’ab bin Ahbar, “Di mana kita sembahyang?”
Ka’ab menunjuk tempat di sebelah utara batu suci yang baru dibersihkan itu. Umar marah karena seolah-olah Ka’ab yang memang bekas orang Yahudi itu menginginkan agar salat masih menghadap sakhrah meskipun juga menghadap Makkah.
Baca juga: Mitsaqan Ghalizhan, Tiga Perjanjian yang Kokoh
Maka, Umar pun memilih tempat sebelah selatannya. Sembahyang menghadap Makkah dengan membelakangi tempat suci orang Yahudi tadi. Yang disebut sakhrah itu notabene adalah kiblatnya Nabi Muhammad Saw. sebelum pindah ke Makkah.
Tempat itulah yang sekarang didirikan masjid oleh Ali Ibnu Malik yang kita sebut Masjid Aqsa. Masjid itu berdiri 1.000 tahun yang lalu, sama dengan Borobudur. Sedangkan sakhrah tadi juga diperingati dengan sebuah monumen yang disebut Qubbat Al-Sakhrah yaitu monumen Islam yang paling awal, masih berdiri sampai sekarang dan paling indah. (#)
Disarikan dari buku khotbah Jumat Nurcholis Majid tentang Isra Mikraj.
Penulis Aji Damanuri Penyunting Mohammad Nurfatoni