
Di tengah rinai hujan dan kenangan yang tak tuntas, dua hati yang pernah retak bertemu lagi. Masih bisakah mereka menari bersama, atau cukup saling diam dan memahami?
Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik, Jawa Timur.
Tagar.co – Awan kelabu menggantung di langit senja, seolah mencuri sisa cahaya sebelum malam benar-benar datang. Udara lembap menggigit kulit, membawa aroma tanah basah menjelang hujan yang sebentar lagi turun.
Di bangku kayu taman kota, Lara duduk sendiri. Tubuhnya tampak ringkih di bawah langit yang menghitam. Jemarinya menggenggam ujung jaket tipisnya erat-erat, seolah takut angin akan mengembus sisa kehangatan yang masih ia simpan.
Hujan mulai turun rintik-rintik. Tetesnya jatuh di bahunya, meresap ke rambut hitamnya yang tergerai seperti aliran sungai kecil. Air itu menyamarkan sesuatu yang lain—yang lebih dalam dari sekadar dingin: luka yang belum pulih. Matanya kosong, menatap jalanan yang mulai sepi. Bayang-bayang orang berlarian mencari tempat berteduh hanyalah latar kabur dalam kesendiriannya.
Namun Lara bergeming.
Ia membiarkan hujan menyentuhnya, membiarkan dingin menyusup ke hati yang telah lama membeku. Mungkin, jika ia diam cukup lama, rasa sakit itu akan mati sendiri—seperti lilin yang kehabisan sumbu.
“Kamu masih menyukai hujan?”
Suara itu—serak, dalam, dan terlalu dikenalnya—membuat napasnya tercekat. Ia mengenali suara itu bahkan sebelum sempat menoleh. Suara yang pernah membisikkan harapan, lalu mematahkan semuanya dalam satu kalimat perpisahan.
Perlahan, ia menoleh.
Dan di sana, dalam cahaya senja yang suram, berdiri Reza. Rambutnya sedikit lebih panjang, matanya masih sama: hangat, namun menyimpan banyak tanya. Bajunya basah di bagian bahu. Tampaknya, ia sudah cukup lama berdiri mengamatinya.
Baca cerpen Nurkhan lainnya: Amplop Lusuh yang Membuat Tono Tercegat
“Atau sekarang kamu lebih suka menghindarinya?” lanjut Reza, suaranya setengah tertahan.
Lara tak segera menjawab. Pandangannya menembus lelaki itu, menabrak kenangan yang datang seperti badai: tawa mereka di tengah hujan, tangis yang bersembunyi di balik payung, janji-janji yang menguap seperti kabut pagi.
“Aku tak pernah bisa memilih, Reza,” kata Lara, akhirnya. “Hujan datang begitu saja. Seperti kamu.”
Rintik hujan makin deras, seolah ikut larut dalam diam mereka—diam yang lebih jujur dari ribuan kata.
“Aku tak pernah membencinya,” bisik Lara nyaris tak terdengar, suaranya larut bersama desir angin dan tetes hujan. Ia enggan menatap Reza. Bukan karena benci, tapi karena ingatan itu masih terlalu tajam.
Reza tersenyum kecil—senyum yang dulu bisa meluluhkan hati Lara, tapi kini hanya meninggalkan getir. Ia duduk pelan di sampingnya. Udara yang dingin seketika terasa sedikit hangat. Hanya suara hujan yang bicara, mencipta irama yang pernah sangat akrab.
Waktu berjalan. Sekian tahun berlalu. Seharusnya perasaan itu telah reda. Tapi ternyata tidak. Wangi Reza masih sama—aroma yang dulu membuat Lara merasa aman.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Lara pelan, takut akan jawaban yang ia bayangkan: bahwa Reza hanya singgah sebentar, sekadar ingin tahu kabarnya.
Namun Reza menatapnya, matanya jujur dan dalam.
“Aku pulang,” jawabnya singkat, seolah itu saja cukup.
Lara menahan napas.
“Dan aku ingin melihatmu lagi.”
Kalimat itu menggantung di udara, berat dan bergetar. Lara merasakan dadanya sesak. Kenapa sekarang? Kenapa setelah sekian lama? Setelah ia hampir bisa melupakan cara Reza menyebut namanya?
Tapi hujan terus turun, memberi mereka alasan untuk tetap duduk di sana, bersama, dengan segala yang tak terucap.
Lara menelan ludah. Dadanya bergemuruh. Dulu, Reza adalah dunianya—matahari paginya, bintang malamnya. Mereka pernah berjanji di bawah langit yang sama: “Kita akan selalu bersama.”
Namun hidup tak pernah sesederhana itu.
Reza pergi ke kota lain, mengejar mimpi yang tak muat di kota kecil mereka. Sementara Lara tetap tinggal, mencoba merangkai ulang hidup yang ditinggalkan. Ia mengubur rindunya dalam kerja, dalam senyum palsu yang menjadi topeng kesehariannya.
“Apa kabar?”
Suara Reza memecah lamunannya. Lara menoleh, bertemu tatapan yang dulu ia kenal luar dalam.
“Baik.”
Jawaban itu kering dan dingin. Padahal hatinya ingin berteriak: tidak, aku tidak baik-baik saja.
Reza menghela napas.
“Aku menyesal, Ra. Menyesal telah pergi … tanpa memperjuangkan kita lebih keras.”
Lara menggigit bibir. Ia tahu, Reza bukan tipe yang mudah mengakui kesalahan.
“Kita sudah memilih jalan masing-masing, Za,” ujarnya, bergetar namun tegar. “Mungkin memang begini akhirnya.”
Namun Reza menatapnya lebih dalam.
“Apa kita benar-benar sudah berakhir?”
Pertanyaan itu menggantung. Hujan perlahan mereda, seolah memberi mereka waktu untuk berpikir.
Dan Lara tahu—mungkin justru di sinilah, di akhir, mereka baru benar-benar mulai. Tapi beranikah ia mencoba lagi?
Ia ingin berkata bahwa semuanya sudah selesai. Tapi hatinya menolak menyelesaikan kalimat itu. Karena jauh di lubuknya yang terdalam, ia tahu: jawabannya tak sesederhana ya atau tidak. Masih ada sisa cahaya, seberkas kunang-kunang yang menolak padam.
Kenangan datang menabraknya: Reza yang mengangkatnya dan memutarnya di tengah hujan, tawa mereka yang menyatu dengan dentum petir.
“Reza…”
Namanya keluar dari bibir Lara seperti doa yang luka.
“Aku… tidak tahu harus bagaimana.”
Ia menyerah. Tak ada lagi pertahanan. Di hadapan Reza, semuanya runtuh.
Reza diam sejenak—seperti dulu, di taman ini, bertahun lalu.
“Kalau begitu … mari kita cari tahu bersama.”
Dan di tengah hujan yang belum benar-benar reda, Lara dihadapkan pada pilihan: tetap berdiri di tepian kenangan, atau melangkah ke arus yang dulu ia tinggalkan?
Reza tersenyum. Senyum yang asing sekaligus akrab.
“Kita tak harus tahu segalanya sekarang. Tapi … bisakah kita mencoba lagi?”
Pertanyaan itu tak butuh jawaban segera. Perlahan, Lara menatapnya. Matanya masih basah, tapi penuh ketulusan.
Ia tak menjawab dengan kata-kata. Hujan masih turun. Tapi kini rasanya berbeda. Bukan penghalang, melainkan saksi.
Mungkin—hanya mungkin—kali ini mereka akan menari kembali di bawah hujan. Bukan sebagai kekasih polos yang memuja mimpi, tapi sebagai dua jiwa yang telah merasakan pahitnya hidup dan memilih untuk mencoba sekali lagi.
Karena kisah terindah bukanlah yang bebas dari luka, tapi yang sanggup kembali menyatu setelah hancur berkeping.
Dan di taman kota yang lengang, dengan hujan sebagai musik latar, mereka berdiri—dua titik yang perlahan menyatu. Tak sempurna, penuh bekas luka, namun sungguh-sungguh hidup. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni