Mantan Kekasih, Cerpen oleh Risha Iffatur Rahmah, Guru SMA Muhammadiyah 2 (Smamada) Sidoarjo.
Tagar.co – Pintu rumah orang kaya di desa itu terbuka perlahan. Terlihat biasa di pagi buta. Memang Desa Cangnom berbeda dengan desa lainnya. Nenek bersama anak kecil melangkah dengan gadis-gadis. Mereka yang muda selalu menunduk ketika diajak bicara oleh nenek. Mereka percaya Bu Umu patut disegani terlebih orang kaya.
Sesampainya di masjid, air yang terkucur di kedua tangan para gadis kini membasahi seperempat tubuh mereka layaknya oase di tengah gurun. Dinginnya sangat menyegarkan.
Begitulah wajah Subuh para gadis di desa Cangnom. Sayangnya tidak ada satu pun laki-laki berangkat ke masjid. Imam pagi itu adalah Bu Umu dengan dua puluh lima makmum. Ada anak-anak, gadis, ibu setengah baya, dan nenek.
Anehnya, mereka terlihat asing dari satu orang ke orang lain. Tidak ada tegur sapa sama sekali. Suasana pagi itu terlihat tanpa ada kecurigaan.
Baca juga: Jalan Kembali
Selepas azan dan salat, sampailah penjual sayur yang memilih menggelar dagangannya dari pada mampir untuk salat. Bu Umu hanya diam tak berani menegur. Ia tidak tahu agamanya. Tak terlalu lama, para pembeli langsung membayar tanpa berkata sedikit pun.
“Semua barang dagangan sudah ada harganya.” Itulah yang dibaca Alik, cucu Bu Umu. Pedagang kecil itu hanya tersenyum lepas, menundukkan wajahnya kembali, lalu menata dagangannya.
*
Tiba-tiba lelaki tua berteriak memecah kesunyian pagi. Anehnya, semua orang mengganggap biasa. Bahkan anak Bu Umu segera lari dan memberi sepotong roti manis.
Suara lelaki itu makin lelap, berganti kunyahan nikmat. Tidak lama kemudian, jankun besarnya naik turun. Air keran diseruputnya sampai kehilangan akal. Ya, lelaki itu mantan suami Bu Umu.
Tertulis di tembok rumah, “Lelaki tua ini gila!” Jangan mendekat cukup sapa dan doakan.
Meskipun demikian, lelaki ini tampak terurus dan wangi. Bahkan, dia selalu membantu mencuci bajunya sendiri di depan rumah.
Kelakuan nyeleneh yang aneh-aneh tak pernah membuat orang di sekitarnya tertawa. Hanya Alik menimpali dengan senyum khas bocah cilik. Di rumah itu tidak ada perempuan lain karena Alik anak pungut.
Orang lebih segan untuk sekadar berbicara dan melewati rumah ujung jalan yang luasnya dipenuhi kos-kosan. Warga yang terpaksa melintas hanya senyum tipis lalu kecut dan takut. Berbeda dengan anak kos, seperti saudara dan biasa.
Kegilaan lelaki itu dikarenakan kesedihan berkepanjangan merindukan anak. Kata dokter wanita itu mandul. Namun hubungan mereka tetap romantis tanpa beban. Sayang, ketika umur lelaki itu menginjak kepala lima, pikirannya kosong dan sering berbicara sendiri lalu berteriak.
Sebelum kegilaan laki-laki itu tampak, Bu Umu, mendapat kabar ditemukannya bayi di salah satu kamar kos. Bayi itu sengaja ditinggal begitu saja. Masyarakat percaya jika bayi itu dirawat pasti menjadi anak sukses karena Bu Umu kaya raya.
“Mungkin Pak El sadar Bu! Dicoba saja Bu! Dari pada urusan polisi, panjang ceritanya,” bisik salah satu gadis penghuni kos.
Baca juga: Pintu Berkabut
Tidak berpikir panjang, Bu Umu menamakan bayi itu dengan sebutan Alik. Namun, setelah lama mengurus tidak ada tanda kesembuhan seperti apa yang diharapkan sebelumnya. Wanita berusia 60 tahun menjadi lelah dan resah.
Bagaimana tidak, penghasilan fantastis tiap bulan hanya dia nikmati sendiri tanpa ahli waris. Satu-satunya Alik yang masih bocah. Bahkan pikiran tentang pembantu ia tidak pernah percaya.
Rutinitas hari-hari wanita tua ini semakin berwarna diiringi keramaian bocah sekitar. Di antaranya ada yang menyisir rambut kakek gila sampai dibuat tertidur di bale-bale. Ada juga anak perempuan yang mengendong Alik seperti anaknya sendiri.
Berapa pun lama mereka bermain di teras, Bu Umu tidak begitu peduli. Ia sibuk memasak. Diiringi keriput yang melambai penuh beban pikiran. Lama-kelamaan mereka yang sibuk bermain hanya menumpang makan. Ironisnya sang orang tua tak berani muncul batang hidungnya.
Bu Umu hanya abai dan menganggap itu semua sedekah atau sebagai upah menemani nenek tua akan renta. Beberapa tetangga yang iba juga usil menemani sampai malam hari.
“Entah sampai kapan bertahan Bu?” tanya Bu Arni. Perempuan yang terhitung belia memberikan saran untuk menyewa pembantu saja. Sayangnya di sela percakapan panjang mereka harus mendengar dongeng lagi.
Iya sebuah kisah ketika Alik dibawa kabur.
Trauma membuat Bu Umu menuduh pembantu seperti pencuri. Wanita tua ini tahu betul nasib pembantunya yang babak belur dan sempat mengakui jika Alik adalah anak kandungnya.
Perkataan itu tidak pernah digubris oleh Bu Umu. Ia tahu betul jika ibu tidak akan pernah meninggalkan anaknya. Untung saja Alik masih kecil belum tahu apapun.
“Edyan..! Minggat saja kamu! Tidak tahu diuntung!”
Begitulah umpatan diiringi dengan tangisan Alik yang kebingungan. Dalam hatinya, Bu Umu yang tak ingin kehilangan anak itu. Alik di bawah pergi menjauh untuk mengusir traumanya.
Es dan makanan ringan segera ia beli dari warung Bu Kodja. Air matanya tak terbendung, iya, Bu Umu menangis dalam diam.
Begitulah trauma psikis yang dialami Bu Umu. Kini di usia senja, ia sendiri merawat dua orang laki-laki. Bagi tetangga yang mendengar cerita itu, meyakinkan kalau Bu Umu harus rela berdamai.
“Bagaimana Bu dengan Iyah. Usianya baru 40 tahun masih kuat apalagi anaknya banyak. Jangan dianggap pembantu Bu, biarkan dia yang mengurus semua.”
Bu Umu seperti menyerah, kepedulian warga sangat kuat. Mereka berharap ada yang meneruskan usaha sampai Alik besar nanti. Mereka juga mendatangkan petugas puskesmas hanya untuk melihat keadaan pasangan lansia berbalita itu.
Baca juga: Beban Jiwa
Beberapa hari kemudian, Bu Iyah tetangga yang diceritakan sebelumnya datang untuk mengurus mereka bertiga. Seakan penderitaan Bu Umu lenyap. Tetangga itu sepuluh tahun lebih mudah dari kakek. Tidak hanya itu, anak tetangga juga ikut membantu mengajari dan membesarkan Alik.
Banyak tetangga laki-laki berdatangan sampai tengah malam. Mereka turut mengajak bicara kakek gila walaupun tidak tahu arahnya. Mereka menganggap biasa dan wajar. Ada bahasan menarik yang menjadi obrolan tengah malam.
Para pemuda ini justru menyimak kegilaan dari narasi peperangan. Cerita dengan level akurat itu membius mereka dalam memori yang mengerikan. Ya, ia salah satu anak kecil yang banyak melihat orang-orang yang tak berdosa disiksa dan akhirnya mati.
Di antara pemuda itu ada yang turut menyiapkan tempat beristirahat. Terkadang mereka tidur bersama tak peduli dini hari. Percakapan panjang begitu melelahkan dan mereka juga melupakan Subuh.
Bu Umu hanya bisa membangunkan dengan lembut walaupun mereka tidak pernah merespon. Para pemuda itu memang anak asuhnya dulu. Banyak penghuni kos yang bekerja menitipkan anak-anak mereka.
**
Hari berlalu, Bu Umu akhirnya jatuh sakit. Segala keresahan untuk menghidupi anak berumur empat tahun sangatlah melelahkan. Mau tidak mau ia harus menerima Bu Iyah yang sudi merawat mereka bertiga.
Pikiran perempuan tua ini tajam, segera menulis surat wasiat. Ia menghibahkan kekayaannya untuk rumah yatim dan mengirim lelakinya ke rumah sakit jiwa lalu sepertiga kekayaannya diberikan Alik. Meskipun Alik menjadi anggota anak yatim lainnya.
Ia juga sempat bercerita ikhwal suaminya gila. Semua bermula dari mulut Bu Umu yang membeberkan perselingkuhan dirinya dengan Arto, ayah Alik. Padahal mereka dibantu suami Bu Umu mencari pekerjaan.
Bu Iyah terkaget-kaget seakan mengerti kesedihan yang dialami oleh suami lelaki gila. Ia terpaksa menerima rahasia besar. Segala empati menjalar dalam hatinya. Pada akhirnya setelah kematian Bu Umu, wasiat yang ditulis dirobek. Ia memilih merawat lelaki gila bersama Alik yang diangkat menjadi anak keempatnya.
Kelimpahan harta tidak menjadikan tetangga itu lupa diri. Begitu besar rasa empatinya sekaligus mengelola harta peninggalan dan hasilnya sebagian untuk menghidupi anak yatim piatu. Apalagi ia adalah mantan kekasih lelaki gila. Meskipun terlihat tidak terlalu tua. Ia masih cantik. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni