Menilik urgensinya, maka sudah sepatutnya pendidikan gratis yang harus diutamakan. Pendidikan gratis yang menjamin semua anak Indonesia bisa duduk di bangku sekolah hingga perguruan tinggi yang berkualitas.
Tagar.co – Jeje (17) salah satu calon mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat asal Pandeglang, menyatakan orang tuanya merasa keberatan dengan tarif UKT 2024 yang dikenakan, yakni Rp 19,8 juta. Gaji orang tuanya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) golongan rendah tidak mencukupi untuk membayar biaya kuliahnya.
“Orang tua sangat keberatan kak, sudah nyuruh mundur saja. Mama sudah bilang bener-bener tidak sanggup buat bayar. Gaji orang tua juga masih di bawah Rp 10 juta. Belum lagi tanggungan kakak yang masih kuliah, dan adik juga berkebutuhan khusus. Pastinya banyak ngeluarin biaya,” kata Jeje.
Merebaknya berita tentang kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu membuka mata kita lebar-lebar bahwa untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi butuh biaya yang tinggi juga.
Jeje bukanlah satu-satunya calon mahasiswa yang tidak bisa melanjutkan pendidikan lanjutan. Di luar sana masih banyak Jeje-Jeje lain yang mengalami nasib serupa. Apalah daya niat dan tekad kuat serta prestasi yang diperoleh tidak bisa menjadi jaminan untuk melanjutkan pendidikan lanjutan jika tanpa di imbangi dengan modal besar.
Baca juga: Meluruskan Persepsi Negatif tentang (Bahan) Kimia
Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk sumber daya manusia berkualitas sehingga manusia Indonesia mampu mendorong inovasi, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Salah satu upaya untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 adalah dengan harapan rata–rata lama bersekolah serta kualitas pendidikan yang ditunjukkan.
Dalam konstitusi Indonesia terdapat kalimat, ”Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Kemudian, ”Mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Sayangnya, dalam implementasinya, proses untuk mencapai tujuan tersebut tidak seperti membalik telapak tangan. Menghadapi kerumitan persoalan pendidikan, beberapa kalangan mencoba memilih skala prioritas: mana yang sebaiknya didahulukan dan mana yang dikemudiankan. Lalu mengalokasikan dana pendidikan secara tepat penting bagi negara yang memiliki anggaran terbatas untuk mencapai hasil yang maksimal seperti Indonesia.
Terlepas dari karut marutnya sistem pemilu 2024 kemarin, mari kita garisbawahi program penting yang ditawarkan antara pendidikan gratis dan makan gratis? Mana yang lebih dibutuhkan?
Mengutip Kompas.com, Pemerintahan Joko Widodo sudah memasukkan program makan bergizi gratis dalam RAPBN 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, berdasarkan hasil komunikasi dengan tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo -Gibran, pelaksanaan program makan bergizi gratis disepakati dilakukan secara bertahap. Untuk tahun pertama, anggaran yang diberikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 adalah Rp 71 triliun.
Pendidikan Gratis
Menilik urgensinya, maka sudah sepatutnya pendidikan gratis yang harus diutamakan. Pendidikan gratis yang menjamin semua anak Indonesia bisa duduk di bangku sekolah hingga perguruan tinggi, sehingga bisa mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) digambarkan oleh Human Capital Index (HCI) yang dikembangkan Bank Dunia dan beberapa lembaga internasional lain mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 173 negara. Peringkat beberapa negara ASEAN adalah Singapura (1), Vietnam (38), Malaysia (62), Thailand (63), dan Filipina (103).
Jika ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045, maka pemerintah harus mulai berbenah terhadap sistem pendidikan. Anggaran pendidikan APBN 20 persen juga harus dikaji ulang, menciptakan kualitas SDM unggul butuh dana besar. Masyarakat Indonesia usia sekolah tidak butuh supply makan siang gratis, yang mereka butuhkan adalah pendidikan gratis untuk menopang kehidupan di masa mendatang.
Pendidikan gratis merupakan kemerdekaan yang diimpikan oleh masyarakat Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang bisa di kses melalui laman website https://bps.go.id tingkat penyelesaian jenjang pendidikan masyarakat Indonesia Tahun 2023 SD/Sederajat (97,83), SMP/Sederajat (90,44) dan SMA/Sederajat (66,79).
Baca juga: Cinta dan Sabar Modal Berinteraksi Sosial
Data BPS menunjukkan, mayoritas (76 persen) keluarga mengungkapkan penyebab utama anak mereka putus sekolah adalah karena faktor ekonomi. Sebagian besar (67,0 persen) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya (8,7 persen) harus mencari nafkah.
Kendala ekonomi juga ditemui dalam statistik yang dirilis oleh Bappenas. Dalam statistik tersebut diungkapkan, perjalanan pendidikan pada sebagian besar anak terpaksa terputus disebabkan oleh kesulitan biaya sekolah (24,87 persen) sehingga mereka juga harus bekerja/membantu mencari nafkah (21,64 persen).
Fenomena ini lantas menjadi tanggung jawab siapa? Tentunya menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai mata rantai dari keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Pemerintah daerah secara berkala harus melakukan tracing dan pendampingan terhadap anak risiko putus sekolah akibat kemiskinan. Pastikan jika anak-anak tersebut bisa menuntaskan pendidikan minimal sampai pada jenjang SMA/sederajat.
Baca juga: Sastra dan Seksualitas
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi – Yayasan Administrasi Indonesia memberikan bantuan bagi keluarga tidak mampu melalui program pendidikan gratis. Jangan sampai anggaran pendidikan yang digelontorkan hanya menjadi komersialisasi di institusi pendidikan Indonesia. Mengalokasikan dana pendidikan secara tepat penting bagi negara yang memiliki anggaran terbatas untuk mencapai hasil yang maksimal seperti Indonesia.
Undang-undang mengamanatkan, ”Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Jadi, mari kita bersama-sama menyadari bahwa masyarakat Indonesia butuh pendidikan gratis bukan makan siang gratis. (#)
Penulis Fela Layyin, Guru SMK Muhammadiyah 8 Siliragung (SMK Models) Banyuwangi Penyunting Mohammad Nurfatoni