Usai sambutan, Lurah Jadug berurusan dengan yang berwajib. Tambang tanah desa yang dikelola menjadi pembicaraan warga. Dia memperkaya diri dengan rekannya. Mobil dan rumah baru menjadi koleksinya.
Cerpen oleh Kamas Tontowi, Ketua Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani PDM Trenggalek dan guru bahasa Inggris MTsN 3 Trenggalek.
Tagar.co – Desa Wonokerto memiliki tanah subur makmur dan sangat bagus untuk pembuatan batu bata dan genteng. Tanah desa sering dikirim ke pengusaha genteng dan batu bata di desa sekitarnya.
Wonokerto dipimpin Jadug selama dua periode. Pengelolaan tanah desa bersifat pembagian keuntungan. Separuh penghasilan untuk desa, separuh penghasilan untuk yang lain-lain, mulai uang saku tamu terhormat, tamu tak diundang, atau keamanan.
Pengelolaan sudah berlangsung selama tujuh tahun. Tahun perdana pengelolaan tanah berlangsung lancar tanpa hambatan.
Di Desa Wonokerto terdapat beberapa kelompok masyarakat. Ada yang membentuk gabungan kelompok petani, pemuda cangkrukan, penggemar sepeda ontel, jemaah yasinan dan karang taruna.
Jamaah yasinan dan karang taruna memiliki jumlah anggota yang banyak, mengakar di masyarakat dan rutin bekumpul. Jemaah yasinan memiliki dua hingga tiga jemaah di setiap rukun tetangga. Kelompok ini rutin berkumpul tiap Kamis malam Jumat. Bahkan ada pesanan satu keluarga karena ada yang nyewu, nyatus, atau agenda lain.
Karang taruna memiliki kelompok penggemar sepak bola, penggemar sepeda ontel, dan remaja masjid. Karang ini dipimpin Karto, sedangkan jemaah yasinan dipimpin Sopingi. Orang-orang memanggilnya Pingi. Mereka berdua anak muda yang bisa mengayomi para pemuda desa dan dipercaya sesepuh.
Baca juga: Solar Sopir
Keadaan di desa menjadi agak bising ketika Dadung dan Jadug berbeda penampilan. Riuh tentang Jadug menjadi obrolan semua lapisan masyarakat tentang dia membeli mobil baru, istrinya beli motor mahal.
Sementara, Dadung membeli sebuah rumah baru di kota. Kasak-kusuk terdengar di masyarakat. Mereka mulai berbisik-bisik di mana-mana. Di warung kopi, yasinan, bahkan di acara kematian. Bahkan, Tukijan dan Paiman, sembari menunggu persiapan keberangkatan jenazah, membicarakan tentang Jadug dan Dadung.
“Lihat Jadug dan Dadung, mereka semakin kaya. Mobilnya kijang dan motor vespa terbaru. Dadung beli rumah. Biasanya orangnya datang melayat,“ ungkap Tukijan.
”Lihat, Tuk. Jadug bawa bungkusan,” kata Paiman.
”Biasa, paling rokok satu slop. Wkwkwkwk,” ujar Tukijan.
”Wkwkwkkkwkwk,” tawa mereka sama-sama.
“Hus. Kita takziyah. Apa yang kalian tertawakan?” Paimo menyela pembicaraan mereka.
“Lurahmu itu lho,” kata Tukijan.
Hari-hari berlalu. Sebuah mobil patroli lewat depan gardu. Terlihat seseorang duduk di belakang dengan keadaan diborgol. Ternyata Dadung ditangkap. Kasak-kusuk beredar, dia sering menggelapkan uang proyek tanah desa.
Baca juga: Lubang Kenikmatan dan Kesengsaraan
“Astaghfirullah,” ucap anak muda desa yang sedang begadang di gardu, melongo.
Jadug resah, selama sepekan dia jarang bicara kepada siapapun, bahkan ketika masuk ke kantor balai desa. Dia berpikir keras, mencari solusi agar keresahan segera berhenti.
Sebulan berlalu, tiba-tiba Jadug segera menggunakan sarung terbaiknya, menuju rumah Pingi. Dia ingin memperbincangkan perkembangan jamaah yasinan, mengobrolkan permasalahan sengketa tanah desa.
“Kamu tahu desa kita memiliki tanah tanah yang bagus untuk dijadikan batu bata dan genting. Setiap hari pengusaha genting dan batu batu mengeruk tanah kita. Namun pengelolaan yang diurus Dadung tidak dapat bertahan lama. Dadung telah menggelapkan, alangkah lebih baiknya kamu kelola tanah ini sebagian bersama jamaah yasinan biar bisa menambah dana kebutuhan kalian,” harap Jadug.
”Baiklah, akan saya terima. Jamaah yasinan butuh dana yang banyak. Mereka harus beli seragam, buku tahlil, yasinan, acara selawatan, dan lain lain,” kata Pingi.
Setelah berterima kasih dan berpamitan, Jadug menuju rumah Karto mengajak Wiro. Dia adalah orang yang dianggap sakti di Desa Wonokerto. Tidak ada seorang pun di desa berani dengan Wiro.
Dia berkali-kali keluar masuk penjara. Didampingi Wiro, Jadug bermaksud mengutarakan permasalahan tanah lahan pada Karto, mengajak berdiskusi agar karang taruna mau mengelola tanah.
“Mas, kamu tahu keadaan tanah desa kita tidak dikelola dengan baik. Hal ini menjadikan pemasukan desa berkurang sehingga dana untuk karang taruna juga minim. Maukah kamu mengelola tanah desa kita?” harap Jadug.
Baca juga: Pintu Berkabut
Karto yang cerdas merasakan gelagat yang kurang baik. Dia berhati-hati tapi tetap berusaha berpikir positif.
”Maaf mbah Lurah. Aku harus rapat dulu dengan teman teman,” jawab Karto.
“Baiklah, saya tunggu,” kata Jadug.
Karang taruna segera mengadakan rapat. Rapat dipimpin Karto bersama Sekretaris Karang Taruna, Robin. Setelah diberikan kesempatan Robin, Karto memberikan sambutan terkait permasalahan tanah desa yang sering dikirim ke desa sebelah untuk dijual ke pengusaha genteng dan batu bata. Sambutan berlangsung selama satu jam.
Setelah sambutan, peserta diberikan kesempatan untuk memberikan usul. Perdebatan terjadi sangat sengit. Peserta rapat terbelah menjadi dua kelompok. Pro dan kontra. Sebagian menerima sebagian menolak. Suasana memanas. Beberapa anak muda ada yang ingin melempar kursi. Rapat menemui deadlock. Akhirnya rapat ditunda dan coffee break
Pemuda pro beralasan mematuhi perintah lurah adalah hal yang baik. Lurah memberi kesempatan tanah dikelola dengan baik. Bila dikelola seperti Dadung, desa akan rugi.
Kelompok yang kontra berpikir bahwa menjual keluar desa untuk pengusaha tidak akan menjadikan desa lebih baik. Alangkah lebih baik bila ditanam tebu atau yang lain. Bila tanah dijual akan semakin berkurang dan mengakibatkan banjir.
Tiba-tiba datanglah Wiro bersama teman-temannya preman mengawasi rapat karang taruna. Keadaan berubah, beberapa anak muda yang semula menolak keras terdiam. Akhirnya rapat memutuskan karang taruna menerima pengelolaan tanah.
Baca juga: Ikhlas di Tepian Harapan
Jadug bersyukur masalah tanah sudah beres, dia tenang. Dia merasa akan mengakhiri masa kepemimpinannya dengan sukses.
“Sebulan lagi tugasku menjadi lurah akan berakhir. Aku bisa tenang, Buk. Semua masalah tanah sudah beres,” kata Jadug pada istrinya.
Tiga hari lagi Jadug selesai tugasnya sebagai lurah. Dia mengirimkan undangan para tokoh untuk merayakan acara purnatugas sebagai lurah selama dua periode.
Hari purnatugas itu datang. Semua tokoh masyarakat, Babinsa, Babinkamtibmas, perangkat desa berkumpul.
Jadug memulai sambutan. Tiba-tiba datanglah rombongan KPK masuk ke balai desa bersama beberapa pria tegap berpakaian preman. Tanpa basa-basi, mereka menangkap Lurah Jadug dan dibawa menuju mobil tahanan. Jadug menangis, menyerahkan diri tanpa perlawanan ke KPK.
Ketua KPK segera menuju podium. Dengan tegas dia memberikan pidato singkat.
”Jangan khawatir, Mbah Lurah kalian ada temannya, Dadung di dalam penjara. Mereka melakukan suap. Yang memberi suap yang menerima suap dan tim suksesnya masuk neraka,” katanya tegas.
Tukijan, Paiman, dan Paimo tertawa cekikian di belakang.
“Aku ra melu–melu.” (#)
Penyunting Ichwan Arif