Lima sastrawan perempuan mengisi dunia sastra Indonesia dengan karya yang menginspirasi. Bukunya ada yang memicu kontroversi. Ini kiprah mereka.
Tagar.co – Indonesia memiliki banyak sastrawan berkualitas. Termasuk di dalamnya sastrawan perempuan.
Selain isi karyanya berhasil mengangkat isu kekinian, mereka juga berhasil meraih penghargaan baik di dalam maupun luar negeri. Siapa sajakah mereka? Ini lima sastrawan perempuan yang menginspirasi.
Ayu Utami
Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan.
Lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Dia aktif menulis kolom mingguan Sketsa di harian Berita Buana serta ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu.
Novel pertama yang ikonik berjudul Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaharu dalam dunia sastra Indonesia.
Melalui novel itu pula, dia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998.
Selain Saman, karya novel Bilangan Fu juga berhasil mendapatkan Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008.
Dewi Lestari
Populer dengan nama Dee. Bernama lengkap Dewi Lestari. Perempuan kelahiran Bandung, 20 Januari 1976 ini anak keempat dari lima bersaudara. Orang tuanya Yohan Simangunsong dan Turlan boru Siagian.
Sebelum memulai karier menulis, dia dikenal sebagai pencipta lagu dan penyanyi dari trio vokal RSD: Rida, Sita, Dewi pada Mei 1994.
Supernova adalah novelnya pertama yang direncanakan sebagai suatu novel serial dengan spirit penelusuran terhadap spiritualitas dan sains.
Novel ini mampu mencapai 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar. Supernova berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books (2001).
Novel ini juga berhasil menembus pasar internasional dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hingga saat ini Dee Lestari telah menulis lebih dari 10 judul buku.
Nh Dini
Nama Nh Dini. Nama lengkapnya Nurhayati Srihardini. Nh Dini dilahirkan 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah.
Dia adalah anak kelima. Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul Merdeka dan Merah Putih.
Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. Nh Dini telah melahirkan banyak karya puisi, novel, dan buku terjemahan.
Penghargaan yang telah diperolehnya adalah hadiah kedua untuk cerpennya Di Pondok Salju yang dimuat dalam majalah Sastra (1963). Juara lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio France Internasionale (1987).
Dia juga menerima Penghargaan Sepanjang Masa atau Lifetime Achievement Award dalam malam pembukaan Ubud Writers and Readers Festival 2017.
Leila S. Chudori
Leila S. Chudori bukanlah nama yang asing dalam dunia sastra Indonesia. Sejak usia 11 tahun, saat masih duduk di kelas V SD, dia telah memublikasikan karyanya di majalah.
Cerpen pertamanya berjudul Pesan Sebatang Pohon Pisang dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung (1973). Sejak itulah, dia memulai karier menulisnya dan melahirkan karya-karyanya.
Setelah kuliah, dia mulai menulis cerpen-cerpen yang lebih serius dan dimuat di majalah sastra Horison, surat kabar Kompas Minggu, Sinar Harapan, majalah Zaman dan Matra.
Perempuan kelahiran 12 Desember 1962 ini juga wartawan. Dia berhasil menyabet penghargaan South East Asia Write Award pada tahun 2020 atas novelnya Laut Bercerita. Hingga saat ini ia telah menerbitkan tujuh karya yang terdiri dari novel, kumpulan cerpen, dan lain-lain.
Djenar Maesa Ayu
Djenar Maesa Ayu atau yang akrab disapa Nai adalah penulis yang berbakat.
Dia lahir di Jakarta tanggal 14 Januari 1973 berasal dari keluarga seniman. Nai menggeluti menulis dengan menemui sejumlah sastrawan seperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Salah satu ciri karyanya adalah tema dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya cerpen Lintah (2002) yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas.
Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004). Buku itu telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003.
Buku itu diterbitkan dalam bahasa Inggris. Kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) juga mendapat penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2004.
Cerpen Menyusu Ayah menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul Suckling Father untuk dimuat dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris khusus edisi karya terbaik.
Itulah lima sastrawan perempuan yang berhasil menciptakan karya-karya luar biasa yang kini dapat dinikmati oleh masyarakat.
Melihat sepak terjangnya, lima sastrawan perempuan ini tidak hanya produktif dalam berkarya, mereka sangat menginspirasi. Mereka juga berhasil menyuarakan harkat perempuan Indonesia. (#)
Penulis Ichwan Arif Penyunting Sugeng Purwanto