FeatureUtama

Kisah Sopir ‘Taksi Pajero’ Menyambung Hidup di Kawah Ijen

×

Kisah Sopir ‘Taksi Pajero’ Menyambung Hidup di Kawah Ijen

Sebarkan artikel ini
Alih profesi dari penambang belerang menjadi pengangkut wisatawan butuh kreativitas. Kadang berperan jadi sopir taksi, ‘Pajero’, juga ‘Ferrari’. Pekerjaan ini dinilai lebih aman daripada menghirup racun.
Ridwan, salah satu sopir “taksi Pajero”, di Taman Wisata Alam Kawah Ijen mendorong taksinya sambil menunggu calon penumpang di puncak, Ahad (30/6/2024). (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Alih profesi dari penambang belerang menjadi pengangkut wisatawan di Kawah Ijen butuh kreativitas. Kadang berperan jadi sopir taksi, ‘Pajero’, juga ‘Ferrari’. Pekerjaan ini dinilai lebih aman daripada menghirup racun. 

Tagar.co – Ridwan (61), sopir ‘taksi’ di jalan pendakian Taman Wisata Alam Kawah Ijen—yang teletak di dua kabupaten: Banyuwangi dan Bondowoso, Jawa Timur—masih berharap mendapat seorang penumpang lagi, Ahad (30/6/2024). 

Di bawah hangat pancaran sinar matahari, kakek enam cucu ini terus-menerus menjajakan layanan taksi bertenaga manusia kepada para wisatawan yang lalu-lalang di sekitar taksinya. “Ayo ojek, ojek, ojek,” ujarnya sambil tersenyum. 

Beberapa wisatawan ada yang menengoknya sejenak lalu melambaikan tangan tanda menolak tawaran jasanya. Banyak pula yang berlalu begitu saja. Tapi Ridwan tetap tersenyum. Pria bercelana hitam, berkaos kaki biru, dan bersepatu cokelat–warnanya menyerupai warna kontur tanah di atas puncak kawah Ijen–ini lanjut melangkah ringan mendekati wisatawan lain.

Saat matahari mulai naik, suhu di sekitar puncak kawah Ijen memang lebih terasa hangat. Tapi embusan anginnya masih terasa kencang. Sebagian wisatawan tampak fokus memperhatikan pijakan langkahnya pada kontur merah tanah dengan sedikit berpasir. 

Saat itu waktu di Situs Geologi Danau Kawah Asam Ijen sudah menunjukkan pukul 07.15 WIB sedangkan Ridwan baru mengangkut seorang wisatawan naik ke puncak. Sehari-harinya, ia memang biasa mengangkut 1-2 penumpang. Kalau sedang kurang beruntung, pernah juga pulang dengan tangan kosong.

Baca Juga:  Prospek Karier di Teknik Mesin

Baca juga: Mbah Sumeh, Penarik Kuda yang Masih ‘Roso’ di Usia 76 Tahun

Kali ini pengunjung cukup ramai. Ada wisatawan dari lokal maupun mancanegara. Usianya beragam. Dari lansia sampai anak-anak. Kenyataannya, padat pengunjung tak lantas menjamin jasanya lebih laris. Pasalnya di sana juga banyak penambang belerang yang memilih bernasib sama: beralih profesi menawarkan jasa serupa. 

Agar lebih menarik, sesekali Ridwan menjajakan jasanya dengan menyebut taksi dan merek otomotif ternama. “Pajero, Pajero, Pajero,” ucapnya sesekali. Kalau tidak Pajero, ya Ferrari. 

Pagi itu, bapak tiga anak tersebut memarkir taksinya di dekat penjual suvenir khas wisata Kawah Ijen, belerang cetak. Jangan bayangkan taksi beroda empat layaknya yang bisa ditemui di jalan raya. Taksi media mata pencaharian utamanya ini berupa gerobak modifikasi dengan dua roda di sisinya. 

Untuk keamanan, ada rem tromol seperti pada motor di bagian pegangan kanan dan kiri. Jadi saat melalui medan menurun, penumpang ini tak perlu khawatir taksi akan meluncur ke jurang di kanan-kiri jalan. 

Untuk kenyamanan, ada bantalan empuk yang memungkinkan penumpang duduk dan bersandar. “Ini bisa dimundurkan kalau mau mengangkut dua penumpang, biar penumpang lega,” terangnya sambil menunjukkan besi penyangga di balik bantal untuk bersandar. 

Baca juga: Hafalan Haidar, Kolaborasi Indah Mugeb School dan Orang Tua

Kalau besi itu dimundurkan, bantal untuk bersandar juga mundur sehingga memberi ruang lebih luas kepada penumpang. Sekali angkut, baik naik maupun turun, Ridwan bisa membawa 1-2 penumpang sekaligus.

Baca Juga:  Daftar Pemenang MTQ LP2 PDM Gresik dan Juara Umumnya

Kalau mengangkut penumpang naik, bapak kelahiran 1963 itu mengajak seorang rekannya untuk membantunya mendorong. Bisa mengajak dua rekannya menyesuaikan berat badan penumpang. Berbeda ketika mengangkut turun, Ridwan bisa mengemudikan alias mendorong sendiri gerobaknya.

Pria yang mengenakan baju berlapis tiga–kemeja kotak-kotak, sweter merah, dan jaket hitam kombinasi pink–itu mematok tarif sekali naik dari Pos Paltuding hingga ke puncak mulai Rp 1 juta. Semakin dekat puncak, tarifnya semakin turun. Untuk tarif sekali turun hanya Rp 300 ribu. Bisa lebih murah ketika penumpang mulai naik pada titik yang semakin mendekati tujuan. Sama-sama bisa muat 1-2 orang. 

Parkiran gerobak “taksi” di area kiri gerbang masuk jalur pendakian ke puncak Taman Wisata Alam Kawah Ijen. (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Berangkat Dini Hari

Tak kenal libur, tiap hari Ridwan tiba di Pos Paltuding–area parkir–sejak pukul 02.00 WIB, sesuai jam buka operasional wisata. Alhasil, ia berangkat dari rumahnya sejak pukul 01.00 WIB. Meski berada di Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur–sama dengan Wisata Alam Kawah Ijen berada–tapi ia memerlukan waktu tempuh satu jam. Melewati jalan berkelok yang membelah hutan. 

Mantan penambang belerang ini memutuskan beralih profesi ini sejak 2012. “Dulu saya menambang belerang,” kenangnya sambil memandang air danau kawah berwarna toska itu. 

Sejak dua belas tahun silam, Ridwan menyerah terhadap kerasnya dampak menambang. “Gak mampu, kena asap terus. Asap mengandung racun,” ujarnya sambil melingkarkan sarung ke badan. Jadi totalnya kini empat lapis pakaian.

Baca Juga:  Himpunan Santri Al-Fattah Berbagi Kebahagiaan

Baca juga: Bantu Prima Menyulam Harapan, Melawan Penyakit Langka Epidermolysis Bullosa

Terbiasa menjadi penambang yang mengangkut dengan gerobak itu hingga 200-300 kilogram belerang membuatnya tak merasa berat dalam menekuni profesi ini. Mendorong para wisatawan sampai ke puncak maupun dari puncak baginya ringan-ringan saja. 

Dia sendiri tidak mematok tarif yang berbeda ketika mengangkut orang dengan berat badan berlebih atau jumlah lebih dari satu. Pelanggannya sendiri yang memberikan tambahan biaya Rp 1,5-2 juta untuk sekali naik. 

Rasa syukur dan senyuman merekah pada wajah yang terlah berhias keriput itu. “Alhamdulillah cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari,” jawabnya terkait rupiah yang ia raup dari mengojek ini. 

Baginya, tak ada pilihan pekerjaan lain untuk bertahan hidup. “Di dekat rumah ya cari kerja sulit,” ungkap pria yang kadang mengonsumsi jamu cap Becak tiap satu bulan sekali itu.

Hingga pukul 08.30 WIB, Ridwan tak kunjung mendapat penumpang. Satu per satu wisatawan turun secara mandiri. Sesekali ada wisatawan yang baru mendaki. Ridwan dan rekannya memutuskan untuk turun. Mencari peruntungan di jalan berkelok sejauh 3,4 kilometer. Siapa tahu di tengah perjalanan ada wisatawan yang membutuhkan jasa angkutannya. (#)

Jurnalis Sayyidah Nuriyah Penyunting Mohammad Nurfatoni

Feature

Smamuga Tulangan juara II Futsal Sumpah Pemuda kategori putra se-Kabupaten Sidoarjo. Mereka mengalahkan SMKN 3 Buduran di semifinal. Sedang di final mereka harus mengakui keunggulan SMK Trisakti Tulangan