Cerbung

Kisah si Santri Mbeling: Kebun Mawar Kiai Nurbani

349
×

Kisah si Santri Mbeling: Kebun Mawar Kiai Nurbani

Sebarkan artikel ini
Kisah si Santri Mbeling
Ilustrasi Cerita Kisah si Santri Mbeling

Mobil pun kembali melaju. Sesekali kami melewati jalanan berlobang, akibat aspal jalan yang terlalu tipis. Mungkin kontraktornya kebanyakan setor upeti saat memenangkan tender, sehingga dosis aspal dan ketebalan hotmix-nya dikurangi.

Kisah si Santri Mbeling: Kebun Mawar Kiai Nurbani (seri 5)

Cerbung oleh Qosdus Sabil

Tagar.co – Sinar surya baru saja menyeruak ke ufuk timur langit di atas alun-alun Kota Batu. Aku jalan-jalan pagi sembari melepas kantuk usai diminta membantu team refleksi akhir malam acara Diksuswati I di Masjid At Taqwa. Sebuah acara Pendidikan Khusus Immawati tingkat pertama.

Dini hari itu, saya kebagian tugas untuk memilihkan dan membacakan ayat-ayat al-Quran, yang kemudian disaritilawahkan dengan penuh penghayatan oleh Immawati Erry.

Beberapa peserta histeris. Bahkan ada juga yang pingsan. Entahlah apa yang terjadi setelahnya. Rasanya Inoeng, Atun, Anissa, atau Lina yang lebih mengetahuinya.

Terlebih, aku menjadi satu-satunya lelaki yang berada di ruang utama masjid. Immawan-immawan lain, umumnya hanya membantu pengamanan dengan berjaga di teras atau bersenda gurau di ruangan Takmir Masjid.

“Mas… enaknya kita sarapan ketan aja ya?” ajak Udin kepadaku.

Menikmati ketan pojok yang sangat legendaris di pagi hari adalah pilihan yang cukup mengesankan. Apalagi bagiku yang baru beberapa kali menikmati dini hari di Kota Batu.

“Ehh… ada Mas Joko.”

“Udah dari tadi Mas?” tanya Udin.

“Ayo monggo Mas Udin Dik Ahmad silakan pesen saja. Ini ketan yang paling enak di seantero Kota Batu,” kata Mas Joko.

Kamipun segera dihanyutkan oleh candatawa dan obrolan khas aktivis jalanan. Mas Joko telah aku kenal cukup lama sejak aku masih di Jember. Sering kami bersama-sama dalam acara DPD IMM Jawa Timur.

Usai menikmati ketan, Mas Joko mengajakku sowan ke rumah Romo Kiai Nurbani Yusuf.

“Dik Ahmad, kita ke dalemnya Mas Kiai Nurbani nggih. Tapi kita ke Masjid At Taqwa dulu ambil kendaraan…”

Baca Juga:  Kisah si Santri Mbeling: Bulan Mei

“Siyappp Mas.”

Sesampainya di Masjid At Taqwa, Mas Joko nampak menghampiri Mbak Astrid.

Mbak Astrid ini adalah tokoh penting Immawati Faperta UMM. Kurang lebih setahun yang lalu kami pernah bertemu dalam sebuah acara reuni sekolah Ibuku. Saya baru tahu ternyata mbak Astrid ini adalah putri bungsu dari Gurunya Ibuku, saat Ibuku menempuh pendidikan di Pendidikan Guru Agasta (PGA) Putri Malang.

“Dik… kita berangkat sekarang ya? Sampeyan mau bareng saya atau gimana?”

“Saya bareng Mas Udin aja Mas.”

“Ok. Kalau begitu saya ikut mobilnya Mbak Astrid. Nanti ikuti saja di belakang ya.”

Mbak Astrid segera memasuki sedan merah marunnya. Tanpa tolah toleh lagi Mbak Astrid memacu kencang mobil kesayangannya itu menuju kawasan perkampungan Kota Batu.

Usai melewati komplek Perguruan Muhammadiyah Sidomulyo, aku lihat Mobil merah mbak Astrid semakin kencang melaju. Mendadak mobil berhenti di sebuah pertigaan. Kulihat Mas Joko turun dari mobil lalu menghampiri seorang bapak-bapak penjaga toko.

“Pak, nuwun sewu… leres meniko saget tembus ke arah Desa Gunung Sari?” tanya Mas Joko kepada  Bapak itu.

Iyo Mas. Sampean terus ae… mengko nek wis mentok sampean njupuk nganan. Mengko ra adoh teko kono ono barongan. Nah iku wis mlebu Deso Gunungsari,” jelas Bapak itu ramah.

Suwun njih Pak,” ucap Mas Joko gembira.

Mobilpun kembali melaju. Sesekali kami melewati jalanan berlobang, akibat aspal jalan yang terlalu tipis. Mungkin kontraktornya kebanyakan setor upeti saat memenangkan tender, sehingga dosis aspal dan ketebalan hotmixnya dikurangi.

Aku sangat menikmati panorama perkampungan Batu yang harum oleh aroma sayur mayur petani.

Terkadang aroma kandang sapi menyeruak menusuk hidungku yang mulai mampet karena dinginnya hawa dingin pegunungan Kota Batu.

Di atas sepeda motor perjuangannya, Mas Udin sesekali bercerita tentang petualangannya naik gunung-gunung. Ia bercerita dengan menggebu-gebu asyiknya naik gunung di saat bulan purnama. Begitu indah dan Masya Allah…. Subhanallah dehh pokoknya.

Baca Juga:  Kisah si Santri Mbeling: Pantai Indah Kapuk

Kulihat Mobil Mbak Astrid memasuki sebuah gang dan parkir di sebuah halaman warga.

“Kita parkir disini saja, Dik.”

“Lha, rumahnya Kyai Nurbani yang mana, Mas?” tanyaku penasaran.

“Itu masih masuk ke situ.”

Kami pun berjalan beriringan menaiki tanjakan yang cukup curam.

“Assalamualaikum…”

Serempak kami mengucap salam saat melihat Kiai Nurbani tengah basah kuyup menggotong seikat besar bunga mawar segar yang dibalut karung.

“Wa alaikum salam…. lha kok tumben ini pagi-pagi. Habis ada acara ya?”

“Monggo-monggo masuk, maaf agak berantakan. Itu di belakang lagi pada packing mawar.”

“Wahh asyik ini. Enthuk njaluk maware Mas?” tanya Udin cepat merespon isyarat Mas Kiai Nurbani.

“Iyo wis, njupuko sak karepmu, Din.” Hahahaaa.

Tawa khas Romo Kiai Nurbani-pun meledak, disertai tawa simpul Mbak Astrid yang malu-malu juga mau minta serangkai bunga mawar yang masih teramat segar itu.

“Lha wis podo sarapan durung?”

“Sampun Mas Kiai Nurbani.”

“Ayo monggo ini tahu susu baru diangkat dari wajan,” suguh istri Mas Kiai Nurbani.

“Eitss ijek sanap tibae,” gelak tawa Kiai Nurbani sembari mengangkat sepotong tahu susu yang ternyata masih panas mengepul.

“Oh iya Mas Kiai Nurbani, kenalkan Dik Ahmad ini pindahan dari Unmuh Jember,” Mas Joko mengenalkan siapa diriku kepada Kiai Nurbani.

“Saya sudah tahu siapa sampean Mas. Ada perintah khusus untuk memonitor mahasiswa yang punya kasus seperti sampeyan,” ujar Kiai Nurbani kepadaku.

Mas Joko, Mbak Astrid, dan Mas Udin-pun tanpa dikomando tertawa ngakak memecah keheningan Desa Gunung Sari.

“Mas… kebun Jenengan jauh dari sini?” tanyaku membuka obrolan pagi itu.

“Sampeyan kok tahu aja tho Mas apa yang mau kutanyakan,” sela Mbak Astrid.

Opo’o… awakmu arep syuting film India ta As, yo ndang kono metik mawar sendiri ke kebun.”

Mendengar titah Kiai Nurbani, kami pun segera beranjak berjalan menyusuri pematang. Sekawanan anak kecil berlarian setengah telanjang. Terlihat mereka begitu girang. Mereka berlompatan mandi dan nyebur di selokan.

Baca Juga:  Kisah si Santri Mbeling: Antara Malang dan Majenang

Jangan lagi ditanya betapa bening dan segarnya air selokan Desa Gunung Sari. Jangan sedikitpun Anda membandingkan dengan selokan kota megapolitan Jakarta yang sangat berbau itu.

Mungkin yang paling membedakan adalah terletak pada keberhasilan selokan Jakarta dalam memuluskan jalan terpilihnya seorang Presiden. Setelah sang pinokio masuk ke dalam got, publik terpesona oleh propanganda pencitraan palsu atas kesan sosok calon presiden yang akan bisa bekerja keras untuk rakyat. Ironisnya, kini banyak pendukungnya yang mulai kecewa. Janji manisnya tidak ada yang terbukti.

“Mas… petikin yang itu dong Mas,” tunjuk Mbak Astrid manja kepada Mas Joko.

Melihat adegan itu, akupun dengan lugu bertanya sambil berbisik kepada Udin.

“Lho Mas Joko iki calon suaminya Mbak Astrid tho, Mas.”

“Husss… awakmu ini baru mudeng tho, Mad,” jawab Udin tersenyum geli.

“Kita ke sebelah sana saja, Mad. Kita kasih kesempatan kepada Mas Joko biar nggak sungkan kalau ada kita”….

Udin-pun dengan terampil memetik mawar. Sesekali ia meringis kesakitan terkena duri.

Memang, di balik indahnya sekuntum mawar selalu tersembunyi duri yang melindunginya dari tangan-tangan jahil. Demikian pula, dibalik kecantikan dan anggunnya Immawati selalu ada Immawan yang siap melindungi… (eeeeaaaaaa)

Usai puas memetik mawar, kami pun undur diri. Aku lihat senyum merekah Mas Joko, diiringi meronanya asmara dua sejoli Immawan-Immawati itu.

Selepas Mas Joko dan Mbak Astrid pamit pulang. Aku dan Udin masih melanjutkan obrolan dengan Kiai Nurbani hingga sore menjelang.

“Mad, nanti kamu antar saya ya?”

“Ke mana, Sam?”

“Pokoknya nanti kamu antar aja saya. Entah Immawati mana yang akan beruntung mendapatkan serangkai mawar indah ini …”

Tugu Proklamasi, 18 Agustus 2020

Penyunting Ichwan Arif.