
Kisah si Santri Mbeling: Carita (seri 14)
Pernah, saat sudah sama-sama jalan pulang, gitar akustik beliau tertinggal. Lalu team kami berbalik kembali ke villa. Alhamdulillah gitar masih aman di tempatnya. Akupun tancap gas agar tidak ketinggalan terlalu jauh.
Cerbung oleh Qosdus Sabil
Tagar.co – “Untuk pertemuan hari ini saya rasa sudah cukup.”
“Tolong Bu Ari bisa mencarikan villa di Carita. Minta Mas Ahmad untuk membookingnya.”
“Kita akan bedah paper-paper ekonomi pemenang hadiah nobel,” ujar Prof. Akhmad Fauzi kepada Bu Ari.
Aku bolos kuliah pada pertemuan tersebut, karena harus nyangkul di Jakarta. Aku terpaksa harus menerima pasrah saat Bu Ari kemudian melimpahkan tugasnya kepadaku.
Untungnya, saya punya orang dalam alias ordal di villa Nurul Fikri. Sebuah villa dengan mata air panas bumi yang melimpah. Air panas alami yang sangat baik untuk kesehatan kita.
Suasana eksklusif Pantai Carita di belakang Villa Nurul Fikri, berhasil memikat hati sang Profesor.
“Siap Bu Ari. Nanti akan saya siapkan semuanya. Villa beres. Ikan beres. Duren Pandeglang beres deh.” Bu Ariyani ini sekarang sudah menjadi Guru Besar. Bu Ari pernah menjabat Wakil Rektor 2 Universitas Sahid Jakarta.
“Pokoknya besok Bu Ari terima beres. Semua akan saya atasi sendiri. Paling saya meminta Eka dan Dessy untuk membantu menemani saya.”
“Pada hari yang ditentukan tolong Bu Ari pastikan perlengkapan live music jangan sampai ketinggalan.”
“Iya mas. Kita pakai semua perlengkapan musik dari rumahnya Prof. Fauzi. Tidak ada yang perlu kita sewa. Yang menyanyi juga kita-kita sendiri kan. Jadi tidak perlu kita undang pemain keyboard ataupun penyanyi goyang pantura. Semuanya dari kita oleh kita dan untuk kita,” seru Bu Ari berseri-seri.
Fieldtrip kali ini adalah pengalaman Bu Ari pertama kali jalan-jalan bareng dengan Prof. Fauzi. Maklum Bu Ari baru masuk PWD IPB saat S3. S2-nya ia tempuh di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pak Foz, biasa kami menyapa Prof Fauzi, adalah sosok dosen yang sangat humble dan kharismatik.
Seringkali setiap fieldtrip ke suatu lokasi, uang kami yang dikumpulkan dari iuran, “tidak laku” di kasir. Karena kasirnya lebih taat kepada Pak Foz.
Apalagi saat aku masih S2 tahun 2004-2007, ketika itu belum ada ketentuan yang melarang dosen merangkap pekerjaan-pekerjaan yang didanai oleh APBN. Sehingga, dosen-dosen seperti Pak Foz, biasanya banyak diminta menjadi konsultan ahli diberbagai proyek pemerintah. Artinya para dosen dapat panen raya setiap saat proyek berjalan yang melibatkan mereka.
Pak Foz sangat bermurah hati kepada kami. Terlebih beasiswa kami sering dirapel di akhir semester. Pokoknya jika jalan bersama beliau, uang kami tidak laku dipakai. Beliau sangat senang mentraktir kami para mahasiswanya di PWD.
Terkadang beliau dengan senang hati membawa dan menyetir mobilnya sendiri. Supaya kami tidak perlu sewa mobil lagi. Kami sekelas berjumlah lima belas orang. Dibagi menjadi dua team. Satu team tujuh orang bersama di mobil beliau. Delapan orang sisanya bergabung bersama team saya, sang sopir pantura.
Pernah, saat sudah sama-sama jalan pulang, gitar akustik beliau tertinggal. Lalu team kami berbalik kembali ke villa. Alhamdulillah gitar masih aman di tempatnya. Akupun tancap gas agar tidak ketinggalan terlalu jauh.
Menjelang masuk kota Cilegon, mobil APV Suzuki kami bisa menyusul mobil Honda CRV yang dikemudikan sendiri oleh Beliau. Lalu, beliau pun mengajak kami makan malam masakan padang yang “Sederhana” menu dan lokasinya.
“Mas Ahmad sudah sampai mana?” tanya Bu Ari kepadaku. “Saya sudah semalam di Serang, Bu, menginap di rumah mertua Eka.”
Pagi ini saya belanja ke tempat pelelangan ikan Karangantu untuk borong ikan-ikannya. Lalu, saya dan Dessy belanja buah semangka, ketimun, tomat, cabe dan aneka lalapan yang menggoda.
Usai belanja, aku bertiga dengan Dessy dan Eka berangkat ke pantai Carita di kawasan Anyer. Untuk menyiapkan lokasi yang akan kami gunakan untuk bedah paper-paper ekonomi pemenang hadiah Nobel.
Usai azan asar rombongan bus mini Pak Foz dan teman-teman datang di lokasi acara. Rombongan nampak kuyu dan lesu tak bergairah.
“Ini ikan baronang ya mas Ahmad?” tanya pak Foz kepadaku.
“Bukan Pak. Itu ikan kuwe sama tengiri ayam-ayam, Pak,” jawabku.
“Iya betul. Semua ikan itu kan baronang di lautan,” tutur Pak Foz mengundang tawa wajah-wajah yang kecapean di jalan.
Menjelang magrib kami bersama menyusuri pantai eksklusif Carita. Cukup banyak sampah daun dan batang-batang kayu yang mungkin dihanyutkan dari hulu.
Selanjutnya, kami bersiap bebersih badan untuk segera mempersiapkan pasukan bakar ikan. Menjelang isya, duren Pandeglang diantarkan oleh Kang Agus. Duren lokal yang manis pahit kental mentega. Duren Pandeglang asli enaknya tak terbantahkan.
Top sudah. Makan malam terasa sangat berkelas. Jarang sekali aku makan duren sebanyak malam itu. Untuk urusan duren, aku membatasi diri untuk memakannya. Jika disuruh memilih duren atau pepaya, maka aku memilih yang terakhir. Pepaya lebih sehat untuk pencernaanku.
Bakda isya, dilanjutkan pemanasan diskusi serius dengan bernyanyi bersama. “Mas Ahmad, ini kita mulai bedah paper-paper ekonomi pemenang hadiah Nobel jam berapa?” tanya beberapa mahasiswa emak-emak kepadaku.
“Santai aja bu. Nanti sebentar lagi. Pak Foz masih semangat nyanyi tuhh..”
“Jangan malam-malam, Mas. Kami sudah kekenyangan ini. Bahaya nanti saat acara resmi malah pesertanya pada ngantuk…”
“Aman itu, Bu. Nggak bakalan ibu-ibu bisa ngantuk nanti.”
Lihat saja nanti …. Dalam hati aku bergumam bersiaplah untuk mendapatkan brainwashing dari Pak Foz. Plus guyon koboyan dariku…..
Jelang Asar
Langit memutih berzikir kepada-Nya
Penyunting Ichwan Arif.