Cerbung

Kisah si Santri Mbeling: Asrama Haji Surabaya

320
×

Kisah si Santri Mbeling: Asrama Haji Surabaya

Sebarkan artikel ini
Kisah si Santri Mbeling

Ilustrasi Cerita Kisah si Santri Mbeling

Kisah si Santri Mbeling: Asrama Haji Surabaya (Seri 19)

Dari jalur Umikku, jalur itu bertemu di Langitan. Sebuah kampung kecil di Kecamatan Widang Kabupaten Tuban yang lebih sering dianggap wilayahnya Kabupaten Lamongan.

Cerbung oleh Qosdus Sabil

Tagar.co – “Piye perkembangane, Bu Sum? Mugi-mugi beliau lekas pulih. Lha Mas Ahmad ini nggak kira-kira, ninggalin duren bido yang paling huenak dari Wonosalam,” tanya Yu Tini, penjual sego pecel pagi di kampungku, pada Irma istriku.

“Alhamdulillah. Umik sudah sehat kembali. Itu bukan karena efek makan duren. Tapi mungkin karena masih ingin ditungguin anak cucunya tersayang,” jawab Irma menjelaskan.

Irma, istriku ini, sering dikira anak perempuan Umikku yang pertama.

Beberapa kali diajak belanja ke pasar sering ditanya, “Mbak ini yang mbarep njih, Bu Kaji?”

“Mbak Irma ini mantu saya yang nomor dua.”

“Ohhh ngaten njih. Soale kok mirip sekali. Panjenengan ini pintar sekali cari mantu.”

Statemen yang sama juga sering terjadi pada saat pertemuan keluarga besar Ibnu Umar dengan Bani Tamin dan Hasyim. Irma sering dikira sebagai anak kandungnya Mbah Umar. Bani Tamin dan Hasyim ini kerabat keluarga besar dari jalur Abahku.

Kalau dirunut lebih jauh silsilah keluarga Abahku berada pada jalur bengawan Solo. Saat aku kecil dulu, Abahku sering mengajakku nginthil keliling mengisi pengajian. Selain bertujuan untuk mengkaderku, Abahku pasti juga sedang ingin menunjukkan jalur “Bengawan Solo” dalam silsilah keluargaku.

Dari jalur Umikku, jalur itu bertemu di Langitan. Sebuah kampung kecil di Kecamatan Widang Kabupaten Tuban yang lebih sering dianggap wilayahnya Kabupaten Lamongan.

Saat hari jumat pon, pasar Babat akan dibanjiri santri dari Langitan. Mereka memenuhi pasar Babat untuk aneka kebutuhan bulanan mereka. Sementara, jika hari jumat pahing bisa dipastikan pasar Babat akan lebih sepi dari biasanya. Entahlah.

Baca Juga:  Kisah si Santri Mbeling: Kebun Mawar Kiai Nurbani

Mungkin karena jumat pahing sering jatuh di tanggal tua. Sehingga tidak banyak santri Langitan yang jajan atau sekadar jalan-jalan cuci mata melepas kepenatan dan kejenuhan jadi santri.

“Assalamu’alaikum… leres meniko dalemipun Pak Kyai Umar Hassan?” tanya si-empunya suara dari seberang telepon.

“Wa alaikum salam… injih leres,” jawabku tanpa basa basi.

Maklum teleponan saat itu harus to the point. Supaya tidak memberatkan tagihan abonemen bulanannya. Banyak tetangga dan saudara yang memberikan nomor telepon rumah kami kepada kerabat atau koleganya, jika ada hal yang penting dan mendesak dapat mengabarkan lewat telepon ke rumah kediaman orang tua kami.

“Ini dengan Mas Siapa?”

“Saya Ahmad Ustadz.”

“Oh… Mas Ahmad. Kapan Pakde Machin datang? Saya minta tolong disampaikan ke Pakde Machin, bilang saja Gus Ubed tunggu di Langitan ya. Syukran katsir.”

“Sami-sami Gus. Mangke dalem sampeaken.”

Pakde Machin ini adalah kakak sepupu umikku. Beliau mondok di Langitan hingga lulus Aliyah. Lalu belajar kerja menjadi montir di bengkel kakaknya. Bengkel legendaris milik Pakde Haji Choliq yang kini pengelolaannya dilanjutkan oleh Ahmad Munir Saputra, anak nomor dua dan lelaki satu-satunya dari empat bersaudara.

Kak Put, biasa kami memanggilnya begitu, adalah Santri ponpes Gontor yang tidak tamat. Hebatnya lagi, bagi Gontor itu sudah biasa, di kemudian hari akan banyak orang-orang sukses yang mengaku pernah mondok di Gontor walau tidak sampai tamat.

Sedangkan kakaknya yang pertama adalah Mbak Ummu Hanik. Dulu aku pertama kali ke Jogja karena ikut mengantarnya sekolah perawat Aisyiyah Jogjakarta. Kini, Mbak Ummu Hanik adalah bidan ternama di Serang Timur Banten. Tentang dua adiknya akan kuceitakan pada bagian lain kisah ini ditulis.

Baca Juga:  Kisah si Santri Mbeling: Jatirejo

Hari ini, untuk pertamakalinya aku menginap di Asrama Haji Surabaya benar-benar sebagai calon jamaah haji. Bukan lagi sekadar peserta kegiatan tingkat nasional maupun regional Jawa Timur.

Pakde Machin yang aku sehut tadi adalah anak bungsu dari Mbah Kaji Jennah. Beliau kakak perempuan tertua nenekku yang bernama Kasminah. Jadi meskipun pernahnya aku memanggilnya Pakde, secara usia beliau cukup jauh terpaut usia dengan Umikku.

Saat aku berangkat memenuhi panggilan Haji di tahun 2002 itu, anak-anaknya Pakde Machin malah belum masuk usia sekolah. Istrinya sedang mengandung anak ketiga. Sehingga, Irmaku bisa merasakan diperiksa dokter kandungan lulusan Universitas Al Azhar Mesir.

Dan yang paling aku ingat adalah Mbah Abdul Muhsin. Beliau adalah kakak nenekku yang menjadi saudagar besar di Pasar Turi –tanah Abangnya– Surabaya.

Bisnisnya antar pulau. Kelak jejaring bisnisnya dilanjutkan oleh adik-adik lelakinya: Mustain, Dul Karim dan Djuhadi. Juga tentu saja, Achmad Zaini putranya. Penerus bisnis Mbah Muhsin. Dua lagi anaknya Mbah Muhsin: Santoso dan Didik. Keduanya lebih memilih karir sebagai dosen di ITS.

Pakde Santoso wafat di usia muda akibat gagal ginjal. Meninggalkan seorang putra. Sedangkan Pakde Didik baru pensiun beberapa tahun ini dari ITS.

Saat menjelang wuquf, Pakde Machin cerita tentang makam Mbah Muhsin di Ma’la yang tidak jadi dibongkar karena jenazahnya masih utuh. Mbah Muhsin saat muda juga nyantri di Langitan. Beliau juga adalah hafiz Quran. Juga sudah dikirim kemana-mana oleh Mbah Buyutku, Haji Ihsan.

Darahku ini adalah darah daging guru, petani dan pedagang. Di situlah keberkahan rezeki yang paling utama sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Saw.

Baca Juga:  Kisah si Santri Mbeling: Jangkar

Sementara, di desa kami, Mbah Muhsin membangun rumah megah dengan sokoguru jati utuh yang menyimbolkan status sosial siapa penghuninya. Selain itu beliau juga membangun sebuah Surau. Selain atap genteng dari tanah, semuanya menggunakan bahan dari kayu jati.

Masih kokoh sampai hari ini. Nyaris tidak ada kerusakan yang cukup berarti. Kecuali sekali terjadi, lantai papannya sempat jebol sebagian akibat kebanyakan orang yang berjejal ikut sholat jenazah.

Rumah nenekku berdekatan dengan rumah yang dibangun Mbah Muhsin tersebut. Namun, seiring waktu akhirnya rumah megah dan surau itu kemudian jadi rumah tinggal Mbah Kasminah. Akupun lahir di rumah itu. Lahir di tengah malam. Nyaris tenang dan tidak ada kegaduhan layaknya pasangan muda yang baru akan melahirkan. Tahu-tahu menjelang subuh, Abahku matur Mbah Kasminah kalau aku sudah lahir tanpa kurang suatu apa.

Rumah tinggal Pakde Machin didekat Kampus Ummul Qura’ banat. Praktis saat di Makkah, aku lebih sering ke rumah Pakdeku, daripada ke maktabku yang berada di Misfalah. Dari maktabku butuh 15 menit jalan kaki ke Masjidil Haram.

Hari itu lagi musim dingin. Tiba-tiba kulitku terasa gatal. Begitu juga dengan beberapa jamaah yang lain. Usut punya usut, ternyata kami alergi sabun. Kulit jadi kering dan gatal. Untuk mengatasinya mudah, tinggal beralih ke sabun bayi yang lebih lembut.

Ternyata inilah salah satu “rahasia” jawaban bersihnya dosa-dosa orang yang bertaubat. Sebagaimana doa usai wudhu yang diakhiri dengan “waj’alni minal mutathohhiriin.”

Inilah sebuah “rahasia” dibersihkannya dosa-dosa orang yang haji dan umrah, kayauma waladat’hu ummuhu. Bersih dosanya seperti ketika hari dia bayi dilahirkan oleh ibunya ….

Ciputat Menjelang dhuha

Penyunting Ichwan Arif.