Kisah penyamaran Jenderal Soedirman di atas tandu adalah salah satu fragmen perjuangan dalam perang gerilya 1948 yang dipimpin Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman. Dia ditandu karena menderita penyakit tuberculosis (TBC).
Tagar.co – Salah satu adegan fenomenal dan heroik dalam perang gerilya tahun 1948 adalah Soedirman ditandu. Apa yang membuat ia ditandu?
Soedirman ternyata menderita penyakit tuberculosis (TBC). Ia pernah dirawat di Panti Ratih pada Oktober-November 1948 dan Agustus-Oktober 1948. Kala itu belum ada antibiotik yang ampuh untuk penyakit yang membunuh tujuh dari 10 penderitanya.
Saat itu, untuk mengobati TP, Pak Dirman, sapaan akrabnya, doker mengistirahatkan paru-paru kanannya, sehingga kumam TB akhirnya mati—anggapan yang belakangan ternyata salah.
Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah
Meski tubuhnya kurus—dan ringkih—karena penyakit TB yang dideritanya itu, Soedirman bergeming. Dia tetap menjalankan tugas sebagai tentara—tepatnya Panglima Besar Tentara Rakyat Indonesia.
Ketika Agresi Militer Belanda II yang dipimpin Jenderal Simon Hendrik Spoor, 19 Desember 1945, dan Sukarno-Harra ditangkap Belanda, Soedirman memilih berangkat perang dan memerintahkan tentara melakukan Perang Gerilya.
Rutenya: Keraton Yogyakarta, Playen (Gunung Kidul), Wonogiri, Kediri, Gunung Wilis, Goliman, Bajulan, Banyutowo, Sedayu, Pringapus, Sobo (Pacitan), dan kembali ke Yogyakarta.
Perjalanan Perang Gerilya itu membutuhkan waktu selam tujuh bulan. Dari 19 Desember 1948 hingga awal Juli 1949. Adapun jarak tempuh yang dilalui sepanjang 693 kilometer. Wow!
Strategi Soedirman Palsu
Strategi Soedirman palsu dikisahkan Tjokropranolo seperti dikutip buku Soedirman Seorang Panglima Seorang Martir – Seri Buku Tempo: Tokoh Militer (Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).
Kapten Tjokropranolo—pernah jadi Gubenur DKI Jakarta tahun 1997-1982—adalah pengawal Soedirman.
Saat itu, 26 Desember 1949, dari rumah Mustajab Gombloh di Dusun Karangnongko, Kediri, Soedirman dibawa ke hutan pinggir dusun—karena sudah terendus Belanda—dengan dipapah Tjokropranolo ditemani Kolonel Bambang Supeno.
Selepas kepergian Soedirman ke hutan, Kapten Soeparjo Rustam—pengawal Soedirman yang pernah menjadi Menteri Dalam Negeri tahun 1983-1988—berbincang dengan Letnan Muda Laut Heru Kesser di rumah Mustajab.
Baca juga: Presiden RI yang Terabaikan, Sjafruddin Prawiranegara
Isi pembicaraan: mengatur strategi penyamaran Soedirman. Soeparjo meminta Heru, yang memiliki postur mirip Soedirman, berdandan layaknya sang Pak Dirman.
Heru pun setuju. Maka ia mengenakan mantel hijau dan blangkon ala Soedirman. Tak lupa tandu yang sebelumnya dipakai mengusung Soedirman juga disiapkan.
Maka Soedirman palsu pun diusung meninggalkan rumah Mustadjab. Berbeda dengan biasanya, kepergian “Soedirman” kalai ini tidak lagi dirahasiakan. Disaksikan banyak orang, rombongan bergerak ke arah selatan.
Rombongan menuju rumah di pinggir sawah dekat perbatasan antara Dusun Besuki dan desa Joho. Layaknya Soedirman, Heru pun dipapah masuk ke dalam rumah.
Penyamaran Menyelamatkan Nyawa
Tjokropranolo menjelaskan, penyamaran itu adalah ikhtiar menyelamatkan nyawa Soedirman. Sebab baru satu malam di Karangnongko, ada seorang yang mencurigakan. Orang yang diduga mata-mata itu mendatangi rumah Mustajab dan menanyakan keberadaan Soedirman.
Strategi penyamaran terbukti berhasil. Sore hari tiga pesawat pemburu Belanda mengebom rumah yang dimasuki Soedirman palsu hingga berkeping-keping. Tapi tidak ada korban jiwa. Rupanya Heru, dengan menanggalkan atribut ala Soedirman, telah menyelinap ke luar rumah sebelum serangan itu terjadi.
Keberadaan Soedirman asli baru diketahui warga esok harinya. Ternyata Soedirman berada di Dusun Dasun, sebelah utara Karangnongko. Dari situ Soedirman melanjutkan perjalanan ke utara dan sampai di Dusun Goliman.
Di dusun itu ia lebih berhati-hati. Soedirman memilih tinggal di rumah terpencil dan tertutup pepohonan. Kepada warga ia mengaku sebagai kepala sekolah yang memiliki panggilan Mantri Guru.
Itulah beratnya perjuangan yang dilakukan Panglima Besar TNI Soedirman dan pasukannya. (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni