Kisah Pak AR yang pernah memimpin yasinan. Ceritanya unik. Bermula dari kebencian seorang tokoh pada Pak AR yang Muhammadiyah. Lalu menjadi persahabatan. Pak AR pun mendapat kepercayaan memimpin yasinan.
Kisah Pak AR ini diungkapkan oleh Sukriyanto AR—anak Pak AR, nama popular K.H. Abdur Rozaq Fachruddin, Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1968-1990—dalam buku Biografi Pak AR yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, Mei 2017.
Tagar.co – Sewaktu di Talang Balai, Kecamatan Belida Darat, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, Pak AR- mengajar di sebuah madrasah Muhammadiyah.
Saat berangkat dan pulang mengajar dia selalu melewati rumah seorang tokoh agama, tokoh yang dituakan seperti seorang kiai kalau di Jawa.
Tokoh itu sehari-hari dipanggil Angku, artinya kiai juga. Sebagai orang muda, kalau kebetulan Angku ada di luar, di depan rumahnya, Pak AR selalu memberi salam dan mengajak tersenyum.
Tetapi karena Angku itu tahu bahwa Pak AR orang Muhammadiyah dan punya prasangka buruk bahwa orang Muhammadiyah itu jelek, suka merusak agama.
Kristen putih dan sebagainya, maka salam itu tidak pernah dijawab.
Baca juga: Dilamar Kiai NU untuk Menikahi Santrinya, Pak AR Menolak Tawaran Poligami
Meskipun begitu, tetap saja setiap Pak AR lewat di depan rumahnya dan melihat Angku ada di luar selalu memberi salam sambil tersenyum, tapi tetap saja Angku itu tidak menjawab.
Dapat Jawaban Salam
Akan tetapi, setelah beberapa pekan diberi salam, akhirnya Angku itu mau juga menjawab salam meskipun hanya dengan jawaban ‘lam’ atau ‘salam’. Dan, tetap saja kalau melewati rumah Angku itu Pak AR selalu tersenyum dan selalu memberi salam, walaupun hanya dijawab dengan singkat-singkat.
Pada suatu hari, setelah beberapa pekan dan setelah berkali-kali diberi salam, Angku itu menjawab salam dengan lengkap waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Mendengar jawaban yang lengkap itu, Pak AR berhenti dan mendekati terus menjabat tangan Angku itu erat-erat dengan tersenyum sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Melihat perlakuan Pak AR itu, Angku itu terheran-heran. Dengan ‘terpaksa’ tersenyum dia bertanya, “Mengapa Guru mengucapkan terima kasih kepada saya? Apanya yang diterima kasihi?”
Baca juga: Menggemparkan, Kisah Surat Pak AR pada Paus Yohannes Paulus II
Kata Pak AR, “Angku sudah menjawab salam saya dengan lengkap. Itu kan doa. Doa seorang ulama seperti Angku tentu sangat membahagiakan saya. Karena itu saya harus menyampaikan rasa terima kasih. Sekali lagi terima kasih”.
Orang Muhammadiyah Baik
Mendengar jawaban Pak AR itu, Angku itu seperti tercenung beberapa saat dan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apa Guru ini orang Muhammadiyah?”
Jawab Pak AR sambil tersenyum, “Lho. Iya. Saya ini anak orang Muhammadiyah. Saya disekolahkan di sekolah rakyat (SR) sekolah di Muhammadiyah terus ke Muallimin dan Darul Ulum Muhammadiyah. Sekarang saya ditugaskan di sini sebagai guru Muhammadiyah, yang menugaskan Pimpinan Muhammadiyah, Hoofd Bestuur Muhammadiyah”.
“Mengapa?” tanya Pak AR.
Jawab Angku, “Orang Muhammadiyah kok baik? Kata orang, orang Muhammadiyah itu sering begini, begitu, mengubah-ubah agama, sering membidah-bidahkan”
Mendengar jawaban Angku itu Pak AR tertawa terpingkal-pingkal. Kata Pak AR, “Semua orang Muhammadiyah itu baik. Guru-guru saya jauh lebih baik dari saya. Tapi kebanyakan orang bilang begitu, seperti kata Angku tadi.”
Kata Pak AR kemudian, “Sekarang Angku telah melihat sendiri, bukan kata orang dan bertemu sendiri dengan saya. Orang Muhammadiyah itu ya seperti saya ini, bahkan kebanyakan lebih baik dari saya.”
“Kalau begitu kata orang itu tidak benar,” kata Angku setengah bergumam.
Diminta Memimpin Yasinan
Sejak itu hubungan antara Pak AR dengan Angku semakin baik. Sebagai orang muda dan pendatang, Pak AR sering bersilaturahmi ke rumah Angku. Tukar pikiran. Pak AR lalu diminta mengisi yasinan segala.
Tentu saja Pak AR selalu datang dan memanfaatkan kesempatan itu untuk berintegrasi dengan masyarakat. Tetapi, secara pelan-pelan mengubah yasinan itu menjadi pengajian, diawali dengan yasinan ‘gaya baru’, yaitu dengan menerjemahkan dan memahami kandungan surat Yasin, tidak sekadar membacanya.
Lama-lama perkumpulan yasinan itu menjadi semacam majelis pengajian Al-Qur’an.
Baca juga: 22 Tahun Pimpin Muhammadiyah, Pak AR Tak Punya Rumah
Pak AR melaksanakan tugas berdakwah di Sumatara Selatan selama hampir 10 tahun, berpindah dari satu cabang ke cabang yang lain. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan mengajar di madrasah-madrasah Muhammadiyah, mengisi pengajian ranting dan cabang Muhammadiyah dan Aisyiyah, aktif memimpin kepanduan Hizbul Wathan, melatih tablig di Pemuda Muhammadiyah dan berbagai kegiatan lainnya.
Karena kegiatannya itu, lambat laun muncul kader-kader Muhammadiyah di cabang-cabang yang pernah ditinggali Pak AR. Di tempat-tempat itu Muhammadiyah juga mulai dikenal, tumbuh dan berkembang.
Setelah hampir 10 tahun bergaul dengan masyarakat di Sumatera Selatan, Pak AR pulang kembali ke desanya, Bieberan, Banaran, Galur (Yogyakarta), pada tahun 1944. Penduduk desanya telah mengetahui bahwa Pak AR telah pernah dan berpengalaman mengajar. Oleh karena itu, H. Dawam Rozy, Kepala Sekolah Darul Ulum (tempat sekolahnya dulu) meminta agar Pak AR bersedia mengajar. Permintaan itu dipenuhi dan tugas itu dilaksnakan sebaik-baiknya. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni