Kisah-kisah penguasa yang terjungkal sebenarnya bisa jadi pelajaran berharga, bagaimana saat berkuasa, mereka harus bersikap adil dan bijaksana. Tapi kebanyakan penguasa tidak sadar sehingga bersikap jumawa.
Oleh M. Anwar Djaelani, peminat sejarah
Tagar.co – ”Di Bangladesh, Demonstrasi Berhasil Akhiri 15 Tahun Pemerintahan ’Diktator’ Sheikh Hasina”. Ini judul di Kompas.com, 21 Agustus 2024. Sementara, di Kumparan.com 06/09/2021 ada judul ini: ”Kisah Presiden Guinea: Terguling Usai Ubah Konstitusi untuk Jabat 3 Periode”.
Dua kisah di atas, sekadar dua contoh bahwa sejarah tidak cukup menjadi pelajaran bagi banyak penguasa di dunia. Bukankah sudah sering terjadi peristiwa serupa? Bahwa, penguasa yang terlalu lama berkuasa cenderung bertindak semau sendiri. Bahwa, terkait itu, penguasa menjadi tak berpihak kepada rakyat dan hanya mementingkan diri sendiri, keluarga, dan kroni. Mereka, pada waktunya akan berhadapan dengan rakyat. Ini hukum besi sejarah.
Kelam di Bangladesh
Di Bangladesh, protes keras dari generasi muda terjadi di sepanjang Juli 2024. Pergolakan terus berlanjut, berubah menjadi gerakan anti-pemerintah yang menghendaki Hasina lengser dari kekuasaan.
Selanjutnya, pada Senin 05/08/2024, kemarahan mereka bisa mengakhiri 15 tahun pemerintahan Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina. Siapa Hasina? Perempuan itu berusia 76 tahun dan telah memerintah Bangladesh, negeri berpenduduk 170 juta jiwa, dengan tangan besi sejak 2009.
Perdana Menteri Hasina, dituduh telah memperkuat kekuasaan melalui lembaga negara dan menekan perbedaan pendapat. Kekerasan di akhir kekuasaannya akibat dari meningkatnya ketidakpuasan. Kemudian, berkembang ke tuntutan akan perubahan.
Baca juga: BPIP, Yudian, dan Noda Pembinaan Pelajar
Adapun akar protes, bermula dari sistem kuota yang kontroversial. Sistem itu memberikan hingga 30 persen pegawai negeri untuk anggota keluarga veteran perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971 melawan Pakistan.
Para pengunjuk rasa berpendapat bahwa sistem ini diskriminatif dan menguntungkan pendukung partai Liga Awami pimpinan Perdana Menteri Hasina. Mereka menganjurkan sistem berbasis prestasi untuk menggantikan kuota yang ada (https://dunia.tempo.co).
Mengutip sebuah media, demonstrasi di Bangladesh telah menyebabkan 409 orang meninggal. Tentu, ini sebuah harga yang sangat mahal untuk sebuah perubahan.
Mencekam di Guinea
Di Guinea, seperti apa kisah Alpha Conde yang ketika dikudeta pada 5 September 2021 berusia 83 tahun? Berikut ini sekilas kisahnya.
Alpha Conde lahir pada 4 Maret 1938 di Boke, Guinea. Dia politikus, juga seorang profesor ilmu politik di Universitas Paris.
Lelaki itu memenangi pemilu pada tahun 2010, yang dipandang sebagai pemilu demokratis pertama di negara itu sejak merdeka dari Perancis tahun 1958. Saat itu rakyat berharap Alpha Conde akan menciptakan kestabilan di Guinea, di mana korupsi telah merajalela selama puluhan tahun.
Dalam perkembangannya, kepresidenan Alpha Conde justru memperburuk kemiskinan, padahal kekayaan mineral mereka sangat besar. Dia juga dirasakan hanyut ke dalam otoritarianisme.
Baca juga: Para Pendakwah Pengubah Sejarah Indonesia
Ketegangan memuncak pada 2020. Ketika itu Alpha Conde mendorong amandemen konstitusi yang memungkinkan dirinya mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan ketiga. Dengan pengubahan itu dia maju lagi dalam Pemilu 2020 dan memenangkannya. Kemenangan ini kontroversial karena berdasar pada perubahan konstitusi yang memungkinkan Alpha Conde menghindari batas dua masa jabatan presiden di negara itu.
Perjalanan Alpha Conde mirip dengan banyak penguasa lain yang lupa sejarah. Bahwa, setelah “sempat berjasa” kemudian lupa diri. Lihatlah, jejaknya! Dia merupakan mantan pemimpin oposisi yang pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman mati. Dia kemudian menjadi pemimpin pertama Guinea yang terpilih secara demokratis pada 2010 dan memenangkan pemilihan kembali pada 2015 (https://news.detik.com/internasional/d-5711276/kudeta-di-guinea-berawal-dari-amandemen-konstitusi-bikin-presiden-3-periode).
Dramatis di Mesir
Pada 2011 warga Mesir berdemonstrasi menentang Presiden Hosni Mubarak. Gelombang ketidakpercayaan—untuk tak menyebut kemarahan—ditujukan kepada Mubarak yang telah memerintah 30 tahun. Disebut-sebut, di bawah rezim dia terjadi kemiskinan, pengangguran, penindasan, dan korupsi merajalela.
Unjuk rasa tak hanya di Mesir. Sebuah poster yang ditujukan kepada Mubarak tampak dibentangkan seorang perempuan di depan Konsulat Jenderal Mesir di Chicago AS pada 3 Januari 2011 dan bertuliskan: “30 years too many”.
Mubarak mulai menjadi presiden saat berusia 52 tahun. Ketika didemonstrasi besar-besaran, dia sudah berumur 82 tahun. Lalu, kapan pemilu terakhir di Mesir sebelum demonstrasi rakyat itu? Ternyata, bisa dibilang hanya beberapa saat sebelumnya, yaitu pada 28 November 2010.
Baca juga: Buku Kehidupan Mengajariku, Quotes Lugas dan Berani Pimpinan Gontor
Jika demikian, mengapa Mubarak yang terpilih lagi menjadi presiden sampai enam tahun ke depan, malah diminta turun? Ternyata dalam pemilihan anggota parlemen, warga merasakan berbagai praktik penipuan dalam proses pemberian suara.
Mubarak mengundurkan diri menyusul demonstrasi besar-besaran di 18 hari sebelumnya. Kemudian, pada 2 Juni 2012 dia divonis penjara seumur hidup.
Tragedi di Tunisia
Di Tunisia rezim Ben Ali berakhir pada 15 Januari 2011. Penggulingan rezim yang telah berkuasa 23 tahun itu berlangsung cepat. Faktor pemicu gelombang gerakan sosial waktu itu adalah ketidakpuasan publik atas praktik tata-kelola pemerintahan yang tak bersih dan berujung kepada maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Faktor lainnya adalah hasrat warga melakukan reformasi ekonomi, yaitu untuk bebas dari himpitan yang menyesakkan. Maka, tercatatlah peristiwa tragis berupa aksi “bakar diri” seorang sarjana berumur 26 tahun. Dia, yang bernama Bouazizi, menjadi penjual buah karena ekonominya terpuruk.
Kekesalannya memuncak dan berujung pada aksi “bakar diri” setelah pada 17 Agustus 2010 barang dagangannya disita polisi di kota Sidi Bouzid. Konon, aksi inilah yang lalu menyulut gejolak sosial besar-besaran di Tunisia dan lalu membuat Ben Ali kabur ke luar negeri.
Nestapa di Indonesia
Bagaimana di Indonesia? Mahfud MD menulis artikel “Soekarno, Soeharto, dan Dalil Acton” di Jawa Pos edisi 31 Mei 2008. Untuk Soekarno, Mahfud MD menulis: “Siapa pun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soekarno adalah salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia yang berhasil memerdekakan Indonesia dari penjajahan asing pada 1945”. Namun, “Tragisnya, Soekarno jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan banyak melakukan pelanggaran atas konstitusi”.
Lalu, Soeharto? Mahfud MD menulis: “Siapa pun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soeharto adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang menyelamatkan Indonesia dari krisis politik dan ekonomi.” Soeharto itu “Rendah hati, yang dipilih oleh rakyat dan mahasiswa (angkatan ’66) karena sifat kebapakannya dan menjanjikan kehidupan yang demokratis dan konstitusional bagi Indonesia”.
Namun, “Tragisnya, Soeharto jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan menumbuhsuburkan korupsi yang hingga sekarang menjadi kanker ganas di Indonesia” (https://gagasanhukum.wordpress.com/tag/lord-acton/).
Pelajaran Pasti
Wahai para penguasa, jangan lupakan sejarah! Jangan khianati rakyat. Ingatlah, kekuasaan itu amanah yang harus ditunaikan. Sungguh, semua penyalahgunaan kekuasaan akan mendekatkan kepada kehinaan di dunia dan akan mendapat balasan yang tak tertanggungkan kelak di akhirat.
Banyaklah “piknik”, ambil pelajaran dari berbagai peristiwa di dunia ini: “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Rasul-Rasul)” (Ali ‘Imran/3: 137).
Sungguh, jangan pernah menjadi pelupa! Sejarah itu penting, perkuat wawasan darinya. “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan” (Al-Hasyr/59: 3). (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni