Sejarah

Kisah Fatmawati Menjahit Bendera Pusaka Merah Putih

×

Kisah Fatmawati Menjahit Bendera Pusaka Merah Putih

Sebarkan artikel ini
Kisah Fatmawati menjahit Bendera Pusaka Merah Putih akan terus dikenang sebagai peristiwa sejarah. Dia menjahit bendera merah putih pakai mesin pada Oktober 1944 di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Saat itu Fatmawati sedang hamil tua mengandung anak pertama Guntur.
Ibu Fatmawati ketika sedang menjahit bendera Merah-Putih yang akhirnya menjadi Bendera Pusaka, bulan Oktober 1944. Kisah Fatmawati Menjahit Bendera Pusaka Merah Putih. (Foto Kompas)

Kisah Fatmawati menjahit Bendera Pusaka Merah Putih akan terus dikenang sebagai peristiwa bersejarah. Dia menjahit bendera merah putih pakai mesin pada Oktober 1944 di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Saat itu Fatmawati sedang hamil tua mengandung anak pertama Guntur.

Tagar.co – Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tak bisa dilepaskan dari Fatmawati, istri Sukarno sang Proklamator.

Fatmawati dikenal sebagai penjahit Bendera Pusaka sang Saka Merah Putih yang dikibarkan saat pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. 

Dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno dijelaskan, Fatmawati menjahit bendera merah putih pakai mesin pada Oktober 1944 di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Waktu itu dia menjahti sepulang dari pengasingan Bung Karno di Bengkulu. Fatmawati sedang hamil tua mengandung anak pertama Guntur.

Pada tahun itu Jepang sudah menjanjikan kemerdekaan dan membolehkan penggunaan simbol-simbol kebangsaan Indonesia seperti bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Fatmawati ingin menjahit bendera merah putih. Di zaman itu susah mencari kain. Karena semua barang dikuasai tentara Jepang. Rakyat miskin saja sampai pakai karung goni untuk baju. Dia lantas meminta Chaerul Basri, anak buah Hitoshi Shimizu, kepala Sendenbu (kantor propaganda Jepang) agar memintakan kain untuk bendera.

Menjahit Dua Hari

Baca juga: Membonceng Bung Karno di Rumah Pengasingan Bengkulu

Setelah menelepon gudang, Shimizu mendapatkan kain katun merah dan putih di gudang dekat Jalan Pintu Air, depan Bioskop Capitol. Kain itu diambil Basri lantas diberikan Fatmawati. Dua gulung kain merah dan putih dipotong menjadi bendera ukuran 2×3 meter.

Baca Juga:  Ka'bah dan Sejarah Haji

Menjahit bendera itu selama dua hari dikerjakan pelan-pelan dengan mesin jahit tangan merek Singer. Dokter tak membolehkan menggenjot mesin jahit pakai kaki karena hamil tua. Fatmawati menuturkan, menjahit bendera itu dengan berurai air mata saking harunya.

Setelah bendera jadi lalu disimpan di lemari. Setahun kemudian Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mendadak diumumkan 17 Agustus 1945 di depan rumahnya. Pagi-pagi ada orang bertanya-tanya mana benderanya untuk upacara proklamasi, Fatmawati teringat menyimpan bendera lalu mengambilnya. Bendera itulah yang dikibarkan oleh Latif Hendraningrat saat proklamasi.

Wakil Ketua PWM JAtim Dr. Syamsudin M.Ag. dan mesin jahit Fatmawati yang ada di musium Rumah Ibu Fatmawati Soekarno Bengkulu. Kisah Fatmawati Menjahit Bendera Pusaka Merah Putih (Tagar.co/Mohammad Nurfatoni)

Keberaadan Mesin Jahit

Mesin jahit tangan yang dia gunakan menjahit bendera pusaka bersejarah itu kini tersimpan di Rumah Ibu Fatmawati Soekarno, di Jalan Fatmawati No 10 Bengkulu.

Baca jugaEmpat Macam Kemerdekaan, Sudahkah Dirasakan Bangsa Indonesia?

Di rumah panggung yang terbuat dari kayu yang kini jadi cagar budaya itu, dipajang dua mesin jahit. Menurut Marwan, sang penjaga rumah, salah satu mesin jahit itu asli. Artinya yang benar-benar dipakai oleh Fatmawati untuk menjahit Bendera Pusaka Merah Putih. 

“Waktu itu menjahitnya di Jakarta, karena beliau tinggal di sana bersama Bung Karno setelah menikah,” jelas Marwan saat saya berkunjung ke rumah itu, lima tahun lalu, tepatnya, Sabtu 16 Februari 2019.

Kebaya dan kerudung Farmawari di Rumah Ibu Fatmawati Soekarno, Bengkulu. (Tagar.co/Mohammad Nurfatoni)

Kebaya Fatmawati

Benda peninggalan Fatmawati lainnya adalah dua pasang kebaya lengkap dengan kerudung yang disimpan dalam lemari kaca dan diletakkan di ruang tamu.

Baca Juga:  Jamari, Tokoh Perintis Muhammadiyah Bawean

Ada dua kebaya yang masih terawat dengan baik. Di sisi kiri kebaya berwarna coklat dengan bordir bunga-bunga dipadu kerudung putih dengan kain batik coklat bercorak parang sebagai bawahan. Sementara di sisi kanan kebaya dan kerudungnya serasi berwarna merah dengan bawahan kain batik coklat.

Baca jugaGaruda di IKN Menunduk, Malu dan Lesu?

Rumah Fatmawati memiliki tiga ruang utama. Yaitu satu ruang tamu dan dua kamar. Salah satu kamar berisi ranjang dari besi, serta almari dan meja rias yang terbuat dari kayu jati. Menurut Marwan, semua barang itu asli peninggalan bersejarah rumah ini.

Sementara kamar satunya diisi mesin jahit peninggalan Fatmawati. Selain itu terdapat ruang makan dan kamar mandi. “Untuk kamar mandi itu merupakan bangunan tambahan. Zaman dulu kamar mandi terletak di belakang rumah,” ungkap Marwan saat saya wawancarai tahun 2019 di rumah itu. 

Rumah Ibu Fatmawati Soekarno di Bengkulu. (Tagar.co/Mohammad Nurfatoni)

Awalnya Rumah Hasan Din

Marwan menjelaskan, rumah berukuran 15×12,5 meter yang terletak pada lahan seluas 20×25 m ini sebenarnya rumah Hasan Din yang dibangun tahun 1915 dan direnovasi beberapa kali termasuk di tahun 90-an. “Bu Fatmawati tinggal mulai lahir sampai nikah,” jelasnya.

Marwan sendiri adalah saudara sepupu Fatmawati. Hasan Din dan ayahnya, Amana Din, adalah anak kandung Basyaru Din. “Ada 11 anak beliau, enam laki-laki dan 5 perempuan. Ayah Bu Fatmawati nomor dua dan ayah saya nomor sembilan,” ungkapnya sambil menyebutkan 11 anak Basyaru Din secara berurutan. 

Baca Juga:  Empat Macam Kemerdekaan, Sudahkah Dirasakan Bangsa Indonesia?

Yaitu Yusuf Din, Hasan Din, Hafsah Din, A Rani Din, Sidik Din, Syaifu Din, Shaleha Bungsu Din, Amana Din, Maryam Din, dan Asia Din.

Marwan mengaku sampai saat ini masih berhubungan dengan anak-anak Fatmawati yakni Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. (#)

Penulis Mohammad Nurfatoni