TelaahUtama

Khitan Perempuan dalam Pandangan Aisyiyah

314
×

Khitan Perempuan dalam Pandangan Aisyiyah

Sebarkan artikel ini
Khitan bagi Perempuan
Ilustrasi AI

Tradisi khitan perempuan masih berlangsung di berbagai daerah di Indonesia, terutama di kalangan Muslim. Benarkah itu bagian ajaran Islam? Bagaimana Aisyiyah memberi solusi tentang persoalan ini?

Tagar.co – Dalam peringatan Hari tanpa Toleransi terhadap Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP), Kamis (6/2/25), ‘Aisyiyah menegaskan kembali sikapnya yang tidak menganjurkan praktik khitan atau sunat perempuan.

“Sunat perempuan adalah tindakan yang merugikan bagi perempuan, bahkan hal ini sudah diakui oleh dunia internasional. Namun, sayangnya, praktik ini masih banyak terjadi di Indonesia,” ujar Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.

Menurut Tri, kondisi ini terjadi akibat faktor budaya dan pemahaman agama yang keliru. Oleh karena itu, ‘Aisyiyah melakukan berbagai upaya edukasi kepada masyarakat untuk menghentikan praktik ini, salah satunya dengan menyebarkan pandangan Islam yang tidak menganjurkan sunat perempuan kepada tokoh agama dan masyarakat.

Tri menegaskan bahwa tokoh agama dan tokoh masyarakat memiliki peran penting dalam upaya ini. “Mereka sangat didengar pendapatnya di masyarakat,” katanya, dikutip dari Aisyiyah.or.id.

Baca Juga:  Aisyiyah Angkat Isu Kedaulatan Pangan hingga Perlindungan Anak dalam Tanwir I

Selain itu, ‘Aisyiyah juga bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dalam melakukan sosialisasi kepada kader-kader di berbagai provinsi. Harapannya, kerja sama ini dapat memperkuat peran kader dalam mengedukasi masyarakat.

Fatwa Muhammadiyah tentang Sunat Perempuan

Siti Aisyah, Ketua PP ‘Aisyiyah yang membidangi Majelis Tabligh dan Ketarjihan, menjelaskan bahwa Muhammadiyah telah mengeluarkan Fatwa Tarjih mengenai khitan perempuan yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2.

“Hadis tentang khitan perempuan lemah, tidak ada dalil kuat yang mewajibkannya. Maka, hal ini dikembalikan kepada dampak positif dan negatifnya,” terang Siti Aisyah.

Karena dampak negatifnya lebih besar, Muhammadiyah tidak menganjurkan khitan perempuan. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan aspek kesehatan, sosial budaya, dan dalil bayani.

“Dalil tentang pelaksanaan khitan perempuan tidak begitu jelas, sedangkan mudaratnya sangat nyata. Oleh karena itu, fatwa Muhammadiyah menegaskan bahwa sunat perempuan tidak dianjurkan atau ghairu masyru’,” tambahnya.

Membongkar Dalil Lemah tentang Sunat Perempuan

Siti Aisyah juga membahas beberapa dalil lemah yang sering digunakan untuk mendukung praktik sunat perempuan. Salah satunya adalah QAn-Nisa’ ayat 125 yang sering ditafsirkan sebagai perintah untuk mengikuti Milah Ibrahim, termasuk dalam hal khitan. Namun, para mufasir menegaskan bahwa Milah Ibrahim merujuk pada ajaran tauhid, bukan khitan.

Baca Juga:  Zulhas Serukan Kedaulatan Pangan di Sidang Tanwir Aisyiyah

Selain itu, terdapat hadis dari Ummu Athiyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. berkata kepada seorang perempuan yang hendak berkhitan di Madinah:

“Janganlah berlebihan, karena lebih nikmat (ketika berhubungan seksual) dan lebih dicintai oleh suami.” (H.R. Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

Menurut Aisyah, hadis ini lemah karena ada seorang perawi yang tidak diketahui asal-usulnya, yaitu Muhammad ibn Hasan.

Strategi Menghentikan Tradisi Sunat Perempuan

Meskipun fatwa sudah jelas, tradisi sunat perempuan masih kuat di beberapa daerah. Evi Sovia Inayati, Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah, menyebut bahwa mengubah tradisi ini memerlukan kerja sama banyak pihak.

“Kita perlu menyebarluaskan pemahaman Islam berkemajuan yang tidak menganjurkan khitan perempuan. Ini dapat dilakukan melalui tabligh, ceramah, dan sosialisasi secara intensif dan berkelanjutan,” ucap Evi.

Untuk menggantikan tradisi pesta khitan perempuan, Siti Aisyah mengusulkan menciptakan tradisi baru, misalnya tasyakuran saat anak perempuan mengalami haid pertama.

“Momen haid pertama adalah simbol memasuki masa balig, di mana perempuan mulai menjalankan kewajiban agama dan sosialnya,” jelasnya.

Baca Juga:  Sunat Ceria Ramadan, Aksi Sosial PCPM Bubutan yang Penuh Berkah

Penutup

Khitan perempuan bukan hanya tidak dianjurkan dalam Islam, tetapi juga memiliki dampak negatif yang nyata bagi kesehatan dan kesejahteraan perempuan. Mengedukasi masyarakat, menggandeng tokoh agama dan pemerintah, serta menginisiasi tradisi baru adalah langkah-langkah penting yang perlu terus dilakukan.

Mari bersama-sama mewujudkan kesadaran dan perubahan, demi masa depan perempuan yang lebih sehat dan berdaya! (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni