Budaya

Keunikan Kata di Tangan Sutardji Calzoum Bachri

×

Keunikan Kata di Tangan Sutardji Calzoum Bachri

Sebarkan artikel ini
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri

Pada mulanya adalah kata dan kata pertama adalah mantra. Kata-kata bukan sekadar sarana untuk menyampaikan pengertian karena menurutnya, kata-kata itu sendiri adalah pengertian.

Tagar.coSutardji Calzoum Bachri adalah seorang sastrawan terkenal di Indonesia. Penyair kontemporer dengan julukan Presiden Penyair Indonesia ini menjadi pelopor dari penyair angkatan ’70.

Keunikan dari Sutardji yakni ungkapan kata yang terbebas dari pengertian secara harfiah. Hal ini membuat karya Sutardji menarik untuk dibaca. Karya puisi milik Sutardji antara lain Amuk, O, Aku Datang Padamu, Hujan Menulis Ayam, Hijau Kelon dan Puisi, Kecuali, dan masih banyak lagi.

Sutardji Calzoum Bachri dijuluki sebagai presiden penyair Indonesia dan merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an, lahir 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Dia anak kelima dari sebelas orang bersaudara.

Ayahnya, Mohammad Bachri, berasal dari Prembun, Kutoardjo, Jawa Tengah, yang sejak masa remaja merantau ke Riau sampai memperoleh jabatan sebagai Ajun Inspektur Polisi, Kepolisian Negara, Kementrian Dalam Negeri, Republik Indonesia di Tanjung Pinang, Riau (Tambelan). Ibunya bernama May Calzoum berasal dari Riau (Tambelan).

Tahun 1982 ia menikah dengan Mardiam Linda dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi. Jenjang pendidikan yang dilalui Sutardji dimulai SD, SMP, SMA, kemudian Fakultas Sosial Politik, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung, tetapi tidak selesai.

Selain itu, pada musim panas tahun 1974 ia mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda. Bulan Oktober 1974–April 1975 ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA.

Dia juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dalam 10 terbaik. Dia juga pernah diundang ke Pertemuan Internasional Para Penyair di Baghdad, Irak bersama K.H. Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail, juga diundang Dato Anwar Ibrahim (sewaktu menjabar Menteri Keuangan Malaysia) untuk membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia.

Baca juga: Andrea Hirata, Belitong, dan Mimpi Anak yang Berkibar

Sutardji juga pernah mengikuti berbagai pertemuan sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tahun 1997 Sutardji memenuhi undangan untuk membaca puisi di Festival Puisi Internasional Medellin, Columbia.

Sutardji pernah bekerja di Majalah Horison sebagai redaktur dan sejak tahun 1996 ia menjadi redaktur senior majalah tersebut. Sutardji juga pernah bekerja di majalah mingguan Fokus, Sutardji juga bekerja menjadi penjaga ruang seni Bentara, khususnya menangani puisi pada harian Kompas (2000—2002) setelah berhenti menjadi redaktur pada majalah sastra Horison.

Proses Kreatif

Proses kreatifnya dimulai sejak mahasiswa saat berumur 25 tahun. Dia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke surat kabar dan mingguan di Bandung, dan di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Pikiran Rakyat, Haluan, Horison, dan Budaya Jaya.

Pada tahun 1971, sajaknya berjudul O yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah sastra Horison.

Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya berjudul Amuk kembali dimuat. Sutardji di kemudian hari dikenal dengan Kredo Puisi yang menarik perhatian dunia sastra di Indonesia.

Dia berpendapat bahwa kata-kata bukan sekadar sarana untuk menyampaikan pengertian karena menurutnya, kata-kata itu sendiri adalah pengertian.

Dia berpikir bahwa kata-kata itu harus terbebas dari penjajahan pengertian dan dari beban ide, serta penjajahan gramatika dan tabu bahasa.

Baca juga: Pramoedya Ananta Toer: Antara Pulau Buru, Lekra, dan Suara Penderitaan Rakyat

Jadi, kata-kata itu harus bebas menentukan dirinya. Dengan demikian, menurut Sutardji, penyair harus memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada kata-kata agar kata-kata dapat mewujudkan diri sendiri dan menciptakan dunia pengertiannya sendiri.

Kata-kata dalam sajak-sajak Sutardji dapat ditulis sungsang, dipotong, atau dibalik susunannya. Menurut Sutardji, menulis puisi itu ialah membebaskan kata-kata dan itu berarti mengembalikan kata pada awal mulanya.

Pada mulanya adalah kata dan kata pertama adalah mantra. Dengan demikian, menulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantra. Sutardji merupakan salah satu pelopor sastrawan angkatan 1970-an. Puisi-puisinya dipandang para pakar sebagai karya yang membawa nafas baru dalam dunia perpuisian Indonesia.

Keunikan Kata dan Karya

Selain itu, Sutardji juga dikenal sebagai pembaca puisi yang unik, ia sering tampil membacakan puisi di atas panggung. Dalam berpuisi, ide atau opini dalam sajak-sajak yang disampaikan tidak hanya berupa isi pikiran, tetapi juga menyangkut suasana batin dan naluri.

Di samping itu, puisi yang dibacakan mudah dicerna oleh para pendengarnya. Karya-karya Sutardji berbentuk puisi, cerpen, dan esai. Kumpulan puisinya yang pertama berjudul O (1973). Kumpulan puisi berikutnya Amuk (1972). Buku ini pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta. Tahun 1979 terbit buku kumpulan puisinya yang ketiga Kapak.

Pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan puisinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak dan diterbitkan oleh Sinar Harapan.

Kumpulan puisinya yang lain Atau Ngit Cari Agar (2008), Kucing (1973), Aku Datang Padamu, Perjalanan Kubur David Copperfield, dan Realities Tanah Air.

Baca jugaPenerima Nobel Sastra 10 Tahun Terakhir

Puisi-puisi karya Sutardi juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain, Arjuna in Meditation (Calcutta, Inia, 1976), Writing from the World (USA), Westerly Review (Australia), Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975), Ik Wil nog dulzendjaar leven, negen moderne Indonesische dichter (1979), Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), Parade Puisi Indonesia (1990), majalah Tenggara, Journal of Southeast Asian Literature 36 dan 37 (1997), dan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).

Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, Inia, 1975), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Sutardji juga menulis esai dan cerpen.

Kumpulan cerpennya Hujan Menulis Ayam diterbitkan oleh Indonesia Tera, tahun 2001. Pekerjaannya sebagai redaktur puisi untuk lembaran seni Bentara Kompas memberinya kesempatan menulis esai. Kumpulan esainya Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hijau Kelon & Puisi 2002 berasal dari dua esai yang mengantar kumpulan puisi Bentara.

Dia juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Saat ini Sutardji sedang menyiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul Memo Sutardji. Penghargaan yang pernah diterima Sutardji, antara lain, adalah Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta tahun 1977, Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand tahun 1979, Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia tahun 1993, Penghargaan Sastra Chairil Anwar tahun 1998.

Tahun 2001 ia dianugerai gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau, tahun 2008 Ketua Dewan Kesenian Riau (Eddy Akhmad R.M.) menabalkan bulan Juni sebagai bulan Sutardji, dan menerima Bakrie Award 2008. (*)


Jurnalis Ichwan Arif

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Baca Juga:  Jangan Biarkan Aku Kufur Nikmat