Teori keunggulan komparatif (comparative advantage) adalah kemampuan suatu negara, perusahaan, atau individu untuk memproduksi barang atau jasa dengan biaya peluang yang lebih rendah daripada mitra dagangnya.
Opini oleh Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik
Tagar.co – Memasuki usia kemerdekaan ke-79, kemandirian ekonomi NKRI masih jauh panggang dari api. Bayang-bayang sebagai bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lain seperti masa Hindia Belanda masih terasa.
Sebagai negara agraris, impor beras yang semakin deras bikin miris. Nilai utang dan angka pengangguran juga semakin besar. Keunggulan komparatif sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan—dengan dukungan bentang laut serta daratan luas—tertutup aktivitas investasi padat modal dan pertambangan, perburuan bahan mentah, bernilai rendah.
Baca juga: Muhammadiyah, antara Bank dan Tambang
Surat Al-Hujurat ayat 13 berbunyi “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
Dalam perbedaan suku, bangsa Allah Azza wa Jalla menciptakan kemampuan, skill, atau keterampilan yang berbeda-beda pula. Skill setiap suku atau bangsa sesuai dengan alam lingkungan di mana suku atau bangsa tersebut berdiam. Skillpaling utama yaitu kemampuan bertahan hidup, menemukan sumber makanan, membangun tempat tinggal dan menentukan jenis pakaian.
Kolaborasi Muhajirin dan Ansar
Rasulullah Saw dan sahabat memberi teladan dalam memberdayakan masyarakat Makkah dan Madinah. Di Makkah Rasulullah dan sahabat menekuni bidang perdagangan. Ketika hijrah di Madinah, kultur ekonomi yang ada mengharuskan kaum Muhajirin ikut berladang sesuai potensi alam dan kebiasaan kaum Ansar.
Kolaborasi yang indah kemudian terjadi antara beberapa sahabat yang pandai berdagang dan berladang menjadikan ekonomi kaum muslimin menjadi sehat dan kuat. Ketika masing-masing individu, suku, bangsa hingga perusahaan bisa fokus pada keunggulan komparatifnya dan bersinergi, kekuatan dahsyat bisa terbangun rapi.
Sejarah mencatat ekonomi kaum muslimin di Madinah mampu bersaing tanpa didikte para pelaku ekonomi Yahudi yang lebih dahulu menguasai Madinah sebelum hadirnya Rasulullah dan sahabat Muhajirin.
Baca juga: Pertambangan Tidak Relevan dengan Amal Usaha Muhammadiyah
Setelah ormas NU dan Muhammadiyah bersedia menerima tawaran izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah, sejumlah ormas Islam dikabarkan mulai merapat. Rata-rata alasan sejumlah ormas tersebut mirip yaitu ingin menyelamatkan bumi, mencegah korupsi, mencegah penguasaan tambang oleh pihak asing sampai yang terang-terangan butuh uang.
Narasi lain yang disajikan adalah ingin membuat Indonesia masuk jajaran negara kaya dan makmur seperti negara-negara Arab yang rakyatnya ikut makmur dari hasil tambang.
Mimpi kaya raya dan makmur sejahtera dari hasil tambang seperti Brunei, Saudi, Qatar dan lain-lain tidak salah, tapi bisa disebut latah.
Tambang bisa disebut karunia Allah Azza wa Jal untuk Jazirah Arab yang gersang dan tandus. Untuk bangsa Indonesia Allah menciptakan lahan yang subur dan laut yang luas serta potensi hutan belantara sumber plasma nutfah keragaman hayati tidak ternilai.
Keunggulan Komparatif
Jazirah Arab dan Nusantara memiliki potensi ekonomi yang berbeda, dalam teori ilmu ekonomi disebut keunggulan komparatif.
Teori tersebut dicetuskan David Ricardo (18 April 1772 – 11 September 1823), seorang pakar ekonomi politik Inggris. David Ricardo merupakan salah seorang pemikir ekonomi klasik yang paling berpengaruh, bersama dengan Thomas Malthus, Adam Smith, dan John Stuart Mill.
Pemikiran atau teori ekonomi David Ricardo yang terkenal yaitu teori keunggulan komparatif (comparative advantage) adalah kemampuan suatu negara, perusahaan, atau individu untuk memproduksi barang atau jasa dengan biaya peluang yang lebih rendah daripada mitra dagangnya. Keunggulan komparatif dapat menjelaskan mengapa perdagangan dapat terjadi dan saling menguntungkan antar negara.
Aktivitas pertambangan di Indonesia telah lama mengusik nurani para aktivis lingkungan karena ditengarai banyak menyebabkan kerusakan hutan, lahan mencemari laut, sungai dan sebagainya. Terlalu banyak dan besar yang dikorbankan dalam menjalankan bisnis pertambangan. Selain kerusakan alam, fokus dan orientasi pengembangan serta ketahanan sektor pangan semakin tidak jelas.
Baca juga: Dilema Ormas dalam Izin Usaha Pertambangan
Menjalankan usaha pertambangan tanpa merusak lingkungan dan lahan-lahan subur hanya bisa dilakukan di wilayah padang pasir tandus Jazirah Arab. Sedangkan mayoritas wilayah Nusantara baik daratan dan lautnya merupakan wilayah subur kehutanan, pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Kegiatan eksplorasi tambang bahan-bahan mentah dengan nilai tambah rendah tidak kunjung membuat neraca perdagangan dan cadangan devisa membaik. Kegiatan usaha pertambangan dan industri yang merusak fundamental ekonomi dan keunggulan komparatif sudah waktunya dibatasi. Potensi-potensi sektor usaha yang memiliki keunggulan komparatif saatnya dikuatkan.
Semoga kondisi ini bisa segera disadari para pemimpin bangsa, utamanya pemimpin-pemimpin ormas yang didirikan untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan untuk ikut serta dalam eksplorasi batu bara, minyak, gas, timah, nikel dan sejenisnya. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni