Opini

Ketika Umrah Ilegal Dibiarkan, yang Taat Justru Ditekan

235
×

Ketika Umrah Ilegal Dibiarkan, yang Taat Justru Ditekan

Sebarkan artikel ini
Fenomena umrah mandiri makin marak, meski jelas melanggar hukum. Ironisnya, yang resmi justru ditekan. Negara dinilai lembek pada pelanggar, tapi garang pada penyelenggara taat aturan.
Ulul Albab

Fenomena umrah mandiri makin marak, meski jelas melanggar hukum. Ironisnya, yang resmi justru ditekan. Negara dinilai lembek pada pelanggar, tapi garang pada penyelenggara taat aturan.

Oleh Ulul Albab; Ketua Litbang DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri); Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jawa Timur; Akademisi Universitas Dr. Soetomo

Tagar.co – Fenomena “umrah mandiri” kini marak dijumpai di media sosial dan grup-grup pertemanan. Umrah ini diselenggarakan oleh individu atau kelompok tanpa izin resmi dari Kementerian Agama.

Mereka menjajakan paket umrah dengan harga murah, meskipun tak memiliki izin sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), namun tetap memberangkatkan jemaah ke Tanah Suci. Ironisnya, keberadaan mereka seolah tak tersentuh hukum.

Baca juga: Ketidakadilan Pemerintah dalam Memperlakukan Penyelenggara Umrah di Indonesia

Padahal, regulasi telah jelas mengatur bahwa hanya lembaga yang memiliki izin resmi yang boleh menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah. Dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah disebutkan:

“Setiap orang yang menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah tanpa izin sebagai PPIU dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000.”

Namun, realitas di lapangan berbicara lain. Praktik umrah ilegal terus berlangsung tanpa pengawasan yang memadai.

Baca Juga:  Cendekiawan Muslim dan Medan Baru Dakwah: Dari Mimbar Akademik ke Medsos

Sementara itu, PPIU resmi justru menjadi objek pengawasan ketat. Kesalahan administratif kecil seperti keterlambatan laporan atau perubahan teknis perjalanan langsung disikapi dengan ancaman pembekuan akun Siskopatuh (Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus).

Baca juga: Ketika Wasit Diam: Menyelamatkan Umrah dari Penyelenggara Ilegal

Mengapa negara terlihat lebih keras terhadap mereka yang taat aturan, namun “ompong” terhadap pelanggaran yang nyata?

Penyelenggara resmi harus melalui berbagai persyaratan ketat—dari aspek legalitas, kesiapan SDM, kerja sama dengan mitra di Arab Saudi, perlindungan jemaah, hingga pelaporan berkala. Semua ini dilakukan demi menjamin kenyamanan dan keamanan para jemaah.

Namun ketika muncul pihak-pihak yang terang-terangan melanggar aturan dengan iming-iming “umrah murah ala backpacker”, nyaris tak ada tindakan yang berarti. Ini merupakan bentuk ketidakadilan regulatif sekaligus pembiaran sistematis.

Risiko Besar

Tak hanya merugikan penyelenggara resmi, masyarakat juga berisiko terjebak narasi “mandiri lebih hemat”. Padahal, bahaya mengintai: risiko kehilangan tiket, ditolak di imigrasi, gagal menunaikan ibadah, bahkan terlantar di Tanah Suci bukan hal yang mustahil.

Baca Juga:  Uang Suap di Bawah Kasur Hakim: Keadilan Dijual Murah

Jika negara terus berdiam diri, maka akan muncul preseden buruk yang merugikan banyak pihak:

  1. Merugikan jemaah – karena tidak ada jaminan perlindungan hukum atau asuransi.

  2. Membunuh usaha resmi – karena PPIU tidak bisa bersaing dengan harga di luar sistem.

  3. Merusak tata kelola umrah nasional – karena regulasi tak lagi dihormati.

Sudah saatnya pemerintah menegakkan hukum secara adil dan berkeadilan. Jangan hanya keras pada yang sudah patuh. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku perjalanan ilegal harus dilakukan untuk menyelamatkan umat dari praktik-praktik yang merugikan.

Kementerian Agama, aparat hukum, dan seluruh pemangku kepentingan perlu meningkatkan pengawasan, penindakan, dan edukasi kepada masyarakat. Di sisi lain, asosiasi penyelenggara umrah juga harus bersatu. Bila perlu, sampaikan mosi tidak percaya sebagai bentuk tekanan moral agar regulasi ditegakkan secara adil. Jika tidak, penyelenggara resmi akan mati pelan-pelan, dikalahkan oleh mereka yang berjalan tanpa aturan.

Islam mengajarkan bahwa kebaikan harus dibangun dengan cara yang baik. Termasuk dalam ibadah umrah—yang semestinya dilakukan dengan ketundukan, bukan dengan akal-akalan.

Baca Juga:  Warung Buka Siang di Ramadan: Antara Toleransi dan Hormat pada yang Berpuasa

Penutup

Mari kita bersama membangun sistem penyelenggaraan ibadah yang amanah, legal, dan melindungi umat. Jangan biarkan ibadah yang suci ini dirusak oleh praktik ilegal yang bebas dari pengawasan. Negara wajib hadir. Umat wajib sadar. Dan penyelenggara resmi wajib bersatu. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni