
Ustaz Ali Imran dari PCIM Malaysia hadir dalam Halalbihalal HTKP Payaman. Tausiyahnya menggetarkan: infak tak butuh kaya, sabar itu kekuatan, dan memaafkan adalah ciri ketakwaan.
Tagar.co — Fajar baru saja menyingsing ketika jemaah mulai berdatangan ke Masjid Al-Jihad Muhammadiyah Payaman, Solokuro, Lomongan, Jawa Timur, Ahad (6/4/24). Suasana yang biasanya tenang itu berubah menjadi hangat oleh silaturahim para perantau yang kembali ke kampung halaman.
Dalam momen Syawal yang penuh berkah, Himpunan Tenaga Kerja Perantau (HTKP) Payaman menggelar acara halalbihalal bersama Ustaz Ali Imran, Lc., M.A., mantan Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia.
Baca juga: Safari Dakwah Gresla 2: Silaturahmi Penuh Makna dari Malaysia ke Gresik dan Lamongan
Acara dimulai selepas salat Subuh berjemaah. Dalam suasana yang hening dan khusyuk, Ustaz Ali menyampaikan pesan yang menyentuh tentang kebangkitan umat dan makna ketakwaan pasca-Ramadan.
“Kebangkitan umat itu ternyata tidak dilihat dari berapa banyak yang salat Jumat,” ujarnya membuka tausiyah, “tapi dilihat dari berapa banyak yang berjemaah salat Subuh. Mudah-mudahan Masjid Jihad di Payaman ini menjadi salah satu yang mendukung kebangkitan umat secara keseluruhan dengan aktifnya jemaah salat Subuh.”
Ustaz Ali datang tidak sendiri. Ia hadir bersama beberapa tokoh perantau asal Payaman yang menetap di Malaysia, seperti Haji Suprayetno, Haji Madlazim, Miftah, Ali Usman, dan Markan. Ia menyampaikan bahwa perantau Muhammadiyah asal Lamongan, khususnya dari Payaman, sangat aktif menggerakkan dakwah di negeri jiran.
“Kami adalah warga Muhammadiyah yang berkesempatan tinggal di Malaysia. Berita tentang kehebatan Muhammadiyah di Lamongan, termasuk di Payaman, kami dengar jauh-jauh hari di Malaysia. Melihat langsung sebagian kader-kadernya yang ada di Malaysia, mereka begitu giat dan militan. Militansi yang luar biasa.”
Ia juga mengungkapkan haru bisa menginjakkan kaki di Lamongan, setelah lama merindukan kampung halaman.
“Selalu ada keinginan, suatu hari nanti ingin berkunjung ke Lamongan dengan desa-desa yang ada di sini. Alhamdulillah, Allah mengizinkan untuk bisa menginjakkan kaki. Mudah-mudahan ini sebagai salah satu penyambung silaturahmi kami.”

Dalam tausiahnya, Ustaz Ali mengajak para hadirin untuk mengevaluasi diri setelah Ramadan, terutama dalam hal peningkatan ketakwaan.
“Sekarang sudah selesai ibadah puasa Ramadan selama 30 hari. Seharusnya ketakwaan kita sudah mengalami peningkatan. Kira-kira bagaimana, Bapak-Bapak Ibu-Ibu? Rasanya, apakah ada perbedaan antara sebelum Ramadan dengan setelah Ramadan?”
Ia mengutip pemikiran almarhum Prof. Yunahar Ilyas, bahwa yang seharusnya dibandingkan bukan Ramadan dengan Syawal, tapi antara Syakban dan Syawal.
“Karena Ramadan itu memang dikondisikan oleh Allah Swt. untuk menjadi bulan istimewa. Wajar kalau kita ibadahnya maksimal. Tapi pertanyaannya: apakah efek latihan itu masih terasa setelah Ramadan lewat?”
Lalu ia mengajak untuk merenungi tiga indikator ketakwaan menurut Surah Ali Imran ayat 133–136:
“Yang pertama, orang yang bertakwa adalah yang gemar berinfak, dalam keadaan lapang maupun sempit. Yang kedua, mampu menahan marah. Dan yang ketiga, mudah memaafkan.”
Tentang infak, Ustaz Ali menjelaskan bahwa kemampuan memberi bukan hanya milik orang kaya.
“Biasanya kita menganggap yang dituntut untuk berinfak itu orang kaya. Tapi indikator takwa itu tidak menuntut kita menjadi kaya dulu. Justru Allah Swt. berfirman, ‘Orang kaya hendaknya berinfak dari kekayaannya, dan orang yang dibatasi rezekinya berinfak dari apa yang Allah beri.’”
Ia menegaskan bahwa ukuran infak bukan pada nominal, tetapi persentase.
“Kita punya 10 juta, keluarkan 500 ribu. Itu 5 persen. Tetangga kita punya 1 miliar, keluarkan 500 ribu juga. Tapi dari sisi persentase, kita yang menang.”
Dengan gaya bertutur yang hangat dan jenaka, ia juga menyinggung kebiasaan warga Lamongan yang dikenal dermawan.
“Kalau ngumpulin dana untuk dakwah, ada yang sakit, atau bangun rumah ibadah di Malaysia, warga Muhammadiyah asal Lamongan yang paling giat. Tenaga keluar, harta juga keluar. Jadi tidak heran melihat Masjid Al-Jihad ini megah. Budaya infak nampaknya sudah tertanam.”
Setelah membahas infak, ia beralih ke pengelolaan emosi sebagai indikator ketakwaan.
“Orang yang semakin tinggi takwanya, akan semakin baik dalam mengelola emosi. Marah pasti ada, tapi yang membedakan adalah: apakah kita melampiaskan atau menahan?”
Ia memberi contoh nyata tentang konflik yang bermula dari amarah kecil, seperti kasus pembunuhan karena rebutan parkir di Bandung.
“Tersinggungnya sedikit, marahnya besar. Akhirnya ada yang terbunuh. Itu semua karena tidak mampu mengelola emosi.”
Menurutnya, kemampuan merespons masalah dengan kepala dingin adalah bentuk nyata ketakwaan.
“Kita tidak bisa mengatur orang lain nyerempet kita di jalan. Tapi kita bisa mengatur bagaimana meresponsnya. Kalau langsung marah, bisa berkelahi. Kalau kita tahan, mungkin kita malah selamat dari celaka.”
Indikator terakhir yang ditekankan adalah mudah memberi maaf. Dalam konteks halalbihalal, ia menyinggung kebiasaan meminta maaf lahir dan batin saat lebaran.
“Tradisi itu bagus. Walaupun tidak harus menunggu lebaran untuk meminta maaf. Tapi tetap, kalau kepada Allah cukup dengan tobat, kalau kepada sesama, kita harus minta maaf dan memberi maaf.”
Ia mengakhiri ceramahnya dengan ajakan untuk menjaga semangat Ramadan dan memupuk ketakwaan berkelanjutan.
“Kalau infak sudah jadi budaya, menahan amarah sudah terlatih, dan memaafkan sudah ringan, insyaallah ketakwaan itu sudah melekat dalam diri kita.”
Halalbihalal HTKP Payaman bersama Ustaz Ali Imran bukan sekadar ajang temu kangen. Lebih dari itu, pertemuan ini menjadi pengingat ruhani, bahwa ketakwaan tidak berhenti di Ramadan, dan ukhuwah harus dirawat, baik di perantauan maupun di tanah kelahiran. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni