Opini

Kasihani Penguasa!

×

Kasihani Penguasa!

Sebarkan artikel ini
Kasihani penguasa! Sejarah mencatat penguasa yang terlalu lama berkuasa cenderung bertindak semau sendiri. Lalu mereka terjungkal.
Kasihani Penguasa! (Ilustrasi AI/Grok-X)

Kasihani penguasa! Sejarah mencatat penguasa yang terlalu lama berkuasa cenderung bertindak semau sendiri. Lalu mereka terjungkal.

Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya

Tagar.co – Saat ditanya contoh orang yang bahagia, banyak orang akan sigap menjawab: H=hartawan! Ukurannya gampang. Dengan uang atau harta yang dimilikinya semua keinginan dapat diraih.  

Jika ditanya, dari kalangan hartawan itu, pihak mana yang bahagia maka akan banyak yang menjawab: penguasa! Bagi mereka, ukurannya mudah, seperti: nama terkenal, istana megah, penghasilan sangat tinggi, diri dan keluarganya terlindungi karena ke mana-mana ada petugas yang mengawal.

Baca juga: Kisah-Kisah Penguasa yang Terjungkal

Bagi siapapun yang berpendapat ”menjadi penguasa pasti bahagia”, maka hendaknya penjelasan Abu Bakar Radiyallahuanhu berikut ini bisa menjadi pengingat. Bahwa, pendapat itu salah. Mengapa?

Pesan Jelas

Dulu, di sebuah majelis. Abu Bakar berkata, bahwa orang yang paling sengsara di dunia dan di akhirat ialah penguasa. 

”Apa sebabnya,” tanya orang-orang yang hadir.

Lalu Abu Bakar menerangkan. Ilustrasi dari salah satu sahabat dekat Rasulullah Muhammad Saw itu sangat jelas.

Penguasa, kata Abu Bakar, ”Kalau terus berkuasa dia merasa yang di dalam tangannya belum cukup. Hal yang kelihatan olehnya ialah yang di tangan orang lain. Ajalnya datang di dalam dia berangan-angan”. 

Abu Bakar melanjutkan dengan penjelasan berikut ini: bahwa, perasaan belas-kasihan dari penguasa, lama-lama menjadi kurang. Dia menjadi hasad, karena sedikit bagiannya. Benci atas kelebihan orang. Kurang percaya terhadap orang lain. Serupa dengan uap tengah hari yang disangka air oleh musafir, padahal cahaya terik. Pada lahirnya gembira, pada hatinya sengsara. Kelak bila umur sampai, hapuslah bayang-bayangnya. Ketika itu, mulai dia dihisab. Sedikit harapan akan diberi maaf.

Abu Bakar lalu menutup uraiannya, dengan nasihat. Dia minta agar kita tak membenci penguasa. Tetapi, ”Kasihanilah mereka!”

Sudut Pandang

Kisah di atas (dan keterangan terkait) disampaikan Hamka di buku Tasawuf Modern. Kisah diketengahkan ketika ulama besar itu menjelaskan tema ”mencari bahagia bukanlah dari luar diri, tetapi dari dalam” (2020: 172-175).

Hamka bilang bahwa kebahagiaan yang datang dari luar kerap kali hampa, palsu. Lihatlah, orang yang merasa bahwa bahagia itu datang dari luar lupa bahwa hidup itu berputar-putar. Dia sangat gembira jika dihujani rahmat dan sangat kecewa jika ditimpa bahaya.

Dia lupa bahwa kesenangan terletak di antara dua kesusahan dan kesusahan terletak di antara dua kesenangan. Dalam kalimat lain, dalam senang telah tersimpan kesusahan dan dalam kesusahan telah ada unsur kesenangan.

Hamka lalu mengajak untuk memahami secara tepat apa itu kaya dan miskin. Bahwa, orang yang paling kaya ialah yang paling sedikit keperluannya. Sementara, orang yang paling miskin ialah yang paling banyak keperluannya.

Atas prinsip di atas, Hamka langsung menimpali dengan kisah berikut ini. Pada suatu hari, seorang gadis kecil meminta-minta di tepi jalan. Di hadapannya lewat seorang Nyonya Hartawan. Gadis kecil itu mencoba meminta belas kasihan, sekadar untuk bisa membeli makan. 

Dengan wajah cemberut, si Nyonya Hartawan kembali ke rumahnya. Sesampai di rumah, didapatinya sang anak yang masih remaja sakit. Sekarang, si Nyonya Hartawan itu miskin, lebih miskin dari gadis kecil yang minta-minta di jalan tadi. Mengapa?

Gadis kecil itu, kata Hamka, hanya perlu sedikit rupiah untuk membeli sebungkus nasi. Sementara, si Nyonya Hartawan perlu kepada kesehatan anak kesayangannya.

Sungguh, simpul Hamka, kalau yang dinamai bahagia datang dari luar maka tidak ada satu makhluk pun yang kaya. Semuanya miskin! Adapun yang kaya hanyalah Allah, Tuhan Semesta Alam.

Rupanya, Hamka konsisten dengan salah satu metode pembelajaran yang sangat baik yaitu lewat media kisah. Melalui kisah ”Gadis Kecil Miskin dan Nyonya Hartawan” di atas, Hamka ingin menggugah kita tentang makna bahagia yang benar. 

Tentang makna bahagia, mari lihat performa Imam Hanafi. Di masa Bani Umayyah, dia diminta menjadi Hakim tapi dia menolak. Akibatnya, dia disiksa. Di masa Abbasiyah, sama. Dia diminta menjadi Hakim, tapi ditolaknya karena dirinya ingin menjauhi harta dan kedudukan. Akibatnya dia ditangkap, disiksa, dan dipenjara.      

Sekilas Wajah

Para penguasa, demikian juga kalangan hartawan, terlihat dari luar nikmat hidup mereka. Hanya saja, sebetulnya mereka berada dalam kesengsaraan batin yang mendalam. 

Atas situasi itu, setidaknya ada dua sikap penguasa. Pertama, mereka lepas atau tinggalkan kursi kekuasaan. Mereka memilih hidup sederhana. 

Kedua, mereka yang serakah. Mereka merasa tidak cukup dengan apa yang telah dipegangnya. Mereka minta tambah dan tambah (dalam artian luas). 

Lihatlah, ”Di Bangladesh, Demonstrasi Berhasil Akhiri 15 Tahun Pemerintahan ’Diktator’ Sheikh Hasina”. Ini judul di Kompas.com, 21 Agustus 2024. Sementara, di Kumparan.com 6 September 2021 ada judul ”Kisah Presiden Guinea: Terguling Usai Ubah Konstitusi untuk Jabat 3 Periode”.

Dua kisah di atas, sekadar dua contoh bahwa sejarah tidak cukup menjadi pelajaran bagi banyak penguasa di dunia. Bukankah sudah sering terjadi peristiwa serupa? Bahwa, penguasa yang terlalu lama berkuasa cenderung bertindak semau sendiri.

Bahwa, terkait itu, penguasa menjadi tak berpihak kepada rakyat dan hanya mementingkan diri sendiri, keluarga, dan kroni. Mereka, pada waktunya akan berhadapan dengan rakyat. Ini hukum besi sejarah.

Di Bangladesh, Perdana Menteri Hasina, dituduh telah memperkuat kekuasaan melalui lembaga negara dan menekan perbedaan pendapat. Kekerasan di akhir kekuasaannya akibat dari meningkatnya ketidakpuasan. Kemudian, berkembang ke tuntutan akan perubahan.

Di Guinea, Presiden Alpha Conde tumbang dikudeta pada 5 September 2021. Kudeta dilakukan karena menguatnya rasa frustrasi akibat kemiskinan dan korupsi yang meluas di salah satu negara di Afrika Barat itu. Juga, karena ketidakpuasan terhadap terpilihnya kembali Alpha Conde untuk jabatan ketiga, satu hal yang bisa terjadi karena amandemen konstitusi sebelumnya.

Semoga Kembali

Demikianlah, bagi siapapun, bahagia bukanlah dari luar diri kita tetapi dari dalam. Jika prinsip itu kita pegang, maka insya Allah kita akan selalu bahagia. Situasi akan berbeda jika kita berpandangan sebaliknya.

Terutama penguasa yang tak tahu makna dan sumber bahagia, akan selalu merasa kurang. Misalnya; Kurang luas kekuasaannya, kurang lama masa berkuasanya, kurang banyak kekayaannya, kurang kuat pendukungnya, dan seterusnya.

Untuk kalangan yang tergambar seperti pada paragraf di atas, kita patut berseru: Kasihani penguasa! Semoga mereka kembali ke jalan yang benar. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Baca Juga:  Antara Pembelajaran dan Perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis