Opini

Kambing Hitam

×

Kambing Hitam

Sebarkan artikel ini
Kambing hitam atau pihak ketiga sering jadi tertuduh. Cara mudah melepas tanggung jawab dari kesalahan yang kita perbuat.
Kambing hitam alias pihak ketiga (Ilustrasi AI)

Kambing hitam alias pihak ketiga sering jadi tertuduh. Cara mudah melepas tanggung jawab dari kesalahan yang kita perbuat.

Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.

Tagar.co – Kesalahan apa yang pernah dilakukan kambing hitam, sehingga namanya selalu mencuat dan harus bertanggung jawab atas setiap kesalahan?

Memang, namanya tak selalu disebut sebagai kambing hitam. “Ada pihak ketiga yang membonceng dengan memanas-manasi massa untuk bertindak brutal,” demikian kesimpulan gampang yang sering dibuat oleh pemerintah dalam merumuskan akar penyulut kerusuhan, misalnya.

Pihak ketiga, yang sering dilansir oleh pejabat seperti di atas, tak lain adalah kambing hitam, “sosok misterius” yang selalu membuat kesalahan.

Macam-Macam Kambing Hitam

Ada kambing hitam yang ‘berbulu’ aktivis. Lho, kok? Soalnya, ada kawan yang merasa gagal dalam studi akademis, gara-gara menjadi aktivis kampus. Jadi aktivis, menurutnya, adalah akar penyebab kegagalan kuliahnya.

Seorang manajer pemasaran frustasi dalam mendongkrak angka penjualan produk. Katanya, “Habis, pesaing-pesaing kita berlomba-lomba menurunkan harga.”

Penurunan harga yang dilakukan pesaing, menurut logika sang manajer di atas, adalah kambing hitam, karena itu pantas untuk disalahkan. Dan, seretnya kenaikan grafik penjualan tidak bersangkut paut dengan strategi pemasaran yang dirumuskan sang manajer.

Baca juga: Akal Sehat

Jadi, bulu kambing hitam sebenarnya tidak selalu hitam. Ia bisa menjelma menjadi putih, karena kita tidak berkenan dengan warna putih. Putih kita salahkan karena warna yang kita harapkan adalah hijau pupus, jingga, atau merah muda.

Baca Juga:  Pedoman Menulis Opini supaya Menembus Media Bergengsi

Kambing hitam, mungkin bukan lagi kambing, melainkan bisa mewujud menjadi rakyat atau pemimpin. Bisa menjelma menjadi kawan atau lawan. Menjadi anak atau orang tua. Kambing hitam bukan lagi kambing, apalagi hitam.

Simaklah penuturan penghuni neraka yang merasa dijerumuskan oleh pemimpinnya. “…Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, berilah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (Al-Ahzab 67-68).

Penghuni neraka ini merasa bahwa penyebab dia terjerumus dia ke neraka adalah an sich oleh pemimpinnya (yang sesat). Memang, bisa jadi begitu. Tapi ia lupa, bahwa anugerah akal pikiran dan potensi pilihan, yang diberikan kepadanya, adalah bekal untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, baik dan buruk, secara individual.

Artinya mengapa mereka merasa dibawa pemimpin dan sistem ke arah kesesatan. Dus, pengambinghitaman mereka terhadap pemimpin tidak ada gunanya. Meski, mereka minta kepada Tuhan untuk mengazab pemimpin mereka berlipat-lipat.

Baca jugaManajemen Risiko

Memang tak jelas benar asal-muasal munculnya istilah kambing hitam dalam bahasa Indonesia. Tetapi ‘sosok’ itu sangat dikenal oleh masyarakat kita.

Dikenal karena masyarakat kita sangat cerdik menciptakan mekanisme pengambinghitaman (scapegoat mechanism). Yaitu budaya mencari dan melimpahkan kesalahan pada pihak lain, meski sebenarnya terjadinya kesalahan itu adalah akibat ulah kita, setidak-tidaknya melibatkan kita.

Baca Juga:  Kemerdekaan, Menyisakan Palestina

Pertama, kambing hitam adalah cara sederhana melepas keterkaitan kita dengan persoalan yang tidak menguntungkan, bahkan sebaliknya bisa meruntuhkan martabat kita.

Kedua, kambing hitam adalah olah abstraksi kita terhadap kenyataan-kenyataan riil yang tidak bisa kita pecahkan. Kambing hitam adalah jawaban atas ketidakberdayaan kita mencari akar persoalan.

Ketiga, kambing hitam adalah cara canggih kita untuk melegitimasi, mengukuhkan, dan membenarkan diri kita. Kita benar, kambing hitam yang salah.

Tentu, budaya kambing hitam ini tidak Iayak untuk diteruskan. Di samping tidak akan pernah menyelesaikan masalah, kambing hitam adalah ilusi-ilusi yang kita ciptakan untuk menjerumuskan dan menenggelamkan kita dalam kubangan bahaya.

Pencarian kambing hitam akan berakibat enggan untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan-perbaikan, berakibat pada keengganan kita untuk mencari solusi serius dan terbaik atas keadaan yang memprihatinkan.

Lantas?

Ciptakan kesadaran bahwa kambing hitam itu tidak ada. “Tak ada kambing hitam yang memengaruhi aku. Karena itu tak pantas aku melimpahkan kegagalanku pada orang lain. Kegagalanku adalah kegagalanku.”

“Kesalahanku, itulah yang aku lakukan, dan itulah yang harus aku akui, untuk aku perbaiki. Aku akan meningkatkan kemampuanku, agar aku menjadi manusia unggul. Agar aku mampu menjadi nahkoda atas kapalku sendiri. Sehingga aku tak gegabah mencari kambing hitam.”

Ya, bukankah tidak ada kambing yang benar-benar hitam! (#)