OpiniUtama

Kabinet Jumbo dan Harga Kemubaziran

×

Kabinet Jumbo dan Harga Kemubaziran

Sebarkan artikel ini
Kabinet jumbo yang akan dibentuk oleh Prabowo Subianto dianggap tidak efisien alias mubazir. Terlalu besar dengan sebagian personel yang dianggap kurang berkompeten.
Ilustrasi AI

Kabinet jumbo adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kabinet yang terlalu besar—ada yang menyebut kabinet obesitas. Ini sebuah kemubaziran.

Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.

Tagar.co – Tulisan ini saya awali dengan sebuah kejadian ringan yang biasa dihadapi orang.

Anda, tentu, pernah mendatangi jamuan sebuah pesta yang dihadiri ratusan, bahkan ribuan orang? Apa yang yang dilakukan orang terhadap sajian makanan yang dihidangkan secara prasmanan, yang berlimpah itu?

Memakannya. Itu pasti. Namun, jika Anda jeli, ternyata banyak makanan yang tidak termakan, terbuang sia-sia. Banyak orang yang memenuhi piringnya sampai meluap, dan tidak menghabiskannya. Pantaslah jika dikatakan bahwa mata mereka lebih besar daripada perut.

Baca juga: Belajar Mendengar

Contoh perilaku di atas perlu saya kemukakan untuk menjelaskan betapa masyarakat kita masih suka dengan kemubaziran. Jangankan untuk barang atau apa saja yang kita tidak membayarnya sendiri. Untuk hal-hal yang kita bayar dengan biaya tinggi pun sering kita sia-siakan.

Ada sekelompok karyawan pada sebuah perusahaan yang ingin meningkatkan kemahiran berbahasa Inggris. Program latihan pun dibuat. Tetapi apa yang terjadi?

Kehangatan suasana belajar hanya tampak pada dua penyelenggaran kursus. Setelah itu, semangat pun kendur. Kesibukan pekerjaan dijadikan alasan untuk tidak membuat pekerjaan rumah.

Tak jarang sang instruktur menunggu cukup lama, karena peserta kursus tak kunjung datang. Aksi mangkir makin banyak terjadi. Bahasa Inggris belum bisa, biaya sudah keluar, dan akhirnya latihan terpaksa dihentikan.

Baca Juga:  Presiden Prabowo: Ikan Busuk Dimulai dari Kepala

Kabinet Jumbo

Contoh dia atas bisa diperpanjang lagi. Dan mungkin yang paling aktual adalah hiruk-pikuk penyusunan kabinet.

Prabowo Subianto telah memangil 100 orang lebih untuk diminta sebagai calon anggota kabinet yang akan pimpin. Mereka akan diangkat sebagai menteri, wakil menteri, dan kepala badan negara.

Menurut para pengamat, Prabowo Subianto akan membentuk 49 kementerian. Masing-masing dengan menteri dan wakil menteri. Bahkan ada kementerian yang punya dua wakil menteri.

Maka tak heran jika orang menyebut kabinet Prabowo adalah kabinet jumbo atau kabinet obesitas. Amerika Serikat saja, negara superpower itu, hanya punya 15 kementerian.

Lebih parah lagi beberapa orang yang dipanggil oleh Prabowo dalam ‘seleksi’ anggota kabinet dinilai tidak memiliki kompetensi sebagai syarat kabinet zaken yang digembar-gemborkan Prabowo sebelumnya.

Malah sebagian besar adalah para menteri di era Presiden Joko Widodo sehingga para netizen menjuluki kabinet seken (second, kedua alias bekas).

Baca jugaKonflik

Para tokoh kontroversial pun ikut ‘diseleksi’ sehingga menjadi sorotan publik seperti Heddy Setya Permadi alias Abu Janda, Raffi Ahmad, Gus Miftah, dan lainnya.

Pengamat pun menyebut jika ini adalah kabinet balas budi. Kabinet yang diisi oleh orang-orang yang berjasa pada pemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, termasuk dari unsur partai politik.

Ini termasuk kemubaziran. Yang mestinya kabinet zaken yang berisi profesional malah menjadi kabinet seken dan balas budi. Maka terjadi pembengkakan alias tidak efisien.

Tentu bertambahnya menteri atau kementerian punya konsekuensi dengan membengkaknya anggaran belanja. Anggaran untuk kabinet membesar di tengah utang yang menggunung dan kesulitan rakyat mengakses kesejahteraan.

Baca Juga:  Kabinet dan Jiwa Pemasaran

Antiboros

Oleh karena itu kemubaziran, dalam bentuk apapun, seharusnya dijauhi. Bahkan ayat suci menjelaskan bahwa “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah kawan setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al- Isra’/17:27)

Lantas? Pertama, perlu ditradisikan sikap antiboros, sikap ant-kemuhaziran. Tanamkan kesadaran dan pembiasaan diri untuk antikelimpahmewahan. Tentu, ini perlu latihan; dan, bisa dimulai dari hal-hal yang kita anggap sepele.

Kedua, sistem juga perlu mendukung pembiasaan perilaku antimubazir, sebab masyarakat kita kadang masih suka dipaksa-paksa.

Kiat ini pernah dilakukan Kamaludin Bachir. Berikut penuturannya: “Di perusahaan kami, karyawan boleh ikut kursus apa saja, asal sesuai dengan program pengembangan sumber daya manusia. Perusahaan akan membayar sepenuhnya biaya latihan itu. Tapi, awas, jangan sampai mereka berhenti ditengah jalan tak lulus karena sering membolos. Kalau itu terjadi akan dibebankan mereka. Potong gaji.” (Bondan Winamo, 1990).

Ketiga, basa-basi, seringkali menjerumuskan pada kemubaziran. Karena itu semaksimal mungkin hindari basa-basi. Apalagi basa-basi politik. Basa-basi politik hanyalah fatamorgana di tengah panasnya suasana himpitan yang dirasakan rakyat.

Hidup antipemborosan! Hidup antikemubaziran! Hidup kabinet zaken! (#)