Sejarah

K.H. Abdullah Syafi’i, dari Santri ke Ulama

×

K.H. Abdullah Syafi’i, dari Santri ke Ulama

Sebarkan artikel ini
K.H. Abdullah Syafi’i (Tagar.co/Istimewa)

K.H. Abdullah Syafi’i dikenal dengan Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah dan Majelis Mudzakarah. Belajar agama dari satu kiai ke kiai lain, dari habib satu ke habib lain.

Oleh M. Anwar Djaelani

Tagar.co – Santri adalah orang yang mendalami agama Islam. Santri adalah orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh. Santri adalah orang yang saleh.

Demikian, makna santri di https://kbbi.web.id/santri. Insyaallah, K.H. Abdullah Syafi’i termasuk santri sebagaimana yang dimaksud kamus di atas.

Figur Istimewa

Abdullah Syafi’i lahir di Jakarta pada 10 Agustus 1910. Pendidikan formalnya tak tinggi. Dia hanya belajar di SD dua tahun, lalu keluar atas inisiatif sendiri karena merasa cara pembelajarannya lamban.

Dia lalu nyantri, belajar ke ulama-ulama. Dia belajar dari satu habib ke habib lainnya dengan cara rihlah. Dengan bersepeda, dia mencari ilmu dan tak hanya di seputar Jakarta tapi juga ke Bogor.

Abdullah Syafi’i setiap hari belajar. Dia membaca kitab dan dilanjutkan dengan membuat intisarinya. Sejak belia, dia tertarik pada dakwah, pintar mengaji, dan pandai berpidato.

Baca juga: Jejak Digital Bisa Jadi Hantu Kehidupan

Pada usia 13 tahun, Abdullah Syafi’i bersama sang ayah (Syafi’i bin H. Sairan) dan neneknya berhaji. Empat tahun berikutnya, pada 1927, dia mulai mengajar empat santri. Mengajar baca-tulis Al-Qur’an.

Pada 1933, saat berusia 23 tahun, Abdullah Syafi’i mendirikan Masjid Al-Barkah di Bali Matraman, Jakarta Selatan. Dari masjid ini dia dirikan Majelis Taklim Al-Islamiyah, forum pengajian. Aktivitas ini berkembang pesat sampai membuka cabang di Kebon Jeruk Jakarta Barat, Pejaten Jakarta Selatan dan Bekasi Jawa Barat.

Baca Juga:  Ka'bah dan Sejarah Haji

Majelis Taklim laki-laki diasuh Abdullah Syafi’i, sementara yang perempuan diasuh istrinya (putri dari salah satu gurunya).

Pada 1940-an sang ayah wafat. Menyusul setelah itu, nama Majelis Taklim Al-Islamiyah oleh Abdullah Syafi’i diganti menjadi Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah. Seiring perkembangan, madrasah diniyah lalu dikembangkan.

Madrasah tsanawiyah (MTs) didirikan pada 1957, Raudhatul Athfal pada 1969, dan Sekolah Dasar (SD) pada 1970. Juga, didirikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan Perguruan Tinggi.

Lembaga Pendidikan dan pesantrennya menyebar, tak hanya di Bali Matraman, Jakarta Selatan. Tapi, juga ke sejumlah tempat seperti di Jatiwaringin Jakarta Timur dan Sukabumi Jawa Barat.

Selain itu, ada pula pengembangan kegiatan sosial, seperti pendirian poliklinik, pesantren yatim piatu, dan pesantren khusus penghafal Al-Qur’an. Bahkan, didirikan juga Radio As-Syafi’iyah.

Dakwah sambil Berdagang

Di masa awal, setiap kali bertablig dia selalu membawa dagangan, mulai dari songkok sampai baju koko. Prinsip dia, dakwah harus jalan terus tapi keluarga perlu dinafkahi antara lain dengan berdagang.

Keistimewaan lain, dia tetap rajin menimba ilmu kapanpun. Dia berprinsip, bahwa kita harus terus belajar dengan banyak membaca. Misal, di saat berdakwah dan berdagang, dia selalu membawa kitab. Adapun kitab dia, di setiap halamannya tak ada yang bersih karena penuh dengan catatan.

Berdakwah sambil mencari nafkah dengan berdagang ternyata punya hikmah. Misalnya, menumbuhkan simpati dari jemaah. Akibatnya, pertama, dagangan dia laris sebab boleh jadi para pembelinya punya asumsi bahwa muamalat mereka pasti halal dan berkah.

Baca Juga:  Novel Sejarah Ini Bikin Pembaca serasa bersama Syekh Ahmad Surkati

Baca jugaKisah-Kisah Penguasa yang Terjungkal

Kedua, donatur berdatangan. Mereka percaya dengan sikap amanah Abdullah Syafi’i.
Abdullah Syafi’i terus meluaskan majelis-majelis taklimnya ke berbagai kota. Tak hanya di negeri sendiri, tapi dakwahnya sampai ke Singapura dan Malaysia. Juga, lewat radio yang didirikannya.

Di antara prinsip yang dipegang Abdullah Syafi’i, bahwa beda pendapat tak perlu sampai merusak silaturahmi. Dia sendiri dikenal toleran. Maka, relasi Abdullah Syafi’i sangat banyak.

Aktivis Masyumi

Abdullah Syafi’i aktif di Partai Masyumi dan akrab dengan M. Natsir, salah satu tokohnya. Bahkan, Abdullah Syafi’i mengajak M. Natsir masuk ke Majelis Mudzakarah yang dia pimpin. Di Majelis Mudzakarah selalu dibahas persoalan kontemporer dengan merujuk kepada kitab kuning.

Saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 1975, Abdullah Syafi’i masuk sebagai pengurus. Lalu, pada 1979-1985 Abdullah Syafi’i menjadi Ketua Umum MUI Jakarta. Kemudian, pada 1982 dia menjadi penasihat MUI di masa Buya Hamka sebagai ketua umum.

Baca jugaBelajar dari Orang-Orang Mati yang Hadir melalui Mimpi

Abdullah Syafi’i dikenal sebagai singa podium. Saat berpidato, dia lugas dan tegas. Bila berhadapan dengan pejabat, dia sering mengingatkan bahwa ada kehidupan akhirat setelah di dunia ini.

Abdullah Syafi’i sangat mencintai ilmu. Bahwa, pada menit-menit terakhir menjelang wafat, dia masih meminta kepada putra-putrinya agar selalu membaca sebuah kitab. Memang, Abdullah Syafi’i memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi dan pembaca yang kuat (www.jakarta.go.id, diakses pada 15/12/2015).

Baca Juga:  Hidup Nomaden karena Tak Punya Rumah, Kesederhanaan Haji Agus Salim
Masih Ada

K.H. Abdullah Syafi’i, dari santri lalu menjadi ulama. Sebagai ulama, karya tulisnya antara: Al-Muasasat Al-Syafiiyah Al-Ta’limiyah; Bir Al-Wiilidain; Penduduk Dunia Hanya Ada Tiga Golongan; Mu’jizat Sayiduna Muhammad; Al-Dinu wa Al-Masjid; dan Madarij Al-Fiqh.

K.H. Abdullah Syafi’i wafat di usia 75 tahun, pada 3 September 1985. Perguruan Asy-Syafi’iyah di Jakarta dan sejumlah buku karangannya adalah sebagian peninggalan yang sangat berharga. Dengan itu, K.H. Abdullah Syafi’i masih akan mudah diingat orang. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni