Cerpen

Jerat Disiplin

415
×

Jerat Disiplin

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI/freepik.com premium

Surat itu bagai petir di siang bolong. Tangannya gemetar saat membaca baris demi baris tulisan resmi itu. Dunia yang selama ini ia yakini penuh makna kini terasa runtuh.

Jerat Disiplin; Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik.

Tagar.co – Pak Didu duduk termenung di sudut ruang guru, membiarkan secangkir kopi hitam di depannya mendingin tanpa disentuh. Matanya menatap jendela besar di ruang itu, di mana sinar matahari sore memantulkan bayangan dirinya yang tampak lebih tua dari usianya. Rambutnya yang mulai memutih di beberapa bagian, dan kerutan di dahinya, seolah menjadi saksi bisu atas dedikasinya selama dua puluh tahun menjadi pengajar di sekolah ini.

Di atas meja kayu tua itu, secarik surat panggilan dari kantor polisi tergeletak. Sebuah undangan yang tak pernah ia bayangkan akan datang, apalagi sebagai akibat dari profesi yang ia cintai sepenuh hati. Profesi yang dulu ia pilih karena terinspirasi oleh gurunya sendiri, Pak Badar, yang dengan sabar membimbingnya melewati masa-masa sulit di bangku SMP.

Baca juga: Harga Sebuah Kejujuran

Bermula dari sebuah insiden di dalam kelas. Rafel, salah satu siswa kelas 8 yang sering menjadi buah bibir karena kenakalannya, hari itu lebih gaduh dari biasanya.

Ia melempar kertas ke arah temannya yang sedang membaca puisi di depan kelas, sambil tertawa terbahak-bahak. Ketika Pak Didu menegurnya, ia justru menjawab dengan nada menantang.

“Ah, Pak Didu ini kayak nggak tahu aja, kan cuma bercanda,” katanya dengan santai, disertai senyum mengejek. Teman-temannya tertawa, namun tawa itu segera terhenti ketika mata Pak Didu menyapu seluruh kelas dengan tatapan tegas.

Pak Didu menarik napas panjang, mencoba meredam emosi yang bergolak di dadanya. Ia tahu, sebagai seorang pendidik, setiap tindakan harus dipikirkan matang-matang. Dengan nada yang tetap tenang, ia meminta Rafel maju ke depan kelas.

“Rafel, kamu berdiri di sini selama lima menit sambil memegang buku pelajaran ini. Renungkan apa yang sudah kamu lakukan. Ini bukan hukuman, tapi pelajaran,” ucapnya, suaranya dingin namun tetap sabar.

Baca Juga:  Guru-Guru di Gresik Belajar Bikin Video Pembelajaran, Narasumbernya Sarungan!

Siswa-siswa lain diam, mungkin terkejut melihat sikap tegas yang jarang diperlihatkan oleh guru mereka yang dikenal ramah itu. Rafel, meskipun terlihat enggan, akhirnya menurut. Namun, di balik ekspresi patuhnya, tersirat amarah yang menyala-nyala. Dalam hati, Rafel bergumam, “Lihat saja nanti, Pak. Akan kubuat Bapak menyesal.”

Keesokan harinya, berita tentang insiden itu sampai ke telinga ibu Rafel. Bu Laila, seorang wanita karier yang sukses dan dikenal perfeksionis, datang ke sekolah dengan wajah merah padam. Ia menyerbu ruang kepala sekolah tanpa permisi, membawa Rafel yang tampak memanfaatkan situasi.

“Anak saya dipermalukan di depan teman-temannya! Apa hak Pak Didu menghukum dia seperti itu?!” serunya, suaranya menggema di ruang sempit itu. “Rafel itu anak yang sensitif! Dia bisa trauma!”

Pak Didu mencoba menjelaskan dengan tenang. “Bu Laila, saya tidak bermaksud mempermalukan Rafel. Tindakan saya murni untuk mendisiplinkan, agar ia mengerti bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi.”

Namun, penjelasan itu seperti angin lalu bagi Bu Laila. Ia menuding Pak Didu tanpa henti, menyebutnya sebagai guru yang otoriter dan tidak memahami psikologi anak. Pak Didu hanya bisa menundukkan kepala, membiarkan hujan tuduhan itu menghantam dirinya tanpa perlawanan. Ia teringat nasihat Pak Budi dulu, “Jadi guru itu harus sabar, Didu. Hadapi semua dengan hati yang lapang.”

Baca juga: Empanada Ajaib Elena

Tiga hari kemudian, sebuah panggilan dari kantor polisi datang. Pak Didi dituduh melakukan tindakan perundungan terhadap siswa. Ia diminta datang untuk memberikan keterangan.

Surat itu bagai petir di siang bolong. Tangannya gemetar saat membaca baris demi baris tulisan resmi itu. Dunia yang selama ini ia yakini penuh makna kini terasa runtuh.

Di ruang interogasi yang dingin, Pak Didu duduk berhadapan dengan seorang penyidik muda. Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan dengan nada datar, tetapi tetap terasa menekan.

Baca Juga:  Ais dan Mbok Na

“Apakah benar Anda menghukum siswa itu dengan maksud mempermalukannya?” tanya penyidik, matanya tajam mengamati setiap gerakan Pak Didu.

“Tidak, Pak. Saya hanya ingin mendisiplinkannya. Saya ingin dia belajar bertanggung jawab atas perbuatannya,” jawab Pak Didu, suaranya bergetar namun tetap tegas.

Kasus ini segera menyebar ke seluruh lingkungan sekolah dan menjadi bahan perbincangan. Sebagian besar guru dan wali murid mendukung Pak Didu. Mereka tahu betul bagaimana dedikasinya selama ini. Namun, tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa tindakannya terlalu keras.

Di rumah, Pak Didu menghabiskan malam-malamnya dalam kegelisahan. Ia tidak bisa tidur, memikirkan bagaimana satu tindakan yang ia anggap sederhana bisa berujung pada malapetaka.

Ia mengingat wajah siswa-siswanya, tawa mereka, harapan mereka, dan kini, bayangan itu terasa jauh dari jangkauannya. Ia bahkan mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah ia salah? Apakah selama ini ia terlalu keras?

Mediasi yang berlangsung di kantor polisi memberikan sedikit angin segar bagi Pak Didu. Setelah mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak, polisi mencoba mencari jalan tengah.

Kepala sekolah, yang hadir sebagai perwakilan institusi, memberikan pembelaan kuat bahwa tindakan Pak Didu sepenuhnya bertujuan mendidik, bukan menghukum dengan niat buruk. Namun, Bu Laila tetap bersikeras bahwa perasaan anaknya telah dilukai.

“Anak saya jadi takut ke sekolah, Pak! Dia merasa semua temannya melihatnya sebagai anak nakal!” kata Bu Laila dengan mata yang mulai memerah. Rafel yang duduk di sampingnya tampak menunduk, seolah tak ingin ikut dalam pembicaraan. Namun, sekilas, tampak senyum tipis terukir di bibirnya.

Kepala sekolah mengambil inisiatif. “Bu Laila, kami akan menyediakan konseling untuk Rafel, agar ia merasa nyaman kembali. Selain itu, kami juga akan mengadakan sesi bimbingan untuk semua guru agar lebih peka terhadap psikologi siswa. Kami harap ini bisa menjadi solusi.”

Akhirnya, setelah perundingan panjang, Bu Laila menarik laporannya dengan syarat Pak Didu meminta maaf secara langsung kepada Rafel di depan forum kecil. Pak Didu, meskipun merasa tidak sepenuhnya bersalah, menyanggupi hal itu demi menyelesaikan masalah.

Baca Juga:  Temon

Di forum kecil yang diadakan di ruang kepala sekolah, Pak Didu berdiri di hadapan Rafel, Bu Laila, dan beberapa guru lainnya. Dengan suara yang tenang, ia berkata, “Rafel, saya minta maaf jika tindakan saya membuatmu merasa tidak nyaman. Niat saya hanya ingin mendidik, bukan untuk melukai perasaanmu. Saya harap kita bisa saling memahami dan belajar dari kejadian ini.”

Rafel mengangguk pelan, tanpa menatap mata Pak Didu. Bu Laila tampak lega, meskipun tidak sepenuhnya puas. Setelah forum itu selesai, kasus tersebut resmi ditutup, tetapi bayangannya masih terus menghantui Pak Didu.

Beberapa pekan kemudian, Pak Didu melihat Rafel kembali ceria di sekolah, meskipun sesekali masih terlihat nakal. Suatu sore, saat Pak Didu sedang membereskan buku di ruang guru, Rafel tiba-tiba menghampirinya.

“Pak,” panggilnya pelan. Pak Didu menoleh dan tersenyum.

“Ada apa, Rafel?”

“Terima kasih, Pak,” ucap Rafel, kali ini dengan tatapan yang lebih tulus. “Maaf, sudah membuat Bapak susah.”

Pak Didu tertegun sejenak. Ia menepuk bahu Rafel pelan. “Tidak apa-apa, Rafel. Bapak juga belajar dari kejadian ini. Yang penting, kita semua bisa menjadi lebih baik ke depannya.”

Rafel tersenyum tipis, lalu berpamitan pergi. Pak Didu memandangi punggung Rafel yang menjauh. Sebuah beban berat seolah terangkat dari pundaknya. Mungkin, ini bukan akhir, tapi awal dari sebuah perjalanan baru. Perjalanan untuk menjadi pendidik yang lebih bijaksana, dan perjalanan bagi Rafel untuk menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab.

Di luar, matahari sore mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit. Pak Didu menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa damai. Di dalam hati, ia berbisik, “Terima kasih, Pak Badar. Nasihatmu akan selalu saya pegang teguh.” (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni


Cerpen

Setiap langkahnya meninggalkan jejak perjuangan. Suara kaki palsunya…