Ismail Haniyeh dibunuh Israel 31 Juli 2024. Surat Ali Imran/3:169-172 yang dia baca saat mengimami sebuah salat lalu viral. Ayat 169 menegaskan yang gugur di jalan Allah terus ‘hidup’.
Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya.
Ismail Haniyeh yang dibunuh Israel 31 Juli 2024. Surat Ali Imran/3:169-172 yang dia baca saat mengimami sebuah salat jadi viral. Ayat 169 menegaskan orang yang augur di jalan Allah terus ‘hidup’.
Targar.co – Rabu 31 Juli 2024 dunia tersentak. Ismail Haniyeh gugur akibat serangan Israel. Banyak yang berduka. Banyak yang mendoakan pemimpin Hamas (Palestina) yang karismatik itu.
Tak lama setelah berita kematian yang beredar secara cepat dan luas, di media sosial juga viral potongan video saat Ismail Haniyh mengimami sebuah salat. Menarik dan penting karena di salat itu dia membaca Ali ’Imr an/3:169-171.
Siapa Ismail Haniyeh? Bagaimana performa kepejuangannya dalam usaha memerdekakan Palestina? Apa pesan di dalam Ali ’Imran/3: 169-171?
Musuh Israel
Ismail Haniyeh lahir 23 Januari 1963 di kemah pengungsian Al-Shati, Gaza Utara. Dia menghabiskan masa kecil hingga remaja di kemah itu. Hidup di kemah, bagian kecil dari imbas penjajahan Zionis Israel yang kejam.
Dia hafal Al-Qur’an sejak kecil. Kemudian, lulus dari Ma’had Al-Azhar (sekolah ini setara SMA) di Gaza. Lalu, lulus pula dari Universitas Islam Gaza jurusan Sastra Arab.
Ismail Haniyeh konsisten sebagai pejuang kemerdekaan Palestina. Sejak mahasiswa dia memimpin gerakan mahasiswa, Barisan Islam. Gerakan mahasiswa ini kelak turut mendorong lahirnya Hamas.
Baca juga: Ismail Haniyeh, Hamas Tak Pernah Mati walau Pemimpinnya Mati
Adapun Hamas didirikan di Gaza pada 1987 oleh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Al-Rantissi, tak lama setelah dimulainya Intifada pertama. Intifada adalah sebuah pemberontakan melawan pendudukan Israel di wilayah Palestina.
Ismail Haniyeh aktivis-pejuang. Dia sering dipenjara Israel. Pada 1987 dia dipenjara karena terlibat intifadah. Pada tahun 1988 kembali dipenjara selama 6 bulan. Tahun 1989 dipenjara lagi selama 3 tahun.
Selain berkali-kali dipenjara penjajah Israel, Ismail Haniyeh juga pernah diasingkan. Misal, ke Kota Maroj Zuhur. Itu, daerah selatan Lebanon. Dia kembali ke Gaza pasca-Perjanjian Oslo 1993.
Sering Terancam Pembunuhan
Berikut rentetan upaya pembunuhan terhadap Ismail Haniyah.
- Pada 6 September 2003 Israel menyerang Ismail Haniyeh dengan rudal. Meski luka-luka, dia selamat.
- Pada 20 Oktober 2006, rombongan Ismail Haniyeh diberondong peluru. Semua selamat.
- Pada 15 Desember 2006, rombongan Ismail Haniyah diberondong peluru. Kala itu seorang stafnya gugur dan lima lainnya luka-luka.
- Pada 2014 posisi Ismail Haniyeh di kemah pengungsian Al-Shati dirudal hingga rata dengan tanah.
- Selama hidupnya, ada 14 anggota keluarga Ismail Haniyeh yang dibunuh penjajah Israel.
Perjuangan Politik
Berikut catatan perjuangan Ismail Haniyeh di ranah politik:
- Memimpin Partai Al-Ishlah wa-Taghyir yang memperoleh suara terbanyak di Pemilu Parlemen pada 2006.
- Terkait itu, Ismail Haniyeh terpilih sebagai Perdana Menteri Palestina pada Februari 2006.
- Pada 2 Juni 2014 Ismail Haniyeh resmi mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri Palestina, demi rekonsiliasi negeri itu.
- Tahun 2017 Ismail Haniyeh dipilih menjadi Kepala Biro Politik Hamas.
- Ismail Haniyeh adalah figur utama perjuangan diplomasi Palestina di tingkat Internasional.
Hidup dan Senang
Di atas telah disebut, bahwa pernah Ismail Haniyeh mengimami sebuah salat. Kala itu, yang dibaca Ali Imran/3: 169-171. Apa pesan ketiga ayat itu? Mari buka Tafsir Al-Azhar dan ikuti kajian Hamka tentang hal ini.
Kita mulai dari Ali ’Imran ayat 169, yang artinya: ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
Baca juga: Lobi Yahudi Menembus Islam Indonesia
Hamka mengulas, bahwa bagi kaum beriman yang teguh, mereka bersedia mati mempertahankan agama Allah. Mereka akan mendapat sambutan dan kemuliaan dari Allah. Yang mati dalam peperangan menegakkan kebenaran, sejatinya tidak mati. Insyaallah mereka tetap hidup dan tetap mendapat rezeki dari Allah.
Meskipun mereka telah wafat, lanjut Hamka, mereka tetap hidup. Benar, hidup dalam kenangan orang-orang yang ditinggalkannya. Lebih dari itu, hidupnya di alam yang lain adalah hidup yang istimewa.
Syuhada Perang Uhud
Bagaimana kisah di balik ayat di atas? Berdasarkan H.R. Tirmidzi dan Hakim, pada suatu waktu tampak Jabir bin Abdullah termenung dan bersedih hati. Dia bersikap seperti itu karena Abdullah, sang ayah, baru saja mendapat syahid di Perang Uhud. Sang ayah termasuk di antara 70 Syuhada Uhud.
”Apa yang menyebabkan engkau termenung sedemikian rupa,” tanya Rasulullah Saw.
Jabir lalu menjawab. Bahwa dia sedih karena syahid ayahnya meninggalkan banyak keluarga dan utang.
Bersabdalah Rasul Saw, ”Inginkah engkau aku berikan kabar gembira tentang bagaimana ayahmu menghadap Tuhannya?
Jabir menjawab, tentu dia ingin.
Baca juga: Cita-Cita Menakjubkan, Lahirnya Pembebas Palestina
Rasulullah Saw berkata, kalau Allah hendak berbicara dengan salah seorang hamba-Nya hanyalah dari balik hijab. Tetapi ayahmu dihidupkan dan Allah bercakap dengan dia berhadapan. Lalu Allah berfirman, ”Wahai hamba-Ku, sebutlah apa yang engkau ingin, niscaya Kuberi”.
Maka dia menjawab, ”Permohonanku hanya satu Ya Tuhanku, hidupkan aku sekali lagi supaya aku mati terbunuh untuk kedua kali pada Jalan-Mu”.
Kemudian Allah menjawab, telah tertulis bahwa orang yang telah mati tidak akan kembali lagi.
Kemudian, berkata pula hamba yang memohon tadi, ”Ya Tuhanku, kalau demikian, maka tolong sampaikanlah kepada makhluk-Mu yang aku tinggalkan bahwa betapa bahagia aku sekarang”.
Maka turunlah ayat Ali ’Imran 169. Demikian, Hamka (2003: 989). Dengan demikian, yakinlah, keadaan orang yang mati syahid punya kehidupan yang bahagia dan sejahtera di sisi Allah. Mereka di surga.
Gembira setelah Wafat
Sekarang, lanjutannya, Ali ’Imran/3: 170 yang artinya: ”Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Maksud dari ”Orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka” adalah teman-temannya yang masih hidup dan tetap berjihad di jalan Allah.
Baca juga: Yahudi Ultra Ortodoks Tolak Wajib Militer untuk Perang Palestina
Ayat di atas, ulas Hamka, cara Allah dalam ”menunaikan janji” hendak menyampaikan kabar kepada teman seperjuangan yang tinggal di dunia untuk tidak takut dan tidak berduka-cita. Teruskanlah perjuangan dan janganlah takut gugur di medan jihad. Ketahuilah, mati di Jalan Allah adalah sekadar perpindahan dari hidup fana karena memperjuangkan cita-cita menuju hidup yang abadi.
Semua itu hanya diantar oleh maut yang sebentar saja. Sesudah itu di alam yang lain, di surga Jannatun Na’im, tersedialah hidup bahagia dan rezeki yang kekal sedemikian rupa ada di kalangan mereka yang memohon izin hidup sekali lagi untuk lalu mati pula di Jalan Allah sebagaimana yang dilakukan Abdullah-ayah Jabir-di hadits di atas (Hamka, 2003: 990).
Tak Disangka-sangka
Selanjutnya, tentang Ali ’Imran/3:171, yang artinya: ”Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.”
Oleh karena itu bagi yang masih agak bimbang untuk berjuang di jalan Allah, karena masih adanya tarikan pesona dunia, lihatlah mereka yang telah wafat sebagai syahid. Mereka bertemu dengan keadaan yang sama sekali tidak disangka-sangka: Kebahagiaan abadi dan nikmat yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum terpikir oleh hati manusia. Itu, karena memang ganjaran khusus untuk orang-orang yang beriman dan tidak disia-siakan oleh Allah.
Maka, ayat-ayat itulah, kata Hamka, yang menyebabkan orang mukmin tidak gentar menghadapi maut. Mereka, yang yakin dengan janji Allah, istikamah merawat cita-cita bagi kepentingan Islam. Mereka menang terus walaupun pihak lawan menyangka bahwa mereka telah mati. Selama semangat ridha syahid ini masih ada, selama itu pulalah agama Allah tetap tegak. Adapun orang-orang yang kurang percaya akan hal-hal yang demikian, itu artinya kurang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya (2003: 990-991).
Jadi, duhai semua kaum beriman! Ridha-lah untuk syahid. Teruskanlah perjuangan dan janganlah takut gugur di medan jihad. Jadilah Ismail Haniyeh yang lain. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni