Mata Praja sulit dipejamkan. Stres. Masalah demi masalah terus bermunculan setelah mengucapkan, “I love you.” Kota yang dia pimpin amburadul. Selain korupsi di mana-mana, Praja merasakan kehilangan sesuatu.
Cerpen oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) Gresik Kota Baru (GKB) Gresik, Jawa Timur.
Tagar.co – Praja langsung terpukau. Terkesima. Wajahnya berbinar-binar. Penuh warna seperti kupu-kupu taman alun-alun. Usai mendapatkan gelar kehormatan dari universitas ternama, dia telah menuai hasil dari jerih payahnya. Lompatan sangat fantastik.
Jabatannya tambah mentereng di saat gelar akademik bersanding di nama depan dan belakangnya. Dia disegani bahkan disanjung. Retorikanya semakin menyakinkan orang. Setiap kali berargumen, semua terkesimak dan langsung berkata, “Setuju.”
Praja pun sadar, belajar bertahun-tahun tentang persuasi dalam teori kebahagiaan telah berbuah manis. Hasil gemilang. “Jarang ada orang yang secemerlang dalam membangun kebahagiaan sepertiku,” gumamnya dalam hati, usai memberikan sambutan penting di peresmian perumahan terbesar di sentra pusat kota.
Baca juga: Dorbok!
Hati Praja berbunga-bunga. Kesuksesan selalu dapat digenggam. Bisnis pribadinya lancar, diplomasinya sukses, investor pun berdatangan, sampai-sampai usulan untuk pindah pusat kota pun disetujui oleh semua kalangan, dari atas sampai grassroot.
“Saya setuju dengan usulan, Bapak,” ucap Pras, tokoh penting dengan wajah berbinar.
“Itu usulan brilian, Pak. Saya setuju 100 persen,” kata Hartoko, sambil ucap selamat dengan berjabat tangan.
“I love you. Ini adalah awal kebahagiaan kita semua,” Praja sumringah, melempar senyuman kepada semua yang hadir dalam rapat sidang komisi.
Sebelum pusat kota dipindah, Praja telah menyiapkan arsitektur canggih untuk membuat prototipe pusat kota impian, sebagai ikon kota, taman hiburan, jalan tol, lapangan udara, sampai dengan perumahan bagi pejabat dan pegawai.
Hanya berlangsung dua tahun kurang dua bulan, pusat kota pun telah pindah. Praja dieluh-eluhkan semua warga. Dia diarah keliling kota. Karnaval diselenggarakan sepekan. Pasar rakyat digeber di semua sudut kota. Banjir diskon di semua pusat perbelanjaan.
Warga berbondong-bondong belanja. Tas besar kecil ditenteng. Sembako, perabotan rumah tangga hingga baju semua habis. Ludes. Mereka tidak mau melewatkan kesempatan emas itu. “Momen ini langkah dan patut kita rayakan,” ujar warga dengan menenteng tas belanjaan.
Baca juga: Lurah Jadug
Warga benar-benar merasakan kebahagiaan yang selama ini tidak dirasakan. Jurus i love you Praja ampuh. Sihirnya kian meluas. Untuk mengapresiasi usaha keras Praja, pemerintah pusat pun memberikan hadiah yang di luar dugaan. Nama Praja dipakai untuk nama depan di semua jalan pusat kota baru.
“Ini adalah kado istimewa yang tak terbilang harganya,” kata Praja saat memberikan sambutan, beberapa detik setelah perwakilan pemerintah memberikan prolog di acara tasyakuran.
“I love you,” Praja mengakhiri sambutannya. Tepuk tangan membahana. Dia dieluh-eluhkan.
Malam itu adalah milik Praja. Tak habis-habisnya dia mengumbar senyum. Tertawa terbahak-bahak. Semua orang pun ikutan. Tasyakuran ini lebih cocok sebagai pesta Praja. Pesta wali kota yang telah berhasil melambungkan kebahagiaan dan kesejahteraan warganya.
Beberapa wartawan terbitan kota berebut mewawancarai Praja usai acara. Mereka menyerbu, berebut melontarkan pertanyaan dalam doorstop.
“Apa resep Bapak Praja sampai bisa meraih kebahagiaan ini?”
“Strategi apa sampai Bapak sesukses ini?”
“Kira-kira, target apa yang akan dicanangkan ke depan?”
“Apa hubungannya kebahagiaan dan kesejahteraan?”
“Apa kiat dan trik sukses, Bapak?”
Praja tampak tenang dan santai mendengar pertanyaan wartawan. Sambil pasang wajah tampan, dengan satu tarikan napas, dia pun memberikan jawaban singkat.
“I love you.”
“Maksudnya, Pak?”
“Kebahagian bisa dicapai dengan I love you.”
“Itu saja, Pak?” Praja mengangguk cepat.
Wartawan pun saling pandang, saat Praja berjalan gontai meninggalkan podium ketika malam hampir gelap.
Baca juga: Solar Sopir
***
Setelah capaian luar biasa memimpin kota, di kuartal kedua memimpin, Praja tampak diliputi resah. Bukan hanya dari gambaran wajahnya, gelagat itu pun dimunculkan ketika berorasi dalam memimpin beberapa rapat.
Nadanya sudah tidak menggebu-gebu dan datar. Persuasinya hilang. Auranya tiba-tiba lenyap. Lesu dan lusu. Praktis, dia hanya bisa duduk membisu. Kalaupun harus berbicara dengan bawahannya, seperlu dan sekuatnya saja.
Energinya tiba-tiba musnah. Dia seperti patung ikon kota. Tertunduk. Sekretaris eksekutif hingga jajaran di kantornya kalang kabut. Bingung, heran semua. Ada yang bilang, Praja kerasukan penunggu hutan pusat kota ini. Ada yang bilang disantet lawan politiknya. Ada yang membisiki, dia kena guna-guna lawan bisnis.
Maka, banyak orang yang menyarankan dia segera dibawa ke psikiater, dokter jiwa, dukun, hingga paranormal supaya pemerintahan kembali normal. Sambil menunggu jawaban Praja yang tak kunjung merespon, kebahagiaan kota terganggu.
Harga-harga sembako naik drastis, investor pilih menarik diri, harga pupuk sulit dijangkau petani, BBM langkah dan mahal. Korupsi merajalela. Uang negara semakin lama semakin menipis. Semuanya amburadul. Kekacauan meluas, sulit dikendalikan.
Baca juga: Lubang Kenikmatan dan Kesengsaraan
Persuasi dalam teori kebahagiaan Praja mendadak hilang. Dia pun merenung di tengah-tengah pikiran kalutnya. Angannya melayang layak burung camar. Meninggi, terjun bebas, dan melambung kembali.
“Jangan-jangan teori i love you ini yang belum dituntaskan,” pikir Praja, semakin dalam.
Praja berpikir keras, berpacu dengan masalah yang menjerat warganya. Terus dikuras. Terus diperas. Terus dipacu dengan harapan ada titik terang, akar masalah dari semua ini. Pagi, siang, sore, malam, pagi lagi. Praja terus berupaya, mencari ada apa dengan ini semua?
“Jangan-jangan,” Praja bangkit. Dia pun lari kencang. Semua orang bingung dengan tingkah laku Praja. Siang bolong, larinya semakin kencang. Jalanan lurus, menanjak, menurun, belokan, menanjak lagi. Praja terus berlari. Berhenti 3 detik, lari kembali. Menanjak, berkelok tajam.
Sampai di depan pendopo rumahnya, dia langsung luruh, lemas. “I love you. I love you. I love you. I love you. I love you,” terik Praja dengan sisa tenaga. Matanya memerah dan keringat sebiji jagung.
Praja kaget. Tidak ada respon. Rumah hening, membisu. Tidak ada tanda-tanda istri dan ketiga anaknya ada. Dia pun masuk dengan langkah gontai, memeriksa semua ruangan. Satu, dua, tiga ruang dicek. Teras, halaman, lantai 2 dan 3 semua kosong.
Baca juga: Pintu Berkabut
Praja membuka secarik kertas yang tergeletak di depan televisi, di bawah remot. “Kebahagiaan itu mahal. Di sini tidak ada. Kebahagiaan yang kamu ciptakan hanyalah pencitraan. Sungguh kejam, dikau.”
Kaki Praja gemeletak. Dia kolaps.
***
Wajah Praja lebih tua dari usianya. Kulitnya keriput. Pandangan semakin kabur. Matanya memerah. Rambut memutih dan jalannya merunduk. Meskipun nada bicara kadang ngelantur, tapi suaranya masih jelas didengar.
Praja seperti ranting pohon yang rapun, mengering.
“Berapa usia, Bapak?” tanya perempuan petugas panti weda.
“Masih muda,” suara Praja pelan. Perempuan itu tersenyum.
“Masih 57. Tapi kalau ditambah dengan tidak tidur berminggu-minggu, berbulan-bulan. Ya, berbulan-bulan, mungkin sekarang menjadi 59,” Praja melempar senyum.
“Punya keluhan penyakit apa, Bapak? Mohon maaf, pertanyaan ini agak pribadi, tetapi kami di panti ini harus tahu agar bisa mengetahui riwayat penyakit sehingga kalau ada-apa, perlu penanganan khusus bisa bersiap-siap.”
“Pertanyaan itu logis, wahai perempuan berbulu mata lentik,” Praja menegakkan posisi duduknya.
“Bapak memiliki riwayat penyakit?”
“Ada.”
“Kalau boleh tahu, kira-kira apa ya, Bapak?”
Praja melempar senyum lagi sebelum menjawab.
“Insomnia.”
Praja pun langsung dinaikan kursi roda oleh petugas untuk diantar ke kamar baru yang berada di depan taman panti. Di depan air mancur dan dekat dengan kolam ikan.
Baca juga: Ikhlas di Tepian Harapan
***
Sabtu malam, Praja merasa kesepian. Dia pun mendatangi mal terbesar yang tampak sepi. Gerai semua buka, tetapi pengunjung nihil. Pelayan toko pun jarang terlihat.
Praja pun mendekati manekin yang mengenakan balutan kebaya jawa yang terpajang di gerai serba merah muda. Dengan teliti, matanya melihat dari ujung kepala sampai kaki manekin itu.
“Maukah kau kunikahi?” rayu Praja dengan lemah lembut.
“I love you,” ucap Praja lagi.
“Apakah kamu akan memberikan kebahagiaan?” jawab manekin tegas sambil mengerlingkan mata. Praja menyanggupi dengan anggukan berkali-kali. Dia menarik napas dan membalas kerliangannya.
“Apakah menerima pinanganku?” tanya Praja kembali.
“Setuju,” Manekin pun berbunga-bunga.
Praja pun langsung membawa manekin berkebaya jawa ke rumahnya. Selang beberapa bulan, saat Praja masih terjaga matanya, jam 2 dini hari, rumahnya pun sesak dengan manekin-manekin balita. Semua mengenakan kebaya, baik laki-laki maupun perempuan. Kepalanya pelontos dan sorot matanya tajam-tajam.
“I love you,” kata para manekin balita, berkali-kali, berkali-kali.
Mereka pun bermain lompat tali dan kejar-kejaran, turun naik tangga. Semakin lama semakin riuh. Praja semakin stres. Dia mencoba menutup mata dan telinga, namun semuanya sia-sia. Matanya sulit dipejamkan. Telinga terus mengangga. Meski ditutup dengan kapas atau kain, suara manekin itu semakin keras, melengking.
“Diammmm,” teriak Praja dari kamar lantai 3. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni
Catatan:
- Insomnia adalah jenis gangguan tidur yang terjadi ketika seseorang mengalami kesulitan atau tidak bisa tidur
- Maneken atau patung peraga adalah boneka manusia seluruh tubuh atau setengah badan yang dipakai sebagai model untuk memperagakan busana di toko.