OpiniUtama

Indonesia Bernyawa Menuju Indonesia Raya, Pidato Kebangsaan Haedar Nashir

×

Indonesia Bernyawa Menuju Indonesia Raya, Pidato Kebangsaan Haedar Nashir

Sebarkan artikel ini
Pidato Kebangsaan Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, disampaikan untuk menyambut HUT Ke-79 Kemerdekaann Republik Indonesia. Pidato disampaikan melali video streaming, Juma 16 Agustus 2024. 
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat menyampaikan Pidato Kebangsaan HUT ke-79 Kemerdekaan RI. (tangkapan layar)

Pidato Kebangsaan Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, disampaikan dalam rangka menyambut HUT Ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia. Pidato disampaikan melalui video streaming, Jumat 16 Agustus 2024. 

Tagar.co – Negara dengan elemen rakyat, wilayah, pemerintahan, dan kedaulatan sejatinya memiliki jiwa yang menjadi nyawa keberadaannya. Sebutlah tentang sejarah bangsa, ideologi negara,  serta konstitusi yang mengandung jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur kenegaraan. 

Negara dalam wujud aktivitas pemerintahan dan hak-hak dasar warganya bukanlah urusan raga fisik dan tampilan wajah luar belaka. Usaha membangun negara harus menyentuh aspek-aspek fundamental yang menjadi fondasi utamanya. 

Di antara bait penting  lagu kebangsaan Indonesia Raya yang senantiasa kita nyanyikan dalam posisi berdiri tegak ialah: Hiduplah tanahku/Hiduplah negeriku/Bangsaku rakyatku semuanya/Bangunlah jiwanya/Bangunlah badannya/Untuk Indonesia Raya.   

Baca juga: Hijrah Kontemporer di Tahun Baru

Mr. Soepomo dalam Pidato 31 Mei 1945 di BPUPKI menyatakan: “… bahwa pembangunan negara bersifat barang yang bernyawa. Oleh karena itu corak dan bentuknya harus disesuaikan dengan keadaan umum pada masa sekarang dan harus mempunyai keistimewaan yang sesuai dengan keadaan umum tadi.” Yakni keadaan dan keistimewaan negara-bangsa Indonesia. 

Negara harus senantiasa hidup, tidak boleh mati. Bangsa dari suatu negara mesti memiliki daya hidup agar mampu menjaga keberlangsungan negara. Negara tanpa nilai-nilai bermakna ibarat tubuh tanpa nyawa.

Nyawa Indonesia

Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, memiliki nyawa pada sejarah bangsa Indonesia. Perjuangan rakyat Indonesia dari fase ke fase telah memberi jiwa pada kepribadian bangsa. Lahirlah Bineka Tunggal Ika sebagai kredo hidup bersatu dalam kemajemukan dan termaktub dalam Lambang Negara Garuda Pancasila.

Nyawa utama Negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Pancasila digali dari rahim sejarah dan denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia. Isinya mengandung nilai-nilai fundamental yang sangat penting dan berharga bagi hajat hidup bernegara.

Pancasila adalah dasar, ideologi, dan falsafah bangsa. Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945 di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyebut Pancasila sebagai “philosophische grondslag”.

Pancasila adalah “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.” 

Pancasila disebut Bung Karno sebagai  “Weltanschauung“ atau  “pandangan dunia”. Yakni konsep dasar filsafat yang  mengacu pada persepsi mengenai dunia luas serta menjadi kerangka kerja tentang ide dan kepercayaan bangsa Indonesia dalam menafsirkan dunia dan berinteraksi dengannya. 

Pancasila menjadi rujukan utama yang menentukan misi, visi, arah, tujuan, dan cita-cita luhur Negara Republik Indonesia. Agar perjalanan Negara Indonesia mesti berada di jalur yang benar dan tidak salah arah. 

Jika Indonesia maju di segala bidang kehidupan, maka kemajuannya niscaya bertumpu di atas jiwa dan kepribadian Pancasila. Bukan kemajuan fisik dan kemajuan serba boleh berdasarkan hasrat orang per orang yang tidak sejalan dengan Pancasila.

Jiwa Konstitusi 

Nyawa Indonesia menyatu dengan nilai-nilai dasar Konstitusi Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945. Kenapa dan untuk apa Indonesia harus merdeka? 

Para pendiri Indonesia dengan kebijaksanaannya merumuskan pikiran mendasar yang mengandung jiwa Indonesia merdeka.

Pertama, bangsa Indonesia selalu sadar tentang hak untuk hidup merdeka. Bangsa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. 

Kedua, kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju terwujudnya Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. 

Ketiga, kemerdekaan Indonesia itu berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa yang didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Keempat, Negara Indonesia yang merdeka itu memiliki fondasi ideologi dan konstitusi yang kuat yang berwujud “suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima, dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia  bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Diktum-diktum mendasar inilah yang penting untuk dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan kebangsaan oleh seluruh warga negara, elite bangsa,  dan penyelenggara negara. 

Boleh jadi semua warga dan elite bangsa tahu dan hafal akan kandungan isi Pembukaan UUD 1945 maupun Pancasila yang fundamental itu. Keduanya bahkan selalu dibaca pada setiap upacara hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. 

Namun apakah Indonesia saat ini betul-betul mencerminkan dan telah mewujudkan hal-hal esensial dalam Pembukaan UUD 1945 yang mendasar itu. Apakah praktik demokrasi Indonesia sejalan sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Apakah pemerintah telah mewujudkan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di sinilah pentingnya penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang fundamental itu dalam keseluruhan gerak berbangsa dan bernegara. 

Agama dan Kebudayaan Bangsa

Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi dan mengakui agama dan kepemelukan agama sebagaimana termaktub dalam pasal 29 UUD 1945. 

Artinya negara Indonesia tidak boleh memberi ruang dan apalagi mempraktikkan sistem kehidupan yang sekuler, antiagama, dan antituhan. Indonesia memang bukan negara agama, tetapi agama hidup dalam totalitas jiwa bangsa dan konstitusi Indonesia.

Menurut Soekarno bukan hanya bangsa, tetapi negara Indonesia haruslah bertuhan. Negara harus menjamin hak-hak dasar beragama. Segala hal yang bertentangan dengan agama seperti perjudian, kebebasan dan pelecehan seksual, LGBT, dan berbagai tindakan kemaksiatan lainnya jangan dibiarkan tumbuh di Republik ini hatta atas nama hak asasi manusia.

Umat beragama pun niscaya menjadi penyebar nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan etika luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat dan para pemimpin agama dipanggil menjadi penjaga nilai luhur dan keteladanan utama di dunia nyata.

Negara Indonesia juga mengakui kebudayaan nasional dan daerah sebagai sumber mozaik luhur kehidupan kolektif bangsa Indonesia. Pendidikan Indonesia dilekatkan dengan jiwa iman-takwa dan akhlak mulia yang berbasis nilai agama serta menjunjung tinggi nilai budaya, ilmu pengetahuan,  dan persatuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk terwujudnya peradaban bangsa. 

Karenanya melalui nilai dasar Pancasila, agama, dan kebudayaan bangsa yang luhur maka seluruh warga bangsa dan para elitenya terbimbing kehidupannya dengan benar, baik, pantas, dan mulia. Di dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara hidup nilai moral dan etika luhur sehingga berindonesia tidak salah arah dan salah kaprah.

Ki Bagus Hadikusumo, anggota BPUPKI dan Pahlawan Nasional ,dalam Pidato di BPUPKI 31 Mei 1945 mengingatkan tentang pentingnya nilai-nilai agama dalam perilaku nyata berindonesia. 

Ki Bagus menyatakan, “…segala kekusutan masyarakat itu harus dicari apakah yang menjadi sebab-sebabnya. Kita akan dapat mengetahuinya bahwa segala macam kekusutan dan kekacauan masyarakat itu timbul dari keadaan jiwa yang kusut yang didorong oleh hawa nafsu jahat dalam dada manusia. … Setengah dari kehendak jahat yang paling berbahaya ialah tamak dan serakah, yaitu: hendak menang sendiri, hendak enak sendiri, hendak kaya sendiri, dan hendak mendapat nama sendiri.” 

Kami percaya masih banyak elite dan warga bangsa bersetia menjunjung tinggi nilai Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa dalam totalitas jiwa, kata, dan tindakan nyata. Nilai-nilai luhur itu hidup dan tercermin dalam keteladanan para elite bangsa yang ditiru baik oleh seluruh warga bangsa.

Merayakan Kemerdekaan

Ketika hari ini bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Ke-79 Kemerdekaan dengan gempita. Marilah berefleksi mendalam agar berbangsa-bernegara dengan sarat makna. 

Merayakan kemerdekaan tentu mengandung rasa gembira sebagai ekspresi kesyukuran atas karunia Tuhan yang sangat berharga. 

Namun kegembiraan mesti disertai penghayatan akan makna merdeka dan nilai-nilai dasar yang menjadi nyawa Indonesia. Agar kegembiraan itu tidak bersifat lahiriah semata, apalagi berubah menjadi pesta pora.

Apakah Pancasila saat ini benar-benar dijadikan roh, jiwa, atau nyawa dalam penyelenggaraan dan kebijakan membangun Negara Republik Indonesia? 

Apakah seluruh warga dan pemimpin Indonesia senantiasa berpikir, bersikap, dan bertindak di atas landasan nilai utama Pancasila. Pancasila tidak menjadi jargon dan  kata-kata belaka.

Pancasila niscaya menjadi praktik hidup berbangsa dan bernegara yang luhur dan utama. Wujudkan dan praktikkan Pancasila dalam kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan kebijakan-kebijakan publik secara nyata. 

Kekuasaan dalam pemerintahan negara di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga-lembaga bentukan pemerintahan lainnya  haruslah berdiri tegak di atas nilai dasar Pancasila dan konstitusi Indonesia. Agama dan Kebudayaan menjadi nilai  luhur yang membentuk dasar moral dan etika berindonesia.

Praktik Hidup Berindonesia

Ketika ini bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Ke-79 Kemerdekaan, maka hayati dan praktikkan nilai-nilai dasar yang menjadi nyawa Negara Republik Indonesia itu. Jangan berhenti di kulit luar dan kesemarakan lahiriah semata. 

Bangunlah jiwa Indonesia agar lahir Indonesia Raya yang bernyawa. Yakni Indonesia yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagai tujuan dan cita-cita nasional yang digoreskan para pendiri negara. Bawalah negara dan bangsa tercinta ini pada cita-cita luhurnya yang mulia. 

Rakyat Indonesia menderita ratusan tahun akibat kezaliman penjajah yang menikmati bumi dan kekayaan negeri ini. Di antara pejuang bangsa itu bahkan banyak yang tidak berpredikat Pahlawan Nasional, bahkan gugur tanpa nama.

Karenanya, jangan biarkan Indonesia saat ini nestapa apalagi mati suri karena raganya terlepas dari jiwanya. 

Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, politik transaksional, politik dinasti, utang negara, salah urus dan penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam wujud dari pengkhianatan atas  jiwa kemerdekaan Indonesia.

Kemerosotan moral, etika, dan segala tindakan buruk dalam berbangsa-bernegara merupakan bentuk perusakan jiwa Indonesia.

Kunci Indonesia Raya agar tetap bernyawa dan tidak salah arah dalam memperjuangkannya berada di pundak para pemimpin bangsa.  

Jadilah para pemimpin Indonesia yang berjiwa, berpikiran, bersikap, dan bertindak sejalan Pancasila, agama, kebudayaan, dan sejarah Indonesia nan sarat makna.

Jadilah para pemimpin negarawan yang mengedepankan  kepentingan Indonesia di atas kepentingan diri, kroni, dinasti, dan golongan sendiri.

Mr. Soepomo mengingatkan dalam pidatonya: “Kepala Negara dan badan-badan Pemerintahan lain harus bersifat pemimpin yang sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur, yang diidam-idamkan oleh rakyat. Negara harus bersifat badan penyelenggara, badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya.”.

Para pemimpin Indonesia harus sudah selesai dengan dirinya, dengan mengutamakan sikap memberi dan bukan meminta apalagi mencuri dari Indonesia.   

“Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu,  tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu,” kata John F Kennedy, Presiden Amerika Serikat. 

Jangan sampai Indonesia Raya kehilangan nyawa karena warga dan elite bangsanya bertindak sekehendaknya. Menjadi elite dan warga pemburu kuasa, tahta, dan gemerlap dunia. 

Para pemimpin Indonesia termasuk para ilmuwannya, niscaya menjadi penjaga integritas kenegarawanan berbasis nilai-nilai luhur Pancasila, agama, dan kebudayaan bangsa. 

Menjadi para elite penjaga kebenaran, moral, etika, pengetahuan, dan kemajuan bangsa. Mereka konsisten mengutamakan kepentingan negara dan bangsa  dengan berkorban sepenuh jiwa-raga.

Para elite negeri jangan sibuk membangun legasi dan kepentingan diri yang merusak nilai-nilai luhur dan membebani masa depan Indonesia.

Jadilah elite dan warga penyebar kebaikan berbasis iman dan takwa agar Tuhan memberkahi Indonesia sebagaimana janji-Nya:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ

 وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ  

Artinya: Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 96).

Keberhasilan Indonesia di bidang ekonomi, politik, dan kemajuan fisik  sedigdaya apapun tidak akan bertahan lama jika negara dan bangsa kehilangan nilai-nilai luhur nan utama. Menjadi Indonesia tanpa nyawa! (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Baca Juga:  40 Negara dengan Persentase Muslim Tertinggi 2024, Indonesia Tak Masuk 30 Besar