Apa pengertian ijtihad? Apa dasar dibolehkannya ijtihad? Sudah adalah ijtihad di zaman Nabi? Dalam lapangan apa saja ijtihad diperbolehkan? Bagaimana perkembangan ijtihad yang dilakukan umat Islam?
Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).
Tagar.co – Ijtihad secara bahasa berarti pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Secara istilah adalah bersungguh-sungguh menggunakan akal pikiran untuk merumuskan atau menetapkan hukum atas suatu perkara yang tidak ditemukan kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunah Rasulullah SAW.
Kata ijtihad tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, tetapi akar katanya—jahd—digunakan sebanyak lima kali yaitu dalam Al-Maidah/5:53; Al-An’am/6:109; An-Nahl/16: 38, An-Nur/24:53; dan Faathir/35:42.
Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang adanya ijtihad oleh Rasulullah SAW dalam hukum Islam (Ahmad Abd. Madjid, Ushul Fiqh. Pasuruan: Garoeda Buana Indah).
Baca juga: Ashabulkahfi, Kisah Penghuni Gua selama 309 Tahun
Sebagian mengatakan Nabi SAW melakukan ijtihad dan yang lain tidak. Tetapi paling tidak, dalam sejarah pernah terjadi keputusan Rasulullah SAW ‘dianulir’ oleh Allah. Ketika Rasulullah SAW memperbincangkan tawanan Perang Badar, Umar mengusulkan untuk dibunuh sedangkan Abu Bakar mengusulkan agar diampuni dan tebusannya diterima.
Rasulullah SAW mengikuti usul Abu Bakar. Maka turunlah surat Al-Anfal/8:67, 68 (Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabul Nuzul. Bandung: Diponegoro).
Ijtihad Muadz bin Jabal
Keberadaan ijtihad sendiri tidak ditolak atau dipertentangkan oleh ulama. Salah satu dasar yang menjadi rujukan adalah diakuinya ijtihad adalah dialog Rasulullah SAW dengan Muadz bin Jabal saat menjelang kepergiannya sebagai utusan ke Yaman.
Berikut adalah cuplikan dialog tersebut seperti hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud:
Rasulullah: Bagaimana kamu menentukan suatu hukum?
Muadz: Aku menetapkan hukum dengan Kitab Allah.
Rasulullah: Kalau tidak kamu dapati dalam Kitabullah?
Muadz: Aku menghukum dengan sunah Rasulullah.
Rasulullah: Kalau masih tidak kamu dapati dalam sunahku?
Muadz: Aku akan berijtihad dengan pikiranku.
Rasulullah: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah.
(Abdul Wahhab Khallaf, Khulasoh Tarikh Tasyri’ Islam. Solo: Ramadhani)
Baca juga: Syafaat Menurut Al-Qur’an
Dari dialog Rasulullah SAW dengan Muadz bin Jabal tersebut bisa dilihat bahwa dalam Islam urutan sumber hukum dan hukum tertinggi adalah Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasulullah SAW. Sedangkan ijtihadadalah metode untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hal-hal yang tidak didapati kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Pasang Surut Ijtihad
Dalam sejarah umat Islam, ijtihad mengalami pasang surut. Pada abad II sampai IV Hijriyah, ijtihadberkembang dengan pesat, tetapi setelah abad IV Hijriah, ijtihad mengalami kemunduran atau bisa dikatakan berhenti (Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru van Hoeve). Setelah itu ijtihad dibangkitkan lagi oleh Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al Afgani, dan lain-lain.
Baca juga: Syariat Universal
Lapangan yang merupakan tempat berperannya ijtihad adalah:
- Perkara-perkara yang kepastian hukumnya belum jelas dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw.
- Perkara-perkara yang belum disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Nabi atau ulama.
- Perkara-perkara yang diketahui hukum dan illat-nya (sebab hukumnya). Sebagai contoh: tidak dilakukannya salat Tarawih secara berjemaah karena khawatir ada anggapan bahwa salat tersebut wajib. Ketika kekhawatiran itu sudah tidak ada, maka salat Tarawih secara berjamaah baik untuk dilakukan.
Maka merupakan langkah yang terlalu berani, jika dengan dalih reaktualisasi ajaran Islam, perkara-perkara yang sudah jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As Sunah kemudian digugat kembali. Tiga lapangan ijtihad di atas masih terbuka seluas-luasnya untuk diijtihati oleh para mujtahid. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni