Ibu negara itu masih berusia muda. Hidup mendampingi suaminya dalam masa perjuangan kemerdekaan. Tahun 1953 dia memutuskan berpisah dengan suaminya, Bung Karno, karena alasan ini.
Tagar.co – Ibu negara Indonesia pertama, Fatmawati, ternyata kader Nasyiatul Aisyiyah saat masih remaja di Bengkulu.
Fatmawati menjadi ibu negara ketika mendampingi Ir Sukarno sebagai Presiden RI mulai 18 Agustus 1945. Dia lahir pada Senin, 5 Februari 1923 di kampung Pasar Malabero Kota Bengkulu.
Awal mula kenal dengan Bung Karno pada tahun 1938. Ketika itu Bung Karno dipindahkan oleh pemerintah kolonial Belanda tempat pembuangannya dari Ende ke Bengkulu.
Di kota ini Bung Karno berkenalan dengan Hasan Din, ayah Fatmawati, yang menjadi Konsul Muhammadiyah Bengkulu.
Hasan Din menawari Bung Karno menjadi Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu dan mengajar di HIS Muhammadiyah.
Hasan Din sering mengajak istrinya, Siti Chadijah, dan Fatmawati yang saat itu berusia 15 tahun berkunjung ke rumah Bung Karno yang tinggal bersama istrinya Inggit Garnasih dan anak angkat Ratna Djuami.
Baca Juga Menikmati Senja di Pantai Tunggul, Airnya Hangat untuk Terapi
Dalam pertemuan itu mereka suka berdiskusi tentang perjuangan, dakwah, dan pergerakan Muhammadiyah.
Lama kelamaan Bung Karno tertarik dengan kecerdasan Fatmawati saat menyampaikan pendapat. Pada tahun itu anak tunggal Hasan Din ini sudah menjadi aktivis di Aisyiyah bagian Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiah).
Fatmawati bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS) Peramuan. Kemudian pindah ke HIS Muhammadiyah Kebon Ros. Setelah lulus lanjut ke sekolah kejuruan Rooms Katolik Vakschool Maria Purrisima.
Dalam buku biografi Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016), dia menulis aktivitasnya di Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Nasyiah.
”… berkat kemajuan yang dibawa oleh Muhammadiyah, aku ikut dalam kegiatan masyarakat, seperti yang dirindukan oleh RA Kartini bagi kaumnya.”
Ia juga mengenal tokoh-tokoh pimpinan Aisyiyah yang memajukan gerakan perempuan seperti Siti Munjiyah, Siti Hayinah, dan Siti Badilah Zuber.
Ketika Konferensi Daerah Muhammadiyah digelar di Palembang pada 1936, ia menulis kenangannya itu.
”… aku memperhatikan para peserta berdiskusi, dan mendengarkan pidato-pidato dari para pimpinan. Aku mengenal utusan dari Yogyakarta seperti Ibu Siti Munjiyah, Ibu Siti Hayinah, dan Siti Badilah Zuber. Meskipun kita baru saling bertemu dan berkenalan, namun aku merasa akrab dengan ibu-ibu peserta kongres seperti sudah bertahun-tahun berkenalan…”
Akhirnya Bung Karno menikahi Fatmawati pada tanggal 1 Juni 1943. Saat itu usia Fatmawati 20 tahun dan Bung Karno 37 tahun.
Alasan pernikahan ini karena Bung Karno ingin punya anak. Sebab 18 tahun menikah dengan Inggit belum berputra. Tapi Inggit tidak mau dimadu sehingga meminta cerai.
Baca Juga Tugu Titik Nol Surabaya, Penanda Jarak dan Simbol Budaya
Setelah menikah Fatmawati ikut Bung Karno ke Jakarta yang mulai sibuk di kegiatan politik. Menjelang proklamasi, dia mendapat tugas menjahit bendera merah putih untuk dikibarkan saat upacara di halaman rumahnya Jln. Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Sebagai ibu negara di negara yang baru merdeka fasilitas serba terbatas. Dengan setia dia dampingi Bung Karno memimpin negara yang masih kacau karena agresi militer Belanda dan pertikaian politik.
Dia telah memberi Sukarno empat anak. Yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati. Namun dua hari setelah kelahiran anak kelima, Guruh, persoalan datang.
Tanggal 15 Januari 1953, Bung Karno meminta restu Fatmawati untuk menikahi Hartini, perempuan yang bersuami.
Dia menolak permintaan itu. Lalu memilih meninggalkan istana hidup sendiri di rumah Jakarta Selatan. Bung Karno tinggal di Istana bersama Hartini.
Dia menulis dalam biografinya.
”Kemudian Bung Karno berdiri dan berlalu dari dalam ruangan tempatku berbaring. Dapatkah saudaraku sekalian bayangkan dengan perasaan halus, kuatkah perasaan seorang istri untuk mendengarkan permintaan seorang suami seperti yang tersebut di atas jika ia tidak dibantu oleh Allah Yang Maha Penyayang untuk tetap tabah untuk mendengar permintaan serupa itu?”
Meskipun hidup terpisah status ibu negara pada Fatmawati tak lepas karena suami istri ini tidak bercerai. Dia masih menghadiri acara kenegaraan hingga Bung Karno dicopot dari jabatan presiden dalam sidang MPRS tahun 1967.
Fatmawati meninggal dunia di Jakarta pada 14 Mei 1980. (#)
Jurnalis Nely Izzatul Penyunting Sugeng Purwanto