Tagar.co – Ibadah haji atau Iduladha merupakan titik balik dari seruan anbiya (nabi-nabi) dalam menjalankan tugas-tugas mereka, yakni menyampaikan risalah Allah. Sebagaimana firman Allah dalam An-Nahl ayat 36.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut’, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Baca juga: Ka’bah dan Sejarah Haji
Seruan Allah dalam ayat tersebut sangat jelas dan gamblang. Karena itu, manusia tidak perlu berkelahi dengan kaum yang musyrik, sesat, dan zalim. Yang musyrik biarkan dengan kesyirikannya. Yang sesat biarkan dengan kesesatannya. Yang zalim biarkan dengan kezalimannya. Selama Allah memilih kita untuk mengisi hati dengan hidayah-Nya, cepat atau lambat kemenangan ada di tangan kita, insyaallah.
Maka tidak ada persoalan di antara Muslim maupun umat lainnya. Semua meyakini dengan keyakinan yang sama. Ini terlihat dari bagaimana Allah menceritakan tentang Nabi Nuh As dalam Al-A’raf ayat 59.
لَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ
Artinya, “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (kiamat).”
Kemudian kepada Kaum Ad, Allah mengirimkan Nabi Hud dengan ucapan yang sama. “Wahai kaumku, sembahlah Allah karena tidak ada bagimu Tuhan selain Allah,” ujarnya.
Begitu pula kepada kaum Tsamud. Allah mengirimkan Nabi Shaleh yang menyerukan, “Wahai kaumku, sembahlah Allah karena tidak ada bagimu Tuhan selain Allah.”
Juga ketika Allah mengutus Nabi Syuaib untuk Suku Madyan dengan ucapan dan seruan yang sama. “Wahai kaumku sembahlah Allah karena tidak ada bagimu Tuhan selain Allah!” serunya.
Teladani Nabi Ibrahim
Iduladha atau ibadah haji adalah suri teladan kepada Nabi Ibrahim dalam menyempurnakan tugas kenabiannya. Iduladha menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim tatkala menyebarkan dan menegakkan kalimat tauhid.
Seorang diri menghadapi kaumnya yang musyrik, Ibrahim dengan keyakinan kuat terus menyebarkan agama tauhid di hadapan mereka semua tanpa rasa takut dan khawatir. Nabi Ibrahim adalah suri teladan yang sempurna dalam membangun bangsa dan negeri. Ia dengan bijak dan tetap istikamah di jalan Allah.
Allah berfirman dalam Al-Mumtahanah:6,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ ۚ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْغَنِىُّ ٱلْحَمِيدُ
Artinya: “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barang siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Orang beriman pun menyatakan sesungguhnya mereka berlepas diri dari orang-orang yang zalim. Biarlah yang bidah atau zalim silakan sesuka hati melakukan bidah atau kezaliman. Tetapi orang beriman mengatakan, “Kami tidak akan pernah menyetujui itu. Kami menolak dan kufur terhadap kesyirikan.”
Baca juga: Ibadah Kurban dan Kepedulian Sosial
Orang Mukmin bukan membenci mereka tapi membenci perilaku dan keyakinan mereka. Sebagai satu bangsa, ras, dan rumpun, yang orang mukmin benci adalah kesyirikan yang mereka lakukan.
Dari sini, tampaklah permusuhan antara orang mukmin dengan orang zalim dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Tidak mungkin ahli tahfiz bersekutu dengan ahli syirik. Tidak mungkin ahli sunah bersekutu dengan ahli bidah. Tidak mungkin orang saleh bekerja sama dengan kezaliman. Ada kebencian di antara mereka.
Nabi Ibrahim adalah uswah dalam membangun bangsa. Dia diperintahkan hijrah oleh Allah dengan istri dan anaknya. Karena hijrah itu suatu keharusan.
Tatkala manusia dalam kemaksiatan, silakan hijrah untuk taat kepada Allah. Misal, berhijrah untuk menutup kembali aurat. Kalau masih bersuka ria dengan kemaksiatan dan kezaliman, silakan berhijrah untuk tunduk dan patuh kepada Allah. Berhijrah bukan untuk mengejar pangkat atau beralih profesi tapi untuk beribadah kepada Allah. Jangan sampai berhijrah untuk mengejar kedudukan di dunia tapi akhirat terabaikan.
Melakukan perintah Allah memang perlu kesabaran. Seperti ibu-ibu melaksanakan kewajibannya, perlu kesabaran. Bapak-bapak berusaha memenuhi kebutuhan hajat hidup, perlu kesabaran. Jangan emosional dan mengambil jalan pintas.
Dekatkan Diri
Berkurban bukan sekadar menyembelih dan membagi daging melainkan wujud persembahan kepada Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bukan sekadar membawa kameramen untuk merekam si Fulan berkurban berapa ekor. Ini persembahan kepada Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Hajj:37.
وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.”
Jadi, bagaimana manusia ikhlas menyerahkan untuk Allah. Akhir dari semua persoalan ini, sesungguhnya Nabi Ibrahim itu seorang imam yang taat kepada Allah. Ia orang yang lurus dan tidak termasuk orang musyrik. Jika dalam membina keluarga orang mukmin bisa mengikuti Nabi Ibrahim, maka negeri ini akan dirahmati Allah dan diberi pertolongan insyaallah. (#)
Materi khotbah Iduladha 1445 yang disampaikan K.H. Mustofa Muntazam, Lc., M.A. di halaman parkir Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG).
Jurnalis Sayyidah Nuriyah Penyunting Mohammad Nurfatoni