SejarahUtama

HOS Tjokroaminoto: Pembangkit Kesadaran Nasional Berbasis Iman

374
×

HOS Tjokroaminoto: Pembangkit Kesadaran Nasional Berbasis Iman

Sebarkan artikel ini
“HOS Tjokroaminoto adalah peletak dasar perubahan sosial-politik di Indonesia.” Itu adalah salah satu judul dalam buku Menemukan Sejarah karya sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara.
HOS Tjokroaminoto (Foto kompas.tv)

“HOS Tjokroaminoto adalah peletak dasar perubahan sosial-politik di Indonesia.” Itu adalah salah satu judul dalam buku Menemukan Sejarah karya sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara.

Oleh M. Anwar Djaelani, pemerhati sejarah

Tagar.co – Oemar Said Tjokroaminoto adalah nama aslinya. Lazim ketika itu, sepulang menunaikan haji, nama seseorang ditambahi “gelar” Haji. Begitu pula dengan nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto, yang kemudian disingkat HOS Tjokroaminoto.

Ia lahir pada 16 Agustus 1882 di Madiun. Ayahnya adalah wedana di Kleco, Madiun. Kakeknya pernah menjabat sebagai bupati di Ponorogo. Tampaknya, dalam diri Tjokroaminoto lebih mengalir darah kakek buyutnya, yaitu Kiai Bagus Kasan Besari, yang bersikap kerakyatan. Semasa hidupnya, sang kakek buyut memperjuangkan tegaknya ajaran Islam di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur.

Saat kanak-kanak, Tjokroaminoto diasuh di lingkungan pesantren. Kemudian, ayahnya menyekolahkannya ke sekolah Belanda yang menerapkan sistem Barat. Karena itu, ia menguasai bahasa Belanda dan Inggris.

Baca juga: Kebangkitan Nasional di Era Disrupsi: Dari Semangat Budi Utomo ke Kepemimpinan Transformasional

Sekitar usia 20 tahun, ia lulus dari Sekolah Pamong Praja di Magelang, lalu bekerja di lingkungan pemerintah kolonial sebagai juru tulis di Kepatihan Ngawi (1902–1905). Setelah itu, ia pindah ke Surabaya dan bekerja di perusahaan swasta.

Di Surabaya, rumah Tjokroaminoto menerima anak kos. Di antara anak kosnya adalah Soekarno yang kala itu sedang menempuh pendidikan. Belakangan, Soekarno menjadi muridnya dalam bidang politik, bahkan sempat menjadi menantunya.

Baca Juga:  Seandainya Kau Tahu: Pesan Nabi yang Menggetarkan Jiwa

Dari perusahaan swasta tersebut, Tjokroaminoto lalu pindah bekerja di perusahaan jasa konsultasi teknik. Belum genap setahun, datang utusan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) Surakarta yang memintanya bergabung.

SDI didirikan pada 1905 dan dipimpin oleh K.H. Samanhudi, seorang pedagang sukses. Dalam pandangannya, SDI perlu diperluas cakupannya, tak hanya mengurusi soal dagang, tetapi juga politik dan dakwah. Ia menyadari bahwa kader yang mampu membawa cita-cita tersebut sangat terbatas. Maka, dicarilah sosok yang berani dan memiliki visi.

Terdengar kabar, ada seorang pribumi yang berpendidikan Barat tetapi berani. Indikasinya, ia rela keluar dari status pegawai negeri dengan alasan tak ingin terus-menerus “merunduk”.

Orang yang dimaksud adalah Tjokroaminoto. Ia visioner, pemberani, dan berbicara dengan lantang. Ia tak pernah menundukkan kepala ketika berbicara. Mata lawan bicaranya selalu ditatap, tak peduli apakah atasannya atau penjajah. Bila berhadapan dengan Belanda atau pejabat pemerintah, ia memilih duduk di atas kursi karena baginya semua manusia setara.

Tjokroaminoto pun aktif di SDI. Ia dikenal sebagai orator ulung dan penyemangat rakyat. Di depan anggota SDI atau masyarakat umum, ia piawai membangkitkan emosi pendengar lewat pidato berapi-api. Selain itu, ia juga pandai menulis dan menghasilkan tulisan-tulisan yang inspiratif.

Ia sosok yang kharismatik dan populer. Popularitasnya merupakan buah dari usahanya menumbuhkan kesadaran rakyat atas hak sosial-politiknya. Melalui kefasihannya berpidato, ia mampu mengomunikasikan perjuangannya dengan efektif.

Baca Juga:  Sepuluh Tahun Lagi Jadi Ulama! Visi sang Ayah bagi Hamka

Di bawah kepemimpinannya, SDI berganti nama menjadi Syarikat Islam (SI) pada 10 September 1912. Perhatikan! Tjokroaminoto memimpin SI saat berusia 30 tahun—masih tergolong muda.

Ia kemudian mengubah orientasi organisasi. SI bukan hanya kumpulan pedagang muslim, melainkan komunitas umat Islam yang ingin memahami dan menegakkan ajaran Islam. Maka, keanggotaan SI terbuka bagi semua unsur masyarakat.

Kesibukannya meningkat. Ia aktif menghadiri kongres-kongres SI. Dalam Kongres SI di Madiun pada 1923, SI berubah menjadi Partai Syarikat Islam (PSI).

Pada 1931, melalui buku kecil berjudul Tafsir Program-Asas dan Program-Tandhim, Tjokroaminoto menyampaikan bahwa melalui PSI akan diperjuangkan terwujudnya keadaan di mana kaum Muslimin dapat menjalankan Islam secara utuh demi terwujudnya dunia Islam yang sejati (Herry Mohammad [Ed.], 2008: 31–32).

Di tengah kesibukannya, Tjokroaminoto tetap menulis. Salah satu karya tulisnya berjudul Tarikh Agama Islam, yang disarikan dari karya Amir Ali (The Spirit of Islam) serta Kawaja Kamaluddin (The Ideal Prophet dan The Prophet Muhammad). Tujuannya: agar umat Islam memahami sejarah Islam dan Nabi Muhammad Saw.

Adapun karya yang bersifat ideologis, ia tulis dalam Islam dan Sosialisme. Di buku itu dijelaskan bahwa sistem ajaran Islam menjunjung tinggi kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan.

Baca Juga:  Fatwa Ulama dan Perlawanan Global terhadap Genosida Israel

Islam sebagai jalan hidup adalah tema yang terus diperjuangkannya. Dalam salah satu artikelnya, “Pemberi Ingat dan Penunjuk Jalan kepada Umat Islam”, yang ditulis pada 1930-an, Tjokroaminoto mengingatkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, seseorang harus menjalankan agama dan menuntut ilmu. Dua hal itulah yang akan menyelamatkan dari kehinaan dan kesengsaraan.

Tjokroaminoto memang senang menulis. Sekitar 1907–1910, ia aktif menulis di Bintang Surabaya. Ia juga sempat mendirikan surat kabar Utusan Hindia, Fajar Asia, dan Majalah Al-Jihad.

Melalui media massa, ia menyalurkan gagasan dan semangat pergerakan nasional serta menyuarakan kepentingan sosial-ekonomi umat Islam. Gagasan dan semangat itu kemudian dituangkan dalam perjuangan melalui organisasi sosial-politik SI.

Tjokroaminoto adalah tipe sang penggerak. Bersama H. Agus Salim, pada 1926 ia mendirikan Organisasi Haji Hindia. Setahun kemudian, pada 1927, mereka membentuk Muktamar Alam Islami Far’ul Hindi Syarqiyah, sebuah organisasi yang bertujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang berpijak pada spirit keislaman (Ensiklopedi Islam Indonesia, 1992: 188–189).

“Api” Tjokroaminoto

Tjokroaminoto, sang “Singa Podium”, wafat pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dalam usia 52 tahun. Ia telah banyak berbuat untuk negeri ini, dimulai sejak usia muda. Hal paling mendasar yang dikerjakannya adalah menumbuhkan kesadaran nasional rakyat untuk merdeka, dan itu ia tumpukan pada iman dan Islam. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni