SejarahUtama

Hari Ibu, Bukan Sekadar Perayaan dengan Bunga Plastik

316
×

Hari Ibu, Bukan Sekadar Perayaan dengan Bunga Plastik

Sebarkan artikel ini
Hari Ibu bukan sekadar diperingati dengan bunga. Tapi penghargaan terhadap posisi perempuan dalam status sosial, politik, dan ekonomi.
Panitia Kongres Perempuan Indonesia di Yoyakarta, 22 Desember 1928. Dari kiri Ismoediati (Wanito Oetomo), Soenarjati (Poetri Indonesia), Siti Soekaptinah (Jong Islamiten Bond), Nyi Hadjar Dewantara (Wanito Taman Siswa), R.A. Soekanto (Wanito Oetomo), Siti Moenjiyah (Aisyiyah), R.A. Harjadiningrat (Wanito Katholiek), Soejatien (Poetri Indonesia), Siti Hayinah (Aisyiyah), B. Moerjati (Jong Java Meisjeskring).

Hari Ibu bukan sekadar diperingati dengan bunga. Tapi penghargaan terhadap posisi perempuan dalam status sosial, politik, dan ekonomi.

Tagar.co – Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember di Indonesia suka disimbolkan dengan pemberian bunga. Lebih sering berupa bunga tulip merah dari plastik yang dijual di pinggir jalan.

Bunga itu mewakili karakter feminim. Menggambarkan sosok ibu yang lembut, sayang, dan baik hati.

Namun sejarah lahirnya Hari Ibu sebenarnya bukan soal lemah lembut tapi perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan status sosial, politik, dan ekonomi.

Itulah suasana Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung di Pendapa Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipuro di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928.

Acara ini digelar dua bulan setelah Kongres Pemuda Indonesia II di Batavia. Kongres Perempuan diikuti 30 organisasi perempuan pribumi dari 12 kota di Jawa dan Sumatera.

Peserta sekitar 600 orang. Hadir juga pengawas dari Dinas Intelijen Politik pemerintah kolonial. Peserta tidak semua berstatus sebagai ibu, tapi ada juga yang masih remaja belum menikah.

Baca Juga:  Khitan Perempuan dalam Pandangan Aisyiyah

Kongres Perempuan ini diselenggarakan oleh panitia terdiri dari RA Soekanto dan Ismoediati (Wanita Oetomo), Siti Munjiyah dan Siti Hayinah (Aisyiyah), Soenarjati, Soejatin (Poetri Indonesia), Siti Soekaptinah (Jong Islamieten Bond), Nyai Hajar Dewantara (Taman Siswa), RA Harjadiningrat (Wanito Katholik), dan Moerjati (Jong Java).

Peserta kongres tampak didominasi dari Aisyiyah dan Siswa Praja Wanita (SPW). SPW ini kelak berubah menjadi Nasyi’atul Aisyiyah. Kelompok Aisyiyah dan juniornya ini memeriahkan kongres dengan memakai kerudung putih. Remaja SPW mengisi acara dengan menyanyi dan pentas teater.

Suasana perdebatan Kongres Perempuan ditulis Soeara Moehammadijah No. 5 dan 6 Th. XI/Agustus 1929.

Utusan Aisyiyah, Siti Munjiyah, menyampaikan pidato berjudul Derajat Perempuan. Dia mengungkapkan pandangan agama Islam terhadap hak-hak perkawinan.

Munjiyah mengatakan, pertemuan perempuan seperti ini juga merupakan agenda Aisyiyah. Bersyukur cita-cita yang telah lama dipikirkan itu dapat terwujud.

”Semoga gerakan yang diselenggarakan hari ini terus dipelihara untuk menambah usahanya, dan harus sanggup memberantas dan menghadapi segala rintangan. Kaum perempuan dapat dipertinggi derajatnya yaitu dengan jalan menepati segala sesuatu kewajiban yang bertalian dengan kaum perempuan.”

Baca Juga:  Rapat Pleno PCA Krian: Penguatan Ideologi dan Komitmen Dakwah Aisyiyah

Dia mengingatkan kepada peserta kongres, setiap cita-cita yang tinggi dan mulia hanya mungkin dapat dicapai dengan bekerja keras, penuh kesabaran dan tawakal. Untuk mencapai tujuan tersebut ada yang perlu mendapat perhatian beberapa hal yaitu mengekalkan barisan persaudaran dengan kokoh, karena setan telah berusaha kuat mencegah persatuan yang kokoh itu.

Mengatasi segala hambatan itu, dia menyarankan, rajin mencari pengalaman dengan tidak memilih-milih ilmu pengetahuan dan memperluas pemandangan, bekerja dengan penuh kesabaran yang berarti tidak jemu-jemunya melakukan sesuatu dengan cerdik dan berhati-hati.

Nyonya Toemenggoeng, utusan pemerintah kolonial yang mengikuti jalannya kongres menuturkan suasana ketika Munjiyah berpidato mendapat respon dari Siti Sundari, utusan Poetri Indonesia.

Dia interupsi dan menyampaikan sanggahan bahwa pemikiran Siti Munjiyah itu bersikap standar ganda untuk kaum perempuan dan laki-laki.

Utusan Hoofdbestuur (HB) Aisyiyah lainnya Siti Hayinah. Dia menyampaikan pidato tentang Persatuan Manusia.

Hasil Kongres Perempuan Indonesia ini dibentuknya wadah bersama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).

Dalam Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung tahun 1938, tanggal 22 Desember dinyatakan sebagai Hari Ibu.  Kemudian tahun 1946 nama Kongres Perempuan Indonesia diganti menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Baca Juga:  Perjuangan Aisyiyah di Pedalaman: Kami Tak Membawa Agama, Dakwah Kami Al-Maun

Berdasarkan Keppres No. 316 tahun 1959 tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu.

Penyunting Sugeng Purwanto