Cerpen

Harga Sebuah Kejujuran

352
×

Harga Sebuah Kejujuran

Sebarkan artikel ini
Wajahnya memerah, rasa malu merayapi sekujur tubuhnya seperti sengatan listrik. Murid-murid yang dulu memandangnya dengan penuh kekaguman, kini menatapnya dengan campuran kekecewaan dan kesedihan.
Ilustrasi AI/freepik.com premium

Wajahnya memerah, rasa malu merayapi sekujur tubuhnya seperti sengatan listrik. Murid-murid yang dulu memandangnya dengan penuh kekaguman, kini menatapnya dengan campuran kekecewaan dan kesedihan.

Harga Sebuah Kejujuran; Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik.

Tagar.co – Di sebuah sekolah kecil di pinggiran kota, Bu Mira adalah guru yang disegani. Murid-murid menyukai cara mengajarnya yang tegas namun penuh perhatian, sementara para kolega menghormati dedikasinya. Senyumnya selalu terkembang, seolah menyembunyikan beban apapun yang mungkin dipikulnya. Namun, di balik senyum lembut itu, Bu Mira sedang bergulat dengan dilema yang menggerogoti hatinya.

Anggaran renovasi ruang perpustakaan baru saja turun. Sebagai ketua panitia, tanggung jawab besar kini berada di pundaknya. Harapan untuk perpustakaan yang nyaman dan modern membayang di benaknya, begitu juga dengan wajah-wajah bersemangat para muridnya.

Namun, godaan datang dalam wujud Pak Jaka, seorang kontraktor yang licin dan pandai merayu. “Bu Mira,” bisiknya suatu sore, suaranya terdengar seperti desis ular, “kalau Ibu setuju dengan saya, ada komisi lima juta untuk Ibu. Lumayan, kan? Ibu pasti butuh tambahan. Lagipula, tidak akan ada yang tahu. Ini rahasia kita.”

Awalnya, Bu Mira menolak mentah-mentah. Hatinya berteriak bahwa itu salah. Namun, malam itu, bayangan dapurnya yang bocor kembali menghantui. Atap seng yang berkarat itu seolah mengejeknya setiap kali hujan turun. Tagihan sekolah anaknya yang menumpuk, sepatu lamanya yang jebol di bagian depan, semua itu seperti beban berat yang menghimpit dada. “Hanya lima juta,” pikirnya, mencoba membenarkan. “Uang itu tidak akan merugikan siapa pun, hanya sedikit memperlancar urusan saja.”

#

Keesokan harinya, dengan tangan gemetar, ia menandatangani kontrak dengan Pak Jaka. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, namun ia tepis dengan dalih kebutuhan. Renovasi dimulai, namun hasilnya jauh dari harapan. Rak-rak buku yang dipasang ringkih dan mudah goyah, seperti tak punya kekuatan untuk menopang beban ilmu pengetahuan.

Dinding yang baru dicat sudah menunjukkan retakan halus, seperti luka yang menganga dalam waktu seminggu. Cat murah yang digunakan mulai memudar, meninggalkan noda kusam yang merusak keindahan. Murid-murid mulai mengeluh, bisik-bisik ketidakpuasan menyebar di koridor sekolah. Kepala sekolah, Pak Budi, yang biasanya ramah, kini menatapnya dengan pandangan curiga yang menusuk.

Saat audit dilakukan, topeng kepalsuan itu runtuh. Semua kecurangan terbongkar. Bu Mira tak bisa mengelak ketika bukti pembayaran kepada kontraktor ditemukan, termasuk transfer “bonus” yang diterimanya, yang kini terasa seperti uang haram yang membakar tangannya. Wajahnya memerah, rasa malu merayapi sekujur tubuhnya seperti sengatan listrik. Murid-murid yang dulu memandangnya dengan penuh kekaguman, kini menatapnya dengan campuran kekecewaan dan kesedihan. Tatapan mereka seperti belati yang menghujam jantungnya.

“Saya sangat kecewa, Bu Mira,” kata Pak Budi, suaranya dingin dan datar, setiap kata yang diucapkannya seperti palu yang menghancurkan hatinya. “Saya tidak menyangka ini keluar dari mulut dan perbuatan Anda, selama ini saya dan yang lain menganggap Anda guru yang jujur dan baik”

Bu Mira hanya bisa tertunduk. Kata-kata pembelaan seolah tersangkut di tenggorokannya. Ia telah kehilangan segalanya, pekerjaannya, kepercayaan orang-orang, dan rasa hormat dari murid-muridnya. Di titik terendah itu, ia menyadari bahwa kejujuran adalah harga yang tak bisa dibayar dengan uang berapapun, bahkan dengan seluruh kekayaan di dunia.

Namun, di balik kehancurannya yang porak-poranda, Bu Mira merasa ada satu hal yang belum hancur sepenuhnya, yaitu kesempatan untuk menebus kesalahannya. Sekecil apapun itu, ia akan menggenggamnya erat-erat.

Setelah dipecat, ia mengurung diri di rumah selama beberapa hari, hatinya hancur berkeping-keping. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan wajah murid-muridnya yang kecewa, yang terluka oleh pengkhianatannya, menghantui pikirannya, menyiksanya tanpa ampun. Namun, dalam keheningan malam yang panjang dan sunyi, ia menemukan setitik kekuatan, seberkas cahaya kecil untuk bangkit, untuk memperbaiki semuanya.

###

Pada suatu pagi yang dingin, ia memberanikan diri untuk kembali ke sekolah itu, bukan untuk meminta pekerjaan, tapi untuk meminta maaf, untuk menanggung dosa yang telah diperbuatnya. Ia menulis surat panjang yang ditulis dengan air mata kepada seluruh murid, para guru, dan staf sekolah.

Dalam surat itu, ia mengakui kesalahannya secara jujur, tanpa sedikit pun mencoba membela diri. Ia menuangkan seluruh penyesalannya, mengakui betapa ia telah mengecewakan mereka semua. Ia juga menawarkan bantuan kepada sekolah, meskipun kini ia tak lagi menjadi bagian dari mereka.

“Izinkan saya untuk menebus kesalahan ini,” tulisnya, tinta di kertas itu sedikit pudar karena tetesan air matanya. “Saya akan membantu memperbaiki perpustakaan dengan segenap kemampuan saya, tanpa bayaran apa pun, jika sekolah bersedia memberi saya kesempatan kedua.”

Pak Budi, meski masih diliputi amarah dan kekecewaan, tersentuh oleh ketulusan dalam surat itu. Ia mengizinkan Bu Mira membantu, memberinya kesempatan untuk membuktikan penyesalannya. Namun, kali ini Bu Mira tidak bekerja sendiri.

Ia menghubungi komunitas setempat, termasuk orang tua murid dan alumni, mengajak mereka untuk ikut serta dalam memperbaiki perpustakaan, mengubahnya menjadi tempat yang lebih baik. Ia menceritakan kisahnya, berharap bisa menebus kesalahannya dan mencegah orang lain melakukan kesalahan yang sama.

Dengan dana yang terbatas, dikumpulkan dari sumbangan sukarela dan hasil penjualan barang-barang bekas, serta dengan cucuran keringat dan kerja keras yang tak kenal lelah, perlahan-lahan perpustakaan itu mulai bertransformasi. Ruangan yang tadinya suram dan tak terawat itu kini mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Bu Mira bekerja dari pagi hingga malam, sering kali dengan tangan kotor karena cat atau debu, tak peduli dengan rasa lelah yang mendera. Ia menuangkan seluruh tenaganya, seolah ingin menebus setiap detik yang telah ia sia-siakan.

Para murid yang awalnya enggan mendekat, kini mulai memperhatikan ketulusan Bu Mira. Mereka melihat bagaimana mantan guru mereka itu bekerja tanpa pamrih, bagaimana ia berusaha keras untuk memperbaiki kesalahannya. Beberapa dari mereka, yang hatinya tersentuh oleh kegigihan Bu Mira, memberanikan diri untuk menawarkan bantuan, mengangkat rak buku yang berat, atau membersihkan ruang perpustakaan yang berdebu.

Ketika akhirnya perpustakaan selesai direnovasi, ruangan itu jauh lebih indah dan kokoh daripada sebelumnya. Rak-raknya berdiri tegak, kuat dan rapi, siap menampung buku-buku yang akan membawa murid-murid ke dunia pengetahuan yang luas.

Dindingnya dihiasi dengan mural warna-warni, karya seni yang indah buatan murid-murid, setiap goresan kuasnya menceritakan kisah tentang harapan dan kesempatan kedua. Buku-buku tertata rapi, memancarkan aura pengetahuan yang mengundang. Semua orang yang melihatnya terkejut dan kagum, tak menyangka bahwa ruangan yang dulunya menyedihkan itu kini telah berubah menjadi oase ilmu pengetahuan yang begitu mempesona.

Pada hari peresmian, Pak Budi berdiri di depan seluruh murid dan guru. Wajahnya yang tegas kini memancarkan kebanggaan. Ia memanggil Bu Mira ke depan, ke hadapan semua orang yang pernah ia kecewakan.

“Bu Mira telah membuat kesalahan besar, dan kita semua tahu itu,” katanya dengan nada yang tegas namun penuh makna. “Namun, ia juga telah menunjukkan kepada kita semua bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. Yang terpenting adalah keberanian untuk mengakui kesalahan, bertanggung jawab, dan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya.”

Bu Mira, dengan air mata yang mengalir deras membasahi pipinya, berdiri di depan para muridnya, menatap wajah-wajah yang dulu memandangnya dengan penuh hormat. Ia mengambil mikrofon, tangannya sedikit gemetar.

“Anak-anak,” katanya dengan suara bergetar, menahan tangis, “Ibu mungkin telah kehilangan kepercayaan kalian, dan itu adalah hal paling menyakitkan, paling menghancurkan dalam hidup Ibu. Tapi jika ada satu hal yang Ibu ingin kalian ingat, jangan pernah takut untuk mengakui kesalahan kalian. Belajarlah dari kesalahan Ibu. Kejujuran memang mahal harganya, tapi ketidakjujuran bisa menghancurkan segalanya, bisa merenggut semua yang berharga dalam hidup kalian.”

Perpustakaan itu kini menjadi simbol kejujuran, kerja keras, dan kesempatan kedua. Ia menjadi pengingat bahwa setiap orang bisa jatuh, tapi setiap orang juga punya kesempatan untuk bangkit dan memperbaiki diri.

Meskipun Bu Mira tidak pernah kembali menjadi guru di sekolah itu, ia sering diundang untuk berbagi pengalamannya, menjadi pembicara dalam berbagai acara sekolah. Banyak murid yang terinspirasi oleh kisahnya, belajar bahwa meskipun seseorang pernah terpuruk dalam kesalahan, ia selalu punya kesempatan untuk bangkit kembali, untuk menebus kesalahannya dan memperbaiki segalanya.

Dan Bu Mira, meskipun masih menyimpan luka dari masa lalunya, kini hidup dengan tenang, hatinya dipenuhi kedamaian. Ia telah membayar lunas harga sebuah kejujuran, dan menemukan kembali dirinya yang hilang. Ia yakin bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk menebus kesalahannya, dan itu sudah cukup. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Cerpen

Setiap langkahnya meninggalkan jejak perjuangan. Suara kaki palsunya…