
Dalam tafsirnya, Hamka menggambarkan iman sebagai harmoni antara harap dan takut. Ramadan menghadirkan ruang muhasabah—untuk merunduk dalam cemas, sekaligus menengadah penuh harap kepada-Nya.
Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang dan 12 judul lainnya
Tagar.co – Ramadan akan segera berlalu. Kita layak berharap bahwa Allah tidak akan menyalahi janji-Nya: bahwa kaum beriman yang berpuasa akan menjadi insan takwa. Di saat yang sama, kita patut pula merasa cemas atau takut—bahwa kualitas puasa kita tidak mampu mengantar kita ke posisi takwa.
Dalam sehari semalam, kaum beriman minimal membaca Surah Al-Fatihah 17 kali dalam 17 rakaat salat mereka. Jika dicermati, di dalam Al-Fatihah terkandung semangat agar hidup kita senantiasa berada dalam bingkai “harap dan takut”. Mari kita perhatikan.
Baca juga: Danau Maninjau, Hamka, dan Tangis Haru di Tanah Minang
Saat membaca ayat kedua dan ketiga, kita layak berada dalam suasana harap—bahwa limpahan nikmat senantiasa akan datang dari Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Kita baca (terjemahannya): “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Hampir pada saat yang sama, kita juga layak merasa takut atas azab Allah akibat dosa-dosa kita di Hari Pembalasan. Rasa takut itu muncul karena Tuhan kita adalah “Yang Menguasai Hari Pembalasan” (ayat 4).
Dengan demikian, sebenarnya frekuensi jiwa kita untuk tergugah cukup tinggi—minimal 17 kali setiap hari saat membaca Al-Fatihah dalam rakaat-rakaat salat. Tentu, frekuensi itu akan bertambah jika salat wajib kita lengkapi dengan berbagai salat sunah.
Kisah yang Menguatkan
Dari hadis riwayat at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan al-Baihaqi, terdapat riwayat berikut. Rasulullah Saw. pernah menjenguk seorang pemuda yang sedang menghadapi kematian. Terjadilah percakapan:
“Apa yang kamu rasakan saat ini?” tanya Nabi Saw.
“Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh aku mengharapkan rahmat Allah dan aku takut akan siksaan-Nya akibat dosa-dosaku,” jawab pemuda itu.
“Tidaklah terkumpul dua sifat ini (berharap dan takut) dalam hati seorang hamba dalam kondisi seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan menyelamatkannya dari apa yang ditakutkannya,” sabda Rasulullah Saw.
Dari riwayat tersebut, kita belajar bahwa sikap berharap dan takut kepada Allah secara seimbang adalah akhlak yang sangat mulia jika dimiliki oleh seorang hamba. Hal ini juga menunjukkan pentingnya berprasangka baik kepada Allah. Terlebih lagi, sikap ini sangat dianjurkan saat seseorang sedang sakit atau menjelang wafat.
Ada pijakan kuat dari sabda Nabi Saw. lainnya: “Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan dia berprasangka baik kepada Allah” (HR Muslim).
Teladan dari Nabi Zakaria
Perhatikan ayat ini: “Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris yang Paling Baik.’” (Al-Anbiya’ 89)
Ayat di atas adalah doa Nabi Zakaria As. yang sampai usia lanjut belum dikaruniai anak, sementara istrinya mandul. Tampak di situ, Zakaria As. merasakan ketakutan karena tidak memiliki pewaris perjuangannya, sekaligus menunjukkan pengharapan yang besar kepada Allah.
Dalam logika manusia, peluang untuk memiliki anak tampak mustahil. Tapi satu jalan masih terbuka: berdoa. Zakaria As. pun berseru kepada Allah, memohon dengan sepenuh hati. Di situlah tampak hadirnya “takut dan harap”.
Menurut Hamka, pada ujung ayat 89 Surah Al-Anbiya’ itu tersimpan pelajaran yang mendalam—pelajaran tentang iman dari Nabi Zakaria As., tentu untuk dijadikan teladan (Tafsir Al-Azhar, 2003: 4633).
Sekarang perhatikan ayat berikutnya: “Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Al-Anbiya’ 90)
Saksikanlah! Doa Zakaria As. diperkenankan oleh Allah. Sang nabi dikaruniai seorang putra, yakni Yahya.
Keluarga itu—Zakaria As., istrinya, dan Yahya—dipuji oleh Allah sebagai orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan. Zakaria As. sebagai ayah berbuat baik, istrinya tak mau ketinggalan, dan Yahya pun meneladani keduanya (Tafsir Al-Azhar, Hamka, 2003: 4635).
Mari kita ulang sebagian dari ayat 90: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.”
Dengan meneladani Zakaria As., besar harapan kita untuk wafat dalam keadaan beriman—berharap masuk surga dan, pada saat yang sama, takut terhadap azab Allah akibat dosa-dosa kita.
Muhasabah, Terus!
Sikap untuk senantiasa hidup dalam bingkai “harap dan takut” hanya mungkin terwujud jika kita menjadikan muhasabah (introspeksi) sebagai bagian dari keseharian. Bahkan, bukan sekadar sering, tetapi kalau bisa, senantiasa. Sebab muhasabah akan melahirkan kesadaran akan pentingnya harap dan takut dalam hidup beragama.
Terutama di penghujung Ramadan kali ini, mari kita perbanyak muhasabah. Dengan penuh harap dan takut, kita perbaiki puasa kita—karena kita takut jika puasanya tidak sesuai dengan sunah Nabi Muhammad Saw. Jika itu sudah kita lakukan, kita layak berharap “lulus” dari Sekolah Ramadan. Lalu, ketika 1 Syawal tiba, kita berharap “diwisuda” oleh Allah sebagai insan takwa.
Maka, hidup di antara “harap dan takut” adalah keniscayaan. Dari Nabi Zakaria As. kita belajar bahwa “harap dan takut” tumbuh dari iman, dan telah beliau praktikkan dengan indah. Karena itu, jadikanlah Zakaria As. sebagai sang teladan, sebagaimana disarankan oleh Hamka. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni