Cerbung

Hantom Manoe: Darah di Tapal Batas

187
×

Hantom Manoe: Darah di Tapal Batas

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Dua kekuatan besar bersiap di tapal batas. Hantom Manoe memimpin barisan Aceh, Gajah Mada mendekat dari timur. Perang tak terelakkan—dan tanah akan basah oleh darah.

Hantom Manoe (Seri 2): Darah di Tapal Batas; Cerbung oleh Dwi Taufan Hidayat

Tagar.co – Dari barat, bala tentara Aceh bergerak menuju Benua Tamiang. Di bawah panji kebesaran Kesultanan Aceh, tujuh panglima sakti berjalan gagah di garis depan. Hantom Manoe berada di tengah, sorot matanya tajam menembus cakrawala. Ia menghirup udara dengan tenang, merasakan angin yang berhembus membawa pertanda perang.

Di belakangnya, ribuan prajurit dengan tombak, pedang, dan busur siap menghadapi musuh. Barisan pasukan berkuda berderap pelan, sementara gendang perang dipukul bertalu-talu, menandakan kesiapan mereka.

Baca Seri 1: Bara di Benua Tamiang

Sesampainya di perbatasan, Raja Muda Sedia telah berdiri menanti dengan pasukannya. Di sampingnya, Teuku Gantar Alam memberi hormat kepada Hantom Manoe.

“Bala bantuan dari Aceh telah tiba,” kata Hantom Manoe mantap.

Raja Muda Sedia mengangguk penuh rasa hormat. “Kesultanan Aceh selalu menjadi pelindung kami. Aku berterima kasih.”

Baca Juga:  Keistimewaan Telaga Alkausar dan Mereka yang Terusir

Hantom Manoe menatap ke depan, ke arah bentangan tanah yang membatasi Benua Tamiang dan jalur darat menuju Majapahit. “Berapa lama sebelum pasukan Majapahit tiba?”

“Tak lebih dari dua hari,” jawab Teuku Gantar Alam. “Mata-mata kita melaporkan mereka sudah bergerak dalam jumlah besar.”

Hantom Manoe tersenyum tipis. “Bagus. Kita akan menyambut mereka.”

Dari Timur, Majapahit Bergerak

Sementara itu, di sisi timur, pasukan Majapahit bergerak mendekati Benua Tamiang. Di barisan depan, Gajah Mada menunggang kuda hitamnya, wajahnya tanpa ekspresi. Di belakangnya, ribuan prajurit dengan panji-panji Majapahit melangkah mantap.

Di sisi Gajah Mada, Rakryan Tumenggung Anggabrata berbisik, “Pasukan Aceh telah tiba lebih dulu.”

Gajah Mada tersenyum miring. “Itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan membakar negeri ini jika perlu.”

Di belakangnya, pasukan Majapahit sudah bersiap. Mereka membawa kereta perang, meriam, dan peralatan pengepungan. Majapahit tidak datang untuk bernegosiasi. Mereka datang untuk menundukkan.

Bersiap Menghadapi Badai

Di Benua Tamiang, malam tiba dengan keheningan yang menegangkan. Para prajurit mengasah senjata mereka, sementara para panglima berkumpul di balai utama.

Baca Juga:  Rakorwil LP UMKM PWM Jateng: Membangun Ekosistem Bisnis dari Akar Rumput

Hantom Manoe berdiri tegak, tubuhnya kokoh bagaikan batu karang. “Pasukan Majapahit lebih besar, lebih lengkap persenjataannya,” katanya. “Tapi mereka tidak mengenal tanah ini seperti kita.”

Seorang panglima lain, Teuku Cindaku, menyeringai. “Benar. Kita akan membuat mereka menyesal datang ke sini.”

Raja Muda Sedia menatap peta yang terbentang di hadapan mereka. “Aku ingin tahu strategi kita.”

Hantom Manoe menunjuk ke beberapa titik di peta. “Kita biarkan mereka masuk lebih dalam. Begitu mereka kelelahan, kita serang dari tiga sisi.”

Para panglima mengangguk. Mereka tahu bahwa peperangan ini tidak hanya akan ditentukan oleh jumlah prajurit, tetapi juga oleh strategi dan ketangguhan jiwa.

Malam itu, langit dipenuhi bintang. Esok hari, tanah akan dipenuhi darah. (#)

Bersambung pada seri ke-3: Benturan Dua Kekuasaan

Penyunting Mohammad Nurfatoni