Cerpen

Hafalan Terakhir untuk Ayah

276
×

Hafalan Terakhir untuk Ayah

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Seorang bocah menghafal ayat suci dengan semangat, sementara ayahnya yang lemah mendengarkan dengan haru. Hafalan terakhir itu menjadi hadiah perpisahan yang menggetarkan hati. Sebuah kisah tentang cinta dan keikhlasan.

Hafalan Terakhir untuk Ayah; Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik, Jawa Timur.

Tagar.co – Angin sore berembus lembut, membawa aroma tanah yang baru saja disiram hujan. Ranting-ranting jambu di halaman rumah bergoyang perlahan, sementara beberapa buah matang bergelantungan, menunggu untuk dipetik.

Di antara keheningan itu, kicauan burung pipit terdengar riang, mengiringi suara lirih seorang anak kecil di teras rumah. Matanya fokus pada sebuah buku kecil yang ia pegang erat, bibirnya komat-kamit melafalkan ayat-ayat suci dengan penuh konsentrasi. Setiap kata diucapkan hati-hati, seolah ia ingin memastikan semuanya tersimpan baik dalam ingatan.

Cerpen Nurkhan lainnya: Sosok Misterius di Sudut Kelas

Hanan, bocah kelas satu madrasah, duduk bersila di lantai tanah rumahnya yang sederhana. Cahaya matahari sore mengintip dari celah dinding bambu, menerangi wajahnya yang penuh semangat. Dengan mata berbinar dan suara riang, ia berseru, “Aku hampir hafal, Yah!”

Baca Juga:  Cahaya Ramadan di Ujung Jalan

Di atas dipan kayu yang mulai reyot, Pak Salim terbaring lemah. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, namun senyum tipis masih menghiasi bibirnya. Ia menatap putranya penuh kasih, matanya menyiratkan kebanggaan meski tubuhnya tak lagi sekuat dulu.

“Masyaallah, Nak…” suaranya lirih namun hangat. “Coba Ayah dengar hafalanmu.”

Hanan mengangguk cepat, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai melantunkan ayat-ayat suci dengan penuh penghayatan. Suaranya memenuhi ruangan kecil itu, seolah membawa kesejukan di tengah keprihatinan.

Pak Salim memejamkan mata sejenak, menikmati lantunan hafalan anaknya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa diukur dengan harta.

Namun, di pertengahan ayat, Hanan tiba-tiba terhenti. Ia melihat air mata menetes di sudut mata ayahnya.

“Yah… Ayah menangis?” tanyanya pelan.

Pak Salim mengangguk lemah. “Ayah bahagia, Nak… Mendengar suaramu menghafal Al-Qur’an adalah kebahagiaan terbesar Ayah.”

Hanan menggenggam tangan ayahnya erat-erat. “Kalau begitu, aku akan terus menghafal, Yah! Biar Ayah selalu bahagia.”

Pak Salim tersenyum lagi, tapi kali ini lebih lemah. Tatapannya semakin redup. “Jangan pernah berhenti, Nak… Jadikan hafalanmu sebagai hadiah untuk Ayah…” suaranya makin lirih, matanya terpejam pelan.

Baca Juga:  Rahasia di Balik Ayat

“Ayah?” panggil Hanan. Tidak ada jawaban.

Hanan mengguncang tangan ayahnya dengan panik. “Ayah! Aku belum selesai menghafal!” Air matanya jatuh satu per satu.

Ibunya datang tergesa, wajahnya penuh duka yang tertahan. Begitu melihat suaminya, ia menutup mulut, menahan isak yang hampir pecah. Hanan segera berlari ke pelukan ibunya.

Suara ibunya bergetar saat berbisik di telinganya, “Ayahmu sudah tenang, Nak… Doakan beliau dengan hafalanmu.”

Hanan menggigit bibirnya, berusaha menahan gelombang emosi yang meluap. Dengan mata berkabut, ia menatap wajah ayahnya yang kini damai, tanpa rasa sakit, tanpa beban dunia.

Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam. Meski suaranya bergetar, ia membuka mulut dan mulai melantunkan ayat-ayat yang selama ini ia hafalkan. Setiap kata terasa lebih berat dari biasanya, tetapi ia terus melafalkannya, mengirimkan doa terakhir untuk sosok yang telah menjadi pelita dalam hidupnya.

Sore itu, ayat-ayat suci yang meluncur dari bibir seorang anak kecil menjadi pengantar kepergian seorang ayah yang penuh cinta. Dan sejak hari itu, Hanan berjanji tidak akan berhenti menghafal, karena itu adalah hadiah terakhirnya untuk sang ayah. (#)

Baca Juga:  Bikin Bangga! Siswa MIM 2 Campurejo Lolos ke Semifinal KMNR 2025

Penyunting Mohammad Nurfatoni