
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir meminta agar rencana kenaikan PPN 12 persen dikaji ulang. Pandangan itu sesuai dengan kapasitasnya sebagai Guru Besar Ilmu Sosiologi.
Opini oleh Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik
Tagar.co – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Profesor Haedar Nashir, turut memberikan pandangannya terkait rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Dalam pernyataannya kepada media, setelah menghadiri rapat terbuka peringatan Lustrum XV dan Dies Natalis Ke-75 Universitas Gadjah Mada (UGM), Haedar Nashir menyerukan agar rencana kenaikan PPN ini dikaji ulang, dikutip dari Kompas (19/12/2024).
“Mungkin perlu betul-betul dikaji ulang, ya. Sehingga kebijakan pajak itu juga memperhatikan aspek keadilan sosial,” tegasnya, menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek keadilan sosial dalam setiap kebijakan perpajakan.
Pandangan Hadera Nashir agar PPN 12 persen dikaji ulang tentu sesuai dengan kapasitasnya sebagai Guru Besar Ilmu Sosiologi. Dia pasti memikirkan dampak sosial kenaikan PPN menjadi 12 persen
Suara Haedar Nashir, tampaknya menjadi satu-satunya suara tokoh agama yang secara kritis menyoroti rencana kenaikan PPN ini. Di tengah perdebatan yang didominasi oleh politisi, praktisi, akademisi, dan aktivis, pandangan beliau bagaikan oase yang menyegarkan.
Seringkali, suara tokoh agama dalam ranah politik, atau lebih tepatnya ekonomi politik, dianggap “fals” atau kurang tepat. Umumnya, para tokoh agama lebih banyak berbicara tentang kehidupan akhirat, adab, akhlak, ibadah, dan topik-topik sejenis yang dianggap lebih “indah” didengar.
Ketika tokoh agama berbicara tentang ekonomi atau politik, tak jarang mereka dicap ‘off-side’ oleh kelompok yang merasa bahwa ekonomi dan politik adalah wilayah eksklusif para profesional dan intelektual.
Padahal, kehadiran ulama atau tokoh agama dalam diskursus ekonomi dan politik sangatlah diharapkan. Mereka dapat menjadi furqan (pembeda) di tengah keragaman pendapat yang seringkali berbasis pada angka dan logika semata.
Tokoh agama membawa perspektif kualitatif, menyentuh nurani para pembuat kebijakan agar lebih mengedepankan hati nurani dalam membuat keputusan yang berdampak pada masyarakat luas.
Dalam isu perpajakan, salah satu pendapat ulama yang sering dikutip adalah pemikiran Ibnu Khaldun.
Lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H/27 Mei 1332 M, Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang telah hafal Al-Qur’an sejak usia dini.
Menurut Ibnu Khaldun, tarif pajak yang rendah akan mendorong pergerakan ekonomi yang baik, stabilitas sosial politik, dan pada akhirnya memperkuat negara.
Jauh sebelum Ibnu Khaldun, seorang ulama dari Kufah bernama Abu Yusuf (Ya’qub ibn Ibrahim Sa’ad ibn Husein al-Anshori, 113-182 H) telah memperkenalkan konsep perpajakan melalui karyanya yang berjudul Al-Kharaj.
Kitab ini membahas ekonomi publik, dengan fokus pada perpajakan dan peran negara dalam pembangunan. Abu Yusuf sangat menjunjung tinggi nilai keadilan, kewajaran, kesesuaian dengan kemampuan wajib pajak, serta akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Baginya, negara memiliki peran penting dalam menyediakan fasilitas publik yang dibutuhkan rakyat.
Abu Yusuf memaparkan beberapa jenis pajak yang dipungut pada masanya, antara lain:
- Fai: Harta yang diperoleh umat Islam tanpa melalui pertempuran. Seperlima dari harta fai diberikan kepada yang berhak. Harta fa’i meliputi kharaj, jizah, usyur, atau harta perdamaian. Fai merupakan sumber dana umum untuk Rasul, pemerintah, dan pihak yang bertugas mewujudkan kemaslahatan umat Islam.
- Kharaj: Secara bahasa, kharaj berarti sewa atau hasil. Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa setelah perang diumumkan, dianggap sebagai tanah kharajiah. Jika mereka memeluk Islam setelah penaklukan, status tanah mereka tetap kharajiah. Kharaj adalah hak atas tanah yang dirampas dari kaum kafir, baik melalui perang maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik muslim dan mereka mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya.
- Usyur: Pajak yang dikenakan atas barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar Siddiq RA. Penerapan usyur dimulai pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab, dilandasi semangat keadilan. Usyur juga diambil dari pedagang Muslim jika mereka berdagang di daerah lawan. Sebagai bentuk timbal balik, Umar bin Khattab memutuskan untuk menerapkan perlakuan yang sama pada pedagang non-Muslim yang masuk ke negara Islam. Dalam penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya, cara ini lebih adil, memberikan hasil produksi yang lebih besar, dan memudahkan perluasan tanah garapan.
Dari kalangan Nasrani, kita mengenal Luca Pacioli, seorang matematikawan, pendidik, dan biarawan Fransiskan dari Italia.
Pacioli menjadi biarawan Fransiskan Minorit pada tahun 1487 dan sempat mengajar di Perugia hingga 1491. Ia diakui sebagai Bapak Akuntansi Dunia karena mempopulerkan sistem pembukuan berpasangan dalam bukunya yang berjudul Summa de Aritmatica, Geometrica Proortioni et Propotionallia.
Isi buku inilah yang menjadi cikal bakal ilmu akuntansi. Ilmu akuntansi merupakan bahasa “pemersatu” bagi para praktisi, pelaku, hingga analis bisnis, keuangan, dan perpajakan. Mustahil menjalankan praktik bisnis, investasi, perdagangan, dan perpajakan tanpa ilmu akuntansi.
Meskipun praktik-praktik tersebut bisa saja mengabaikan ilmu akuntansi, namun dapat dipastikan tata kelola keuangan organisasi tersebut tidak akan transparan.
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa pemikiran para tokoh agama dalam bidang ekonomi, politik, dan keuangan tidak bisa dianggap remeh. Sumbangsih para tokoh agama yang juga ilmuwan, mulai dari Abu Yusuf, Ibnu Khaldun, Luca Pacioli, hingga Haedar Nashir, layak untuk dipertimbangkan oleh para penguasa dan pengambil kebijakan ekonomi politik. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni