Apa perbedaan hadis dengan sunah? Bagaimana proses sampainya hadis kepada para penulis dan penyeleksi hadis?
Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).
Tagar.co – Hadis artinya sesuatu yang baru atau suatu berita. Kata hadis didapati tidak kurang dari 23 kali dalam Al-Qur’an, beberapa di antaranya: An-Nisa’/4:140, Al-An’am/6:68, dan Al-A’raf/7:185.
Semua penggunaan kata hadits dalam Al-Qur’an cenderung kepada makna suatu berita. Adapun secara istilah hadis adalah berita yang datang dari Rasulullah Saw mengenai ucapannya (kaul), perbuatannya (fi’li), atau perbuatan/perkataan sahabat berkaitan dengan masalah agama yang disetujui atau dibenarkan oleh Rasulullah Saw (takrir).
Sebagian ulama menyamakan antara sunah dengan hadis. Sebagian yang lain membedakannya. Yang membedakan sunah dengan hadis mengatakan bahwa hadis khusus tentang sunah kauliah (perkataan Nabi), sedangkan sunah meliputi sunah fi’liah (perbuatan Nabi) dan takririah (perkataan/perbuatan sahabat yang disetujui atau dibenarkan oleh Nabi).
Dengan demikian pengertian sunah lebih luas dari pada hadis—hadis merupakan bagian dari sunah.
Baca juga: Syariat Universal
Proses penyampaian dan penerimaan hadis sehingga sampai kepada mukharij (orang yang mencatat dan menyeleksi hadis-hadis Nabi) adalah sebagai berikut: pertama; sahabat mendengar atau melihat ucapan, perbuatan, takrir Nabi Saw.
Sahabat adalah orang Islam yang hidup sezaman dengan Rasulullah Saw serta bertemu dan bergaul dengannya, baik lama atau sebentar.
Kedua, tabiun hadis dari sahabat. Tabiun adalah orang Islam yang hidup tidak sezaman dengan Rasulullah Saw tetapi sezaman dengan para sahabat.
Ketiga; atba’al tabiin menerima hadis dari tabiin. Atba’al tabiin adalah orang yang tidak sezaman dengan sahabat tetapi sezaman dengan Tabi’in. Begitulah seterusnya periwayatan hadis hingga sampai kepada mukharij seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi dan lain-lain.
Masing-masing orang yang meriwayatkan hadis disebut dengan rawi atau rijal isnad, dan deretan rawi-rawi tersebut (dari sahabat sampai kepada mukharij) disebut sanad. Sedang materi atau teks hadisnya disebut dengan matan.
Kedudukan Hadis
Hadis mempunyai peran yang sangat penting di samping Al-Qur’an. Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-8. “…dan apa yang diberikan rasul kepadamu maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat keras siksanya.” (Al-Hasyr/59:7).
Diberitakan bahwa Rasulullah Saw mengutus Mu’adz ke Yaman dan bertanya: “Bagaimana cara engkau memutuskan perkara?”
Mu’adz menjawab: “Aku memutuskan perkara dengan apa yang tersebut dalam kitab Allah.”
Rasulullah Saw bertanya: “Jika dalam Kitab Allah tidak engkau temui?”
Mu’adz menjawab: “Maka aku memutuskan perkara dengan sunah Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi: “Jika engkau tidak mendapatkan dalam sunah Rasulullah?”
Mu’adz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pikiranku.”
Maka Rasulullah Saw bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah.” (Khazanah Istilah Al-Quran, Rachmat Taufiq Hidyat, Mizan).
Baca juga: Ummi, Benarkah Nabi Muhammad Tidak Bisa Baca Tulis?
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam memuat ayat-ayat yang masih bersifat global, sehingga membutuhkan penjelasan untuk mengamalkannya. Jika tidak ada penjelasan berarti tidak mungkin mengamalkannya.
Ada perintah salat, zakat, haji, puasa, dan semacamnya dalam Al-Qur’an, yang semua ini tidak dapat dilaksanakan tanpa mendapat penjelasan atau contoh dari Rasulullah Saw.
Memang tugas kerasulan Muhammad Saw untuk menyampaikan ayat-ayat Allah dan menjelaskannya. “… Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menjelaskan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan?” (An-Nahl/16:44).
Di era globalisasi ini umat Islam akan selamat, tidak tersesat, jika mereka berpegang kepada Kitab Allah dan sunah Rasul (Al-Hadis). Sekarang masih banyak upaya-upaya untuk memisahkan Al-Qur’an dengan Al-Hadis, dan pelakunya bisa melakukan secara samar dengan berkedok Islam maupun secara terang-terangan.
Namun kesadaran umat Islam bahwa tanpa hadis akan menemui kesulitan (atau lebih tepat tidak mungkin) untuk mengamalkan Al-Qur’an secara utuh, merupakan tameng yang cukup ampuh agar selamat dari segala upaya pemisahan itu. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni