Flek hitam itu membuatnya gagal menjadi Tuan Putri. Status sosial baru yang ingin dinikmati setelah menjadi orang kaya baru.
Cerpen oleh Bekti Sawiji
Tagar.co – ”Kali ini kalian jangan memanggil saya Mama lagi. Panggil Mami saja ya,” begitu kata Marlince kepada dua anaknya yang masih kecil.
Anak-anak itu tidak mengerti apa maksud orang tuanya demikian. Dalam insiden ini, Rojat hanya geleng-geleng kepala melihat sikap istrinya.
Ini sudah kedua kalinya Lince minta nama panggilannya diubah. Dulu bocil-bocil itu memanggil ibunya dengan sebutan Bunda sebelum akhirnya harus ganti Mama. Mereka juga tidak tahu, kelak orang tuanya ingin dipanggil apa.
Sebelum insiden itu, Lince baru saja pulang membeli sate di depot favoritnya, sate termahal di kota.
Saat memesan sate, seorang perempuan muda berdiri di sebelahnya juga memesan sate. Diam-diam Lince memperhatikan perempuan muda itu dengan seksama.
Baca Juga Ikhlas di Tepian Harapan
Dari segi tampang, perempuan itu tampak biasa. Tidak jelek, tetapi jauh juga dari cantik. Pakaiannya pun terkesan sederhana. Sulit untuk mengatakan perempuan ini adalah orang yang kaya.
Yang mengagetkan Lince adalah cara anak yang ada di gendongannya itu memanggilnya. ”Mama, Adik mau pulang!” kata si bocah kepada ibunya itu.
Mendengar itu batin Lince menjerit. ”Mama kata dia?”
Sontak bergemuruh isi dada Lince. Setelah membayar satenya, dia bergegas memasuki mobil yang diparkir tak jauh dari depot sate itu. Dia membanting pintu mobil Kijang tahun 2000 itu dan duduk di belakang kemudi dengan kesal.
”Orang kumal dan miskin seperti dia dipanggil Mama? Ih, jijik,” serunya.
”Pokoknya aku tidak mau dipanggil Mama dan membeli sate di situ lagi,” katanya sambil kakinya menginjak pedal gas menuju ke rumah.
Baca Juga Pemuja Komunis
Bagi Lince, orang-orang seperti perempuan di depot sate itu bukan level dia. Oleh karena itu, Lince berusaha meninggikan dirinya dengan membuat perbedaan dengan perempuan itu. Lince tidak rela dan tidak sudi lagi dipanggil Mama oleh anak-anaknya.
***
Peristiwa di depot sate itu benar-benar menyiksa Lince. Hatinya merasa sakit mendapati bahwa masih ada orang yang berusaha menyamai dirinya, meskipun orang tersebut levelnya jauh di bawahnya.
Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Cukup lama bagi Lince menunggu fajar pagi menyibak hempaskan malam yang kejam.
Keberadaan Rojat di ranjangnya tak mampu membantu suasana hatinya. Kesal, Lince memiringkan tubuhnya ke kanan untuk membelakangi Rojat yang lebih dulu membelakangi dia. Praktis, mereka beradu punggung.
Dilanda kantuk akibat sulit tidur semalaman, Lince agak malas bangun. Lince yang baru saja mampu membeli mobil Kijang itu juga menggaji pembantu di rumahnya.
Dia sudah mulai menikmati hidup nyaman, tak seperti dulu lagi, apa-apa dikerjakan sendiri.
Pagi itu Narti, pembantu Lince, datang lebih awal karena Bobi, anak Lince yang pertama, masuk sekolah lebih pagi. Jadi, mandi dan sarapan Bobi harus lebih pagi lagi. Semua beres dikerjakan oleh Narti. Sementara Noni, adik Bobi, masih tidur karena dia belum sekolah.
”Yuk, kamu ke warung Mbak Ulfa ya,” kata Lince. Dia sengaja memanggilnya Yuk Narti dibanding Mbak Narti. Pada sangkanya, preferensi Lince memanggil pembantunya dengan sebutan Yuk itu akan meninggikan dirinya beberapa derajat di atas Narti.
Baca Juga Hidung Wakil Rakyat
”Kita masak apa hari ini, Bu,” tanya Narti.
”Eh, Yuk. Mulai sekarang panggil aku Tuan Putri,” seru Lince.
Narti kaget dengan jawaban ini. Lebih tepatnya dia bingung memikirkan majikan barunya ini. Dia mengira majikannya ini sudah agak stres.
”Baik Tuan Putri, kita belanja apa di Mbak Ulfa?” tanya Narti.
Di dalam kantuknya Lince tersenyum lebar. ”Bagus Yuk. Kamu sekarang beli seperempat ikan asin yang tipis-tipis itu ya. Jangan lupa beli santan. Lihat di dapur, kalau terasi habis, beli juga. Uangnya di atas kulkas,” perintah Lince.
Dalam hati Narti menggerutu. ”Tuan Putri makan ikan asin tipis-tipis? Bukannya kalau Tuan Putri makan daging super, atau minimal ayam,” gerutunya dalam hati. Narti tidak bisa menyembunyikan kegelian hatinya atas perilaku majikannya ini.
***
”Pipi…!”, teriak Lince memanggil Rojat. Sejak dirinya minta dipanggil Mami, kini dia memanggil suaminya dengan sebutan baru lagi yaitu Pipi.
Sedikit naik kelas, juga terasa muda kembali. Rojat sendiri tidak ambil pusing dengan sebutan untuk dirinya. Dia fokus bekerja keras daripada ribut soal panggilan.
Sebagai pengepul rongsokan dan besi tua yang mulai melambung, Rojat semakin semangat bekerja. Bukan untuk dipuji sang istri, tetapi ingin cepat melunasi utang-utangnya.
Mobil Kijang seharga 55 juta rupiah itu dibeli dari temannya. Baru dibayar 40 juta. Uang itu berasal dari sumbangan mertuanya 15 juta, tabungannya 10 juta, dan penjualan sejengkal tanah warisan dari ibunya 15 juta.
Baca Juga Perginya sang Muazin
Rojat masih utang 15 juta dengan tempo tiga bulan.
”Pipi…!!” teriak Lince. Kali ini lebih keras dari yang tadi.
”Iya Mii…” jawab Rojat malas.
”Pi… Mami mau ke rumah Ester ya, tolong mobil dikeluarkan ya,” pinta Lince ramah, lebih dekat ke manja sebetulnya.
Meskipun bukan bucin, Rojat tetap sayang sama istrinya yang mulai aneh ini. Dia lebih memilih diam daripada meributkan hal-hal yang sepele dengan Lince.
Segera dikeluarkan Kijang itu dan diparkirkan di pinggir jalan di depan rumahnya. Selain baru bisa menyetir mobil, kondisi teras dan halaman rumah Lince yang penuh dengan barang rongsokan membuat Lince masih kesulitan mengeluarkan sendiri mobilnya.
Lince keluar rumah sambil berpamitan kepada suaminya. Bau wangi tubuhnya semerbak memanjakan setiap lubang hidung yang menghirupnya.
Sayang wangi parfumnya belum bisa mengalahkan bau barang rongsokan seperti kertas, kardus, botol plastik, gelas plastik, besi, kawat, dan beraneka rongsokan lainnya.
Kini setiap keluar rumah, meskipun tidak terlalu jauh, Lince berdandan pol-polan. Dia menghias wajahnya dengan make-up yang rame setelah pakai foundation dan bedak.
Lince tampak lebih putih daripada beberapa waktu lalu, waktu usaha jual beli besi tuanya belum semaju sekarang.
Kini dia rajin perawatan wajah. Rojat tidak keberatan karena meskipun lumayan mahal, masih dapat menjangkau harganya.
Baca Juga Membunuh si Sembilan Nyawa
***
Di rumah Ester, Lince dipersilakan masuk. Ester, sahabat baru Lince ini menyodorkan satu set bedak kosmetik. Rupanya itu paket perawatan wajah. Ester menunjukkan facial wash, toner, serum, night cream, day cream, dan sunblock.
Satu persatu item itu disebutkan namanya dan dijelaskan manfaat serta cara penggunaannya. Tak lupa, dia juga menyebutkan harganya. Lince tertarik dengan bujuk rayu sahabat barunya ini dan sangat berhasrat memiliki barang-barang itu.
Namun begitu Lince masih ingat suaminya yang bekerja untuk mendapatkan uang. Lince ingin meminta izin, atau lebih tepatnya memberi tahu Rojat perihal kosmetik yang akan dibelinya ini.
”Lihat dulu BPOM-nya,” kata Rojat di ujung telepon. BPOM adalah Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan.
”Tidak ada sih, tapi terbukti loh, Pi. Banyak yang menggunakan bedak ini, dan mereka menjadi putih dan glowing,” ujar Lince meyakinkan suaminya.
”Mi, kalau kita tidak tahu zat yang terkandung dalam bahan kosmetik itu, bahaya kan?” Rojat berusaha menerangkan. ”Lihat Rina, dia pakai yang ada BPOM, bagus kok. Yang lebih penting aman.”
Disebut nama Rina, Lince mulai naik darah. Rina adalah keluarga muda yang juga mulai berkembang perekonomiannya. Tapi keluarga Rina belum memiliki mobil. Maka Lince tidak ingin membeli barang seperti yang dimiliki oleh Rina. Padahal Rina sahabat Lince. Dia ingin berbeda dengan Rina, atau dengan siapapun yang derajatnya di bawahnya.
”Ayolah, Pi, masak tidak percaya pada Ester. Buktinya sudah banyak yang berhasil dan tidak ada efek samping apapun.”
”Baiklah, yang penting saya sudah memperingatkan!” kata Rojat sambil menutup teleponnya.
Lince senang. Akhirnya membeli produk perawatan wajah itu. Beberapa pekan setelah pemakaian produk itu, Lince tampak lebih cantik, putih, dan glowing.
***
Beberapa waktu kemudian, Lince tertegun melihat wajahnya di cermin. Dia melihat ada bintik-bintik hitam di kedua pipinya, tetapi samar.
”Ah. Ini hanya bintik kecil,” gumamnya sambil melangkah ke kamar mandi.
Sejak itu Lince semakin sering becermin. Dia merasakan bintik-bintik itu sudah berubah menjadi flek hitam. Lama-lama flek itu meluas dan menjadi- jadi.
Dia mengeluhkan hal itu kepada Rojat. Dia juga sering meminta Rojat menilai pipinya itu. ”Pi, gimana pipi saya, apa kelihatan lebih hitam ya?” tanyanya suatu ketika.
Hari-hari dijalani Lince dengan galau. Betapa tidak, meskipun dia menghentikan pemakaian produk perawatan wajahnya yang dibeli dari Ester, hitam-hitam di pipinya bukannya menghilang, malah makin banyak.
Ester tidak bisa bertanggung jawab atas flek itu. Akhirnya Lince berusaha sendiri mencari cara untuk menutupi flek hitam itu dengan berbagai macam bedak.
Dengan bedak, flek hitam itu terlihat samar. Apalagi kalau bedaknya diaplikasikan lebih tebal. Tetapi itu bukan menyembuhkan, hanya menutupi. Di kala malam, saat wajahnya dibersihkan, semakin kelihatan flek hitam itu.
***
Dalam beberapa bulan, flek hitam itu tidak bisa lagi dibendung. Semakin melebar. Wajah Lince bagaikan ditempeli lakban hitam.
Kandungan merkuri telah merusak sel-sel kulit wajahnya. Pipinya bagaikan terbakar. Alih-alih terlihat cantik, kini Lince tampak seperti monster hitam yang menakutkan. Wajahnya lebih cantik dan mulus saat dia belum sekaya sekarang.
Dalam kondisi galau itu Lince mendapatkan informasi menggembirakan dari temannya. Temannya berhasil keluar dari derita yang sama melalui perawatan dokter kecantikan.
Lince langsung menyambar berita ini dengan segera mendatangi dokter kecantikan di kota. Tidak peduli biaya perawatannya. Terpenting dia bisa sembuh. Flek hitam di pipinya bisa hilang.
”Dok, apakah flek hitam saya ini bisa segera hilang?”
Dokter itu menjawab,”Flek ini kemungkinan bisa hilang. Tetapi tidak bisa cepat. Jika rutin datang ke sini setiap pekan, Ibu baru bisa merasakan hasilnya dua tahun lagi!”
”Dua tahun, Dok?” seru Lince. Suaranya bergetar.
Di kursi pemeriksaan, tubuh Marlince seketika terasa lemas. Seperti kehilangan seluruh kekuatannya. Air mata mengalir dari sudut matanya. Mencerminkan kepedihan dan penyesalan yang mendalam.
Lumajang, 29 Juli 2024
Penyunting Sugeng Purwanto