Film

Film Inside Out 2 Ajak Penonton Rasakan Ledakan Emosi Remaja

×

Film Inside Out 2 Ajak Penonton Rasakan Ledakan Emosi Remaja

Sebarkan artikel ini
Film Inside Out 2 Ajak Penonton Rasakan Ledakan Emosi Remaja; Resensi film oleh Sayyidah Nuriyah, Konselor Lulusan Program Studi Psikologi Universitas Airlangga
Embarassement menangkap kelima karakter emosi dasar atas perintah Anxiety. (Pixar)

Film Inside Out 2 Ajak Penonton Rasakan Ledakan Emosi Remaja; Resensi film oleh Sayyidah Nuriyah, Konselor Lulusan Program Studi Psikologi Universitas Airlangga

Tagar.co – Belajar memahami cara mengelola emosi bisa dari mana saja dan di mana saja. Kabar baiknya, Disney dan Pixar Animation Studios menghadirkan film Inside Out 2. Di bioskop Indonesia, film berdurasi 1 jam 46 menit ini mulai tayang sejak 14 Juni 2024.

Film ini bisa membantu remaja memahami dinamika ledakan emosi yang kompleks saat memasuki masa pubertas. Untuk dewasa yang bergelut dengan pengelolaan emosi, terutama kecemasan, sekuel Inside Out (debut pada 2015) tersebut sangat relevan. Apalagi bagi orangtua yang pusing menghadapi fase pubertas anaknya. Cara orangtua Riley Andersen mengelola emosi bisa jadi penerang.

Di tangan dingin Sutradara Kelsey Mann, film animasi yang termasuk kategori petualangan dan keluarga ini mengisahkannya dengan penuh emosional. Mulai dari bagaimana kepekaan Riley remaja menangkap microexpression (bahasa tubuh ekspresi mikro) saat sahabatnya merahasiakan sesuatu, sang sutradara memvisualisasikan dengan detail baik dalam hal fisik maupun psikologis. Apalagi Bree dan Grace, sahabatnya, terpaksa mengungkap fakta yang memantik Riley menyelami rasa aneka emosi.

Cara Riley mengelola emosi di saat-saat sulit pun terasa sangat dekat dengan kenyataan remaja pada umumnya. Berpura-pura menerima dan tetap bahagia padahal suasana hati sedang sedih bikin penonton ikut terbawa suasana. Bahkan di saat-saat sulit, manusia berakal seperti Riley tetap memikirkan kapan mengekspresikan emosi sedih, kapan bertahan memendamnya.

Pil pahit kenyataan yang pernah Tuhan hadirkan dalam hidup remaja bernama lengkap Riley Andersen itu ada kalanya mendorong Riley menentukan pilihan dengan sentuhan emosional. Di sinilah emosi baru bernama Anxiety–karakter oranye berambut jabrik, menunjukkan emosi kecemasan–ambil peran.

Dengan beragam perencanaan yang syarat akan gambaran buruk di masa depan atas pilihan yang Riley ambil, Anxiety awalnya hadir sebagai perencana terbaik dengan sangat percaya diri. Anxiety mengira dirinyalah yang kini Riley perlukan. Sebab ia melihat Joy (emosi senang yang mendominasi warna kehidupan Riley saat anak-anak) justru membuat Riley remaja merasa malu.

Baca Juga:  Hanum Salsabiela Rais dan Perjuangan Melawan Islamophobia

Dalam perjalanannya, Riley mengalami emosi-emosi baru lainnya. Karakter-karakter baru ini hadir layaknya tokoh antagonis, berseberangan dengan sekelompok karakter lama yang bertahan dengan watak protagonis. Selain cemas, Riley juga akhirnya mengalami emosi envy (cemburu, ingin punya seperti temannya), embarrassement (malu), ennui (jenuh, apatis) dan nostalgia (rindu kenangan manis masa lalu).

Nah, satu per satu emosi baru maupun lama spontan muncul sesuai situasi yang Riley alami. Tujuannya sama: membantu Riley bertumbuh sebagai remaja. Keadilan terjadi ketika pada titik tertentu, masing-masing emosi mendapat ruang untuk hadir dan dirasakan perannya.

Kedatangan karakter emosi baru usai alarm pubertas Riley menyala mengejutkan lima emosi dasar. (Pixar)

Jadi setelah menonton film ini dengan utuh, penonton bisa memahami sang penulis cerita menghadirkan porsi karakter protagonis maupun antagonis seimbang dalam setiap karakter emosi. Jika berlebihan dan hadir tidak pada waktu yang tepat, emosi apapun itu bisa merugikan Riley.

Penonton tertampar dengan pilihan si periang Joy yang membuat hidup Riley penuh cahaya kebahagiaan dan optimis, mengirim semua memori buruk Riley ke long term memory (penyimpanan memori jangka panjang). Menurutnya, hanya dengan menyimpan kenangan indah dan mengubur kenangan buruk bisa membantu Riley menghadapi situasi sulit. Padahal tidak demikian. Tak adil memaksakan diri selalu senang dalam kondisi apapun.

Meski sempat terjadi konflik antaremosi, di mana emosi-emosi itu berupaya saling menekan, mengubur bersama kenangan pahit ataupun manis yang menyertainya. Pada akhirnya, dengan memeluk semua emosi, membiarkannya hadir dan Riley rasakan, proses pengendalian emosi berbuah manis untuk pertumbuhan kepribadian dan belief system (keyakinan diri) sang tokoh utama.

Baca Juga:  138 Peserta Terbaik Berlomba di Final Festival Faqih Usman Ke-8

Sejak awal film diputar, penonton perlu siap dengan suguhan pelajaran berharga di balik setiap adegannya. Inside Out 2 dengan gamblang mengajarkan, seiring manusia bertumbuh-kembang menjadi dewasa, berkembang pula emosi yang disadari dan diizinkan untuk dirasakan. Awalnya saat anak-anak, Riley hanya mengenal emosi dasar yang mewujud sebagai karakter Joy (senang), Sad (sedih), Anger (marah), Disgust (jijik), dan Fear (takut). Ketika beranjak remaja, beragam emosi baru yang lebih kompleks muncul.

Tak hanya itu, perkembangan psikologis khas remaja pun tertangkap jelas. Seperti, dibandingkan keluarga, teman lebih mendominasi pengambilan keputusan seorang remaja. Di film ini tersampaikan ketika tokoh berwarna biru, bernama Sadness, sedih karena kesulitan menemukan Pulau Keluarga di gugusan Pulau Kepribadian. Ternyata, Pulau Keluarga itu mengecil dan tertutupi oleh Pulau Pertemanan yang superbesar.

Kiblat kehidupan juga mengarah pada teman tertentu yang dianggap keren. Bahkan untuk bisa diterima dalam suatu circle (kelompok) pertemanan, seorang remaja rela meninggalkan sistem kepercayaan yang ia bangun dengan baik selama masa kanak-kanak. Juga mengubah penampilan menyerupai identitas suatu kelompok agar seolah telah menjadi bagian kelompok itu. Masalah klasik ini mewarnai Riley di awal pubertasnya.

Gadis berusia 12 tahun itu juga dilema ketika harus berhadapan dengan pilihan bersama sahabat lama atau calon teman baru. Situasi tidak nyaman membuat Joy–diperankan Amy Poehler–bersama Disgust (Liza Lapira), Fear (Tony Hale), Anger (Lewis Black) dan Sadness (Phyllis Smith) akhirnya mencicipi bertualang di defense mechanism (sistem pertahanan diri) Riley. Di sini alam bawah sadar yang bekerja, berusaha melindungi perasaan dari hal-hal yang bikin terluka. Di fase ini pula mereka menyadari ada Deep Dark Secret (rahasia gelap) tersembunyi di alam bawah sadar Riley.

Kehadiran karakter Nostalgia membawa angin segar. Digambarkan sebagai nenek dengan beragam memori indah yang siap muncul untuk diingat kembali, June Squibb dengan suara khasnya memantik tawa penonton. Ini terjadi kala Riley remaja hampir terjerat pada memori manis di masa kanak-kanaknya.

Baca Juga:  Andrea Hirata, Belitong, dan Mimpi Anak yang Berkibar
Joy mencoba menyelamatkan Anger yang meledak-ledak. (Pixar)

Pelajaran lainnya, pengalaman sepanjang hidup akan membentuk keyakinan seseorang terhadap dirinya (self belief). Hal ini akan tampak pada masa remaja yang merupakan masa pembentukan jati diri seseorang. Kalau kata Joy, saat inilah pembentukan ‘masterpiece’ pada diri Riley.

Selain itu, dominasi kecemasan nyatanya bisa membuat seseorang gegabah dan justru menodai keyakinan dirinya. Parahnya, bisa meramu keyakinan diri baru yang menahan langkah menuju perbaikan diri. Kata Riley, “I’m not good enough!”

Tak hanya itu, jika cemas mendominasi, seseorang bisa terkena serangan panik pada situasi buruk yang tiba-tiba terjadi. Duduk di kursi bioskop, penonton diajak ikut merasakan sesaknya Riley di posisi itu. Perjuangan mengelola emosi cemas memang tidak mudah. Film Inside Out 2 menggambarkan semuanya dengan detail dan tepat.

Film ini memang bisa dinikmati berbagai kalangan, sesuai kategorinya semua umur (SU). Warna-warni visualisasinya bisa menarik minat anak-anak untuk menonton.  Plus dunia imajinasi khas anak-anak masih kental.

Tapi beragam pesan mendalam seputar pengelolaan emosi remaja ini terlalu kompleks untuk anak-anak pahami. Sebab, tidak semua anak mengerti rumitnya perjuangan remaja, termasuk Jurang Sarkasme. Mereka belum paham sulitnya menjadi manusia yang berdamai dengan konflik emosi dalam diri, sebagai makhluk yang berusaha merdeka dari ikatan emosi berlebih. Orangtua perlu hadir mendampingi dan siap menjelaskan bagian tertentu.

Secara keseluruhan, Inside Out 2 sangat cocok menjadi tontonan pada musim liburan sekolah ini. Tentunya, sekaligus jadi media belajar tentang pengelolaan emosi. Visualisasi kondisi fisik saat merasakan ledakan emosi juga dampaknya bisa menjadi bekal menghadapinya di kehidupan nyata. (#)

Penyunting Ichwan Arif