Soal etika dan kekuasaan, ujian psikiatri yang diikuti oleh Dokter Muda ini bisa menjadi cermin betapa berharganya etika.
Oleh Jamaluddin, dokter spesialis mata, tinggal di Kamal, Bangkalan, Jawa Timur.
Tagar.co – Di dunia pendidikan, terutama di bidang kedokteran, interaksi antara penguji dan peserta ujian tidak hanya pada soal kecerdasan dan kompetensi teknis saja. Tetapi, juga di aspek sikap, etika, dan ketulusan.
Kisah berikut ini, pengalaman nyata DM Fakhrurrozi (DM, Dokter Muda). Kala itu, sebagai seorang Dokter Muda, dia sedang menjalani ujian psikiatri di bawah pengawasan seorang penguji senior, dr. Mawardi, Sp.KJ. Sang penguji, dikenal sebagai ”killer” di kalangan mahasiswa.
Problem Pelik
Pada hari ujian, DM Fakhrurrozi mendapatkan kasus pasien yang mengalami mutisme yaitu tidak mau berbicara atau merespons selama wawancara anamnesis. Situasi ini sangat sulit, mengingat wawancara merupakan bagian penting dalam proses diagnosis pasien psikiatri.
Waktu ujian terus berjalan. Namun, pasien tetap tidak menunjukkan tanda-tanda bisa diajak berkomunikasi. Kegelisahan DM Fakhrurrozi semakin memuncak saat sang penguji memasuki ruangan untuk memeriksa hasil wawancara.
Baca juga: Kekuasaan dan Etika, Hikmah dari Ujian Calon Dokter
“Mana status pasienmu,” tanya dr. Mawardi dengan nada tegas.
“Maaf, Dok, pasien tidak mau menjawab pertanyaan saya,” jawab DM Fakhrurrozi dengan suara lirih.
“Sudah, keluar kamu,” seru dr. Mawardi dengan nada marah.
Atas situasi yang cukup mengejutkan itu, DM Fakhrurrozi langsung keluar ruangan. Tanpa banyak kata, dia segera meninggalkan ruangan dengan lemas dan perasaan hampa. Rasa malu dan pikiran tentang kegagalan mulai menghantuinya.
Tak Terduga
Sesampainya di luar, DM Fakhrurrozi pasrah. Dia merasa tidak ada harapan untuk lulus.
Selanjutnya, dia hanya bisa mengadu kepada ibunya. Dia meminta doa agar diberikan yang terbaik, baik itu lulus maupun tidak lulus. Dia berharap ada keajaiban.
Waktu yudisium tiba. Betapa terkejutnya Fakhrurrozi saat namanya diumumkan sebagai salah satu yang lulus. Rasa gembira bercampur dengan bingung, menyapanya. Bagaimana mungkin, dia lulus tanpa menjalani ujian yang layak?
Penasaran, Fakhrurrozi memutuskan untuk menemui dr. Mawardi. Dia sampaikan rasa herannya.
“Terima kasih Dok, saya lulus. Tapi kok bisa ya,” tanya Fakhrurrozi.
“Memangnya kenapa? Kamu tidak mau luluskah,” respons dr. Mawardi. dengan nada lembut dan bijaksana.
“Oh tidak, Dok. Saya sangat berterima kasih. Tapi, bukankah saya tidak diuji,” jawab Fakhrurrozi cepat.
“Nah, itulah. Kamu saya luluskan karena kamu mahasiswa yang patuh. Masih ingat, ’kan? Waktu saya suruh keluar, kamu langsung keluar tanpa protes. Kamu sopan dan patuh,” jelas dr. Mawardi.
”Setelah ini, rajinlah belajar dan jadilah dokter yang baik. Deal ya,” lanjut dr. Mawardi memberi semangat.
Fakhrurrozi hanya bisa mengangguk-angguk. Dia merasa bersyukur dan terharu. Alhamdulillah!
Menunduk
Kisah ini mengajarkan bahwa etika, sikap patuh, dan sopan santun dihargai dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk, di dunia profesional. Dalam momen yang sulit dan penuh tekanan, justru sikap jujur dan apa adanya yang mampu meluluhkan hati seorang penguji yang dikenal ”keras”.
Kekuasaan untuk meluluskan atau tidak, memang berada di tangan penguji. Namun, sikap etis dan patuh dari peserta ujian bisa menjadi faktor penentu yang tak terduga.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang tengah berjuang. Bahwa, sikap baik dan etika profesional adalah bagian dari kunci sukses dalam setiap ujian kehidupan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni