Cerpen

Elon Musk Nusantara yang Hilang Arah

297
×

Elon Musk Nusantara yang Hilang Arah

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Siapa sangka, di balik kursi jati berdebu di lantai delapan Gedung Bima, tersimpan skandal 2,7 triliun, visi “Elon Musk Nusantara”, dan drama kekuasaan yang akhirnya roboh oleh integritas?

Cerpen oleh Dwi Taufan Hidayat

Tagar.co – Di tengah Kota Andalas, berdiri menjulang sebuah gedung kaca berlantai sembilan bernama Gedung Bima. Di dalamnya, berkantor perusahaan negara yang mengurusi jaringan dan informasi bagi jutaan warga.

Pegawainya ribuan: dari anak muda brilian hingga profesor dengan indeks Scopus yang tak terbantahkan. Di lantai delapan, ada ruangan berlapis dinding kayu jati, tempat seorang komisaris utama duduk setiap Senin dan Kamis.

Namanya Raka Anindito. Usia tiga puluh lima, wajahnya selalu terlihat seperti baru bangun tidur, tapi jam tangannya selalu bersinar lebih dulu dari matahari.

Lulusan hubungan internasional dari kampus swasta yang dulu dikenal sebagai tempat “lari terakhir”, kini ia duduk di kursi yang dulu ditempati para doktor dari luar negeri dan pensiunan jenderal teknologi.

Hari itu, Gedung Bima sedang riuh. Bukan karena Raka datang, tapi karena ada yang pulang.

“Pak Bram keluar juga akhirnya,” bisik Nia, pegawai senior di divisi riset.

Bram Suryawan, lima puluh delapan tahun, doktor dari Prancis, kepala divisi teknologi strategis, mengundurkan diri pagi itu. Ia pamit lewat email satu paragraf, singkat tapi getir:

Baca Juga:  Tanah yang Pernah Luka

“Saya percaya ilmu bukan satu-satunya hal yang dihormati di sini, tapi ketika suara ilmu tak lagi didengar, mungkin waktunya saya berpindah ruang.”

Nia membacanya sambil mengepalkan tangan.

Ia ingat percakapan terakhir Bram dengan Raka, yang terdengar sengit dari balik pintu rapat.

“Kalau kita impor, Pak Raka, kita hanya jadi pasar!” tegas Bram.
Raka mengangkat alis. “Lebih cepat, lebih praktis. Kita enggak mau kehilangan momentum, Pak Bram.”

“Momentum apa? Ini soal kedaulatan teknologi!”

“Tapi Pak tahu sendiri, siapa yang pegang keputusan akhir, kan?” ujar Raka, datar. Bram terdiam.

Tak ada yang berani protes terang-terangan. Semua tahu, Raka adalah kawan dekat putra tertua seorang tokoh besar yang kini duduk di kursi tertinggi negeri. Ia merintis bukan dari akademik, bukan dari jenjang profesional, tapi dari meja-meja kafe tempat diskusi relawan berubah jadi jaringan kekuasaan.

Di sudut lain kota, di sebuah rumah sederhana di Jalan Sumbing, tinggal Pak Gunardi. Lima puluh empat tahun, rambut memutih sejak anak sulungnya wafat karena DBD di pelosok Kalimantan. Dulu, ia dosen teladan, lalu menempuh S3 di Belanda demi jadi contoh bagi anak-anaknya.

Baca Juga:  'Cair… Cair...' dan Demokrasi yang Tenggelam di Lumpur Nikel

Beberapa bulan lalu, ia ditawari jadi dewan penasihat di perusahaan tempat Raka jadi Komut. Tapi ia menolak.

“Maaf, saya tidak bisa bekerja di tempat yang menghina akal sehat saya,” katanya tegas.

Nama Gunardi jarang muncul di media, tapi di balik layar, banyak ahli muda berguru padanya. Salah satunya, tanpa Raka tahu, adalah Hana, sekretaris pribadinya. Hana, lulusan S2 teknologi informasi, sering jengah melihat kebijakan “ngasal” bosnya.

Malam itu, Hana duduk di beranda rumah Pak Gunardi, mengisap udara yang sesak oleh berita viral: video TikTok Raka membandingkan dirinya dengan tokoh startup dunia.

“Dia bilang dia kayak Elon Musk versi Nusantara,” ujar Hana sambil tertawa getir.

Pak Gunardi hanya tersenyum. “Visioner bukan berarti buta arah dan tuli pendapat,” gumamnya.

Namun pagi berikutnya, badai datang. KPK mengumumkan penyelidikan proyek pengadaan alat telekomunikasi berbasis satelit senilai 2,7 triliun. Ada nama komisaris utama yang disebut sebagai pihak yang “mendorong dan memuluskan” kerja sama dengan perusahaan luar negeri tanpa uji kelayakan.

Gedung Bima gemetar. Raka menghilang. Katanya ke Singapura untuk check up. Tapi publik tak sebodoh dulu. Media sosial ramai. Para mantan mahasiswa Pak Gunardi membuat utas-utas data. Jurnalis investigatif mengorek kontrak proyek, menemukan lubang-lubang janggal. LSM mulai mengajukan tuntutan audit terbuka.

Baca Juga:  Wapres Gibran Diungkit Terus

Seorang menteri baru, yang dikenal keras kepala dan tak mau kompromi, akhirnya turun tangan. Ia mengumumkan pembekuan posisi Komisaris Utama hingga investigasi tuntas.

Di lantai delapan Gedung Bima, kursi jati itu kini kosong. Tak ada yang mau mendudukinya. Tak ada yang berani membersihkannya. Seolah debu itu adalah simbol dari sesuatu yang lebih kotor: sistem yang diselubungi kekuasaan, bukan kecakapan.

Sementara itu, di rumahnya, Pak Gunardi sedang menyusun buku baru: Etika Kepemimpinan di Era Post-Kebenaran. Di halaman pembuka, ia menulis kutipan seorang ahli hukum:

“Kepintaran bisa dibuat-buat, tapi integritas tidak bisa dipalsukan. Yang culas akan cepat naik, tapi juga cepat tenggelam.”

Ia menatap keluar jendela, melihat langit sore yang kelabu. Perlahan, ia berkata pada Hana yang duduk membaca di ruang tamu, “Kadang kursi kosong justru lebih mulia ketimbang kursi yang dipenuhi tipu daya.”

Hana mengangguk, menyimpan buku di pangkuannya. Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, ia merasa ada harapan. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Cerpen

Ketika dokter bicara prosedur, pengacara bicara aturan, dan…

Cerpen

Kupikir aku sudah sampai—gaji besar, jabatan prestisius, hidup…