Rileks

Eksplorasi Ruang Bawah Tanah, Area Terangker Lawang Sewu

177
×

Eksplorasi Ruang Bawah Tanah, Area Terangker Lawang Sewu

Sebarkan artikel ini
Eksplorasi ruang bawah tanah yang lembab dan gelap sungguh menguji nyali. Pasca 10 tahun ditutup, area ini kembali terbuka untuk umum. Rombongan terbatas 6-8 orang saja dengan seorang pemandu.
Penulis (kanan) bersama temannya (kiri) dan pemandu Darmawan Prasetiyo berpose L (Lawang Sewu) usai eksplorasi ruang bawah tanah Lawang Sewu (25/12/2024). (Tagar.co/Istimewa)

Eksplorasi ruang bawah tanah yang lembab dan gelap sungguh menguji nyali. Pasca 10 tahun ditutup, area ini kembali terbuka untuk umum. Rombongan terbatas 6-8 orang saja dengan seorang pemandu.

Tagar.co – Langkah perlahan boot (sepatu karet) putih rombongan bikin riak air yang menggenangi basement (ruang bawah tanah) Lawang Sewu terdengar gemercik, Rabu (25/12/2024). Pasalnya, air setinggi 5-15centimeter menggenangi seluruh area yang baru terbuka lagi untuk umum sejak Selasa (3/12/2024) ini.

Saat saya mulai menjelajah, jam masih menunjukkan pukul 09.20 WIB. Cuaca terang benderang di bangunan ikon budaya Kota Semarang tersebut. Hangat matahari belum menyengat kulit.

Tapi selepas melewati daun pintu kayu berwarna cokelat tua, saya rasanya memasuki belahan dunia lain. Minimnya penerangan di sana membuat kontras dengan kondisi bangunan yang berdiri kokoh di atasnya.

Saat pintu khusus menuju Lawang Sewu Kelderverkenning–Bahasa Belanda yang berarti eksplorasi ruang bawah tanah–terbuka, tampak anak tangga menuju area bawah yang gelap gulita. Meski anak tangganya kurang dari sepuluh, tapi menuruninya perlu upaya ekstra. Sebab, untuk bisa eksplorasi ke sana, kami wajib mengganti alas kaki dengan sepatu karet khusus yang tersedia. Tidak perlu membayar lagi.

Sewa Alat Pelindung Diri (APD) sudah termasuk tiket masuk sebesar Rp 25 ribu. Harga khusus ini hanya berlaku selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024. Harga normal tiketnya Rp 50 ribu. Selain sepatu karet, pengunjung juga mendapat helm pengaman berwarna putih dan rompi gesper scotlight hijau. Ada ruangan khusus untuk serah terima dan memakai APD.

Larangan Bawa Kamera

Tak perlu khawatir kehabisan energi, napas, atau lelah karena membawa barang bawaan berat saat eksplorasi ruang bawah tanah. Pengunjung wajib menitipkan semua barang bawaannya di loker berkunci. Termasuk HP atau kamera.

Ya, ada peraturan tidak boleh membawa kamera dalam bentuk apapun untuk mengabadikan setiap sudut ruang bawah tanah. Petugas benar-benar memastikan tidak ada kamera yang lolos daun pintu cokelat sebagai satu-satunya gerbang masuk sekaligus keluarnya rombongan.

Baca Juga:  Organisasi Besar Diukur dari Sini

Kelebihannya, dengan peraturan tersebut, saya dan seluruh rombongan fokus “hadir seutuhnya” selama eksplorasi. Bukannya sibuk mengambil gambar atau video, mencari angle yang bagus, atau bahkan berswafoto untuk mengabadikan pengalaman edukasi yang cukup menegangkan itu.

Langkah kami jadi ringan karena hanya membawa badan dan senter. Plus menyimak dengan baik penjelasan pemandu dan melihat detail suasana di sana.

Di sisi lain, saya dan teman saya yang turut serta dalam rombongan ini awalnya cukup kecewa campur terkejut saat baru mengetahui aturan ini dari petugas di ruang ganti APD. Kami tidak membaca dengan jeli syarat dan ketentuan nomor 8 yang terpampang di pintu masuk pembelian tiket.

Pupus sudah harapan merekam jejak petualangan nekat kami ke sana. Sempat terlintas di benak saya ketika berangkat, ada bonus makhluk lain yang menampakkan wujudnya pada salah satu jepretan kamera kami.

“Ya, daripada areanya ditutup lagi, nggak ada pengunjung yang boleh masuk?” Demikian pertanyaan retorik petugas yang akhirnya mendorong kami untuk ikhlas meninggalkan kamera maupun HP di loker. Perjalanan Gresik-Semarang selama 4,5 jam dengan kereta terlalu berharga jika batal kelderverkenning hanya karena tak boleh mendokumentasikan.

Syarat dan ketentuan Lawang Sewu Kelderverkenning alias eksplorasi basement/ruang bawah tanah. (Tagar.co/Sayyidah Nuriyah)

Ada Pemandu

Saya dan Tryas Ngudi Lestari, teman sesama asal Kota Pudak, pun segera bergabung dengan rombongan yang sudah lebih dulu mengikhlaskannya. Kebetulan kami satu rombongan bersama sekeluarga yang terdiri ayah, ibu dan dua anak. Berenam kami menelusuri lorong demi lorong dalam kegelapan. Darmawan Prasetiyo alias Iwan memandu kami.

Sesekali, sorot cahaya dari senter kami bertemu di satu titik. Kadang berjumpa di dinding dan celah ruangan gelap di sisi kanan atau kiri, ke bawah genangan air yang akan kami lalui, atau ke arah lorong depan kami yang saking panjangnya bikin cahaya tak tembus ujungnya.

“Oh, semuanya sudah mempersiapkan diri. Pada bawa senter semua,” ujar Iwan sambil tersenyum. Di awal perjalanan, ia menoleh ke belakang guna memastikan kami punya penerangan yang cukup untuk memandu langkah masing-masing.

Baca Juga:  138 Peserta Terbaik Berlomba di Final Festival Faqih Usman Ke-8

Ia juga memelankan langkah ketika rombongan hendak memijak turunan atau perlu melangkahi semacam “polisi tidur”.  Kemudian, ia memperingatkan saat kami perlu melangkahi celah berukuran sekitar 60×60 centimeter untuk bisa berpindah ke ruang gelap berikutnya.

“Kakinya melangkah dulu, baru kepalanya, hati-hati!” tuturnya memastikan keamanan kami setelah memberikan contoh terlebih dahulu. Satu per satu kami pun mengikuti arahannya melewati celah kecil tersebut.

Mayoritas ruang di sana terpisahkan oleh bingkai daun pintu baja. Usianya tampak dari karat yang memenuhi badan kerangkanya. Sebagian juga sudah berganti kayu, bahkan dilepas.

Eksplorasi ruang bawah tanah yang lembab dan gelap sungguh menguji nyali. Pasca 10 tahun ditutup, area ini kembali terbuka untuk umum. Rombongan terbatas 6-8 orang saja dengan seorang pemandu.
Pengunjung di depan pintu menuju ruang bawah tanah Lawang Sewu. (Tagar.co/Istimewa)

Fungsi Ruang Bawah Tanah

Medan yang kami lalui memang beragam dan menguji keberanian. Adakalanya kami melewati ruang dengan pipa baja besar di sisi kanan dan kirinya. “Awas ada pipa di sisi kanan!” ungkapnya sambil melihat kami melewati daun pintu yang di dekatnya ada ujung pipa baja menjulur horizontal pada ketinggian sekitar 140 centimeter.

Pipa itu, katanya, untuk mengalirkan air bersih. Adapun pipa baja di sisi kiri bawah untuk mengalirkan air kotor.

Pada dasarnya, kata Iwan, ruang bawah tanah kini berfungsi sebagai tempat instalasi air dan fondasi bangunan. Hingga kini, lanjutnya, belum ada bukti yang menunjukkan di sana dulunya sebagai ruang penjara bawah tanah ataupun pembantaian pada zaman penjajahan Belanda atau Jepang di Indonesia. Namun sebagai Bunker menyimpan senjata.

Meski kabar yang banyak beredar menyebutkan, area terangker di Lawang Sewu ini dulunya sebagai penjara dan lokasi pembantaian. Wallahu a’lam bishawab.

Kini, area yang dominan gelap gulita ini sebagai tujuan wisata. Karenanya, pihak pengelola PT KAI Wisata telah melengkapinya dengan blower, Alat Pemadam Api Ringan (APAR), bahkan di bagian tengahnya tersedia sebuah tabung oksigen.

Keamanan telah diperhitungkan. Jadi tak perlu takut hipoksia selama mengeksplorasi di sana. Meski demikian, kesehatan fisik menjadi persyaratan pengunjung. Tidak diperkenankan bagi individu dengan kondisi khusus seperti fobia ruang gelap atau sempit, penyakit jantung, ibu hamil, atau gangguan pernapasan ikut tur menguji nyali ini.

Baca Juga:  Perdana Naik Pesawat di Museum Ini, Siswa Mugeb School Ingin Kembali 

Ketakutan Sirna

Ada pula batasan usia pengunjung. Minimal berusia 13 tahun dan maksimal berusia 60 tahun dengan kondisi fisik dan mental baik. Mengingat, waktu tempuh eksplorasi lorong-lorong ini sekitar 15 menit.

Bagi saya, perjalanan terasa lebih singkat karena Iwan memandu dengan informatif dan pembawaan ceria. Was-was dan ketakutan yang awalnya sempat hinggap pun perlahan-lahan sirna.

Terlebih ada lampu estetik yang terpasang di beberapa titik dinding bagian atas. Meski tidak dinyalakan karena menghindari tersetrum saat overflow (aliran air meninggi). Lampu ini sukses bikin ruang tersebut kian elok, alih-alih menyeramkan.

Ada pula lubang kecil berukuran sekitar 10×10 centimeter di beberapa titik dinding. Alhasil, sesekali bisa ada cahaya alami yang menyinari sebagian ruang itu. Dari dalam, kita bisa melihat sepotong pemandangan di luar alias halaman Lawang sewu. Tapi tentunya Anda tidak bisa melewatinya. Selain terlalu kecil, ada kawat besi yang terpasang terbuka untuk menghindari hewan atau sampah masuk.

Menariknya, pemandu juga menunjukkan lokasi program TV Uji Nyali yang dulu pernah berlangsung di sana. Saat tiba di titik tersebut, suasana sempat mencekam. Pemandu meminta kami mematikan semua senter selama beberapa detik.

“Peserta uji nyali duduk di sini. Gelap. Penampakannya muncul dari sana,” ujarnya sambil duduk lalu menunjuk salah satu titik di belakang kami. Spontan kami menyalakan senter meski belum ia perintahkan untuk menyalakan kembali.

Tertarik mencoba? Anda bisa merasakan sendiri sensasi menegangkan wisata edukasi sejarah di sana pada jam operasional pukul 09.00-18.00 WIB. Melangkah menyibak riak air dalam kegelapan dengan beragam cerita mistis yang menyelimutinya. (#)

Jurnalis Sayyidah Nuriyah Penyunting Mohammad Nurfatoni