Sempat menolak penghargaan Anugerah Kebudayaan yang diberikan Kemendikbud, Eka Kurniawan menjadi warna baru sastra Indonesia lewat realisme magis, mencampuradukkan unsur lokalitas dan sedikit kenakalan dalam penceritaan di karyanya.
Tagar.co – Lahir 28 November 1975, sastrawan Eka Kurniawan adalah lulusan pendidikan tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dia terpilih sebagai salah satu Global Thinkers of 2015 dari jurnal Foreign Policy. Pada tahun 2016, dia menjadi penulis Indonesia pertama yang dinominasikan untuk Man Booker International Prize.
Sosok lelaki berkaca mata yang karya-karyanya telah mendunia. Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, SDRHDT (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas), dan Corat-coret di Toilet merupakan beberapa karya beken penulis kelahiran Tasikmalaya ini.
Pada masa kanak-kanak, Eka kecil lebih sering menghabiskan waktu bersama buku-buku ketimbang bermain sepak bola atau berenang seperti kawan-kawan sebayanya di kota kecil Pangandaran.
Eka Kurniawan dikenal sebagai penulis prosa. Dia pernah menggeluti dunia kepenulisan puisi saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, karya pertama Eka yang dimuat merupakan sebuah karya puisi di salah satu majalah anak-anak, Sahabat.
Namun, seiring berjalan waktu, Eka remaja enggan menjadi seorang penyair. Sebab munculnya rasa ketidaknyamanan ketika dia disuruh membacakan atau mendeklamasikan puisinya di depan banyak orang. Alasan lainnya adalah karena dia merasa tak akan bisa mengalahkan Chairil Anwar dari segi kualitas menulis karya puisi.
Baca juga: Sirikit Syah dan Perjuangan Kemanusiaan
Sewaktu di SMAN 1 Tasikmalaya, dia sempat bolos selama tiga bulan lamanya. Dalam waktu yang cukup lama tersebut, Eka menjadi seorang backpacker muda yang mengelilingi beberapa kota di Pulau Jawa. Ya, sudah dipastikan dirinya dikeluarkan dari sekolah tersebut.
Usut punya usut, Eka memang gemar berjalan-jalan atau menjelajahi daerah-daerah yang belum pernah dia jamah sedari kecil. Hal ini menjadi penguat referensi Eka terhadap berbagai lanskap dan detail lain di karyanya. Selain memang Eka yang suka membaca buku-buku berhubungan dengan geografis.
Penulis yang karyanya telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa ini sempat memiliki cita-cita menjadi seorang anak band. Sebuah angan umum bagi remaja yang sedang mencari jati diri. Namun, Eka sadar betul bahwa dirinya tak memiliki bakat di bidang musik, sehingga cita-cita tersebut pupus dalam angannya.
Tembus Pasar Internasional
Buku pertama dari penulis kelahiran 28 November 1975 ini adalah sebuah karya nonfiksi berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosial yang terbit pada tahun 1999.
Buku pertama ini sebetulnya merupakan hasil skripsi dirinya ketika menyelesaikan studi akademis di jurusan Filsafat, Universitas Gadjah Mada.
Setahun berselang, Eka menerbitkan buku fiksi pertama berjudul Corat-coret di Toilet. Sebuah Kumpulan cerpen berisi dua belas judul cerita. Kemudian, novel pertamanya berjudul Cantik Itu Luka terbit pada tahun 2002.
Baca juga: Arifin C. Noer dan 5 Fakta sang Legenda Sastra Indonesia
Novel perdananya berhasil membawa Eka dilirik pasar internasional setelah karya tersebut dialih-bahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh penerjemah berkebangsaan Amerika, Annie Tucker.
Setelahnya, beberapa karya Eka yang lain juga berhasil menyusul ke dalam pasar internasional seperti novel Lelaki Harimau, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan beberapa karya cerpen Eka lainnya. Terhitung, telah sebelas buku karya Eka Kurniawan yang telah diterbitkan.
Selepas kesuksesan tersebut, Eka mulai mendapatkan berbagai penghargaan, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Beberapa penghargaan yang pernah ia terima diantaranya ialah World Readers Award (2016), Emerging Voice (2016), Man Booker International Prize (2016), Prince Claus (2018), Annual Grand Prize of the 19th Dianchi Literature Prize (2023), dan berbagai penghargaan bergengsi lainnya.
Meski demikian, pada tahun 2019 Eka sempat menolak penghargaan Anugerah Kebudayaan yang diberikan oleh Kemendikbud. Dia merasa kinerja dari instansi tersebut masih abai terhadap permasalahan kinerja kebudayaan.
Apalagi, setelah Kemendikbud mengeluarkan pernyataan tak pantas terkait gaji guru yang masih terbilang kecil dengan narasi berbunyi “gaji guru kecil, nikmati saja nanti masuk surga”.
Eka bisa menjadi role model baru bagi kesusastraan Indonesia. Dengan aliran realisme magis yang mencampuradukkan unsur lokalitas dan sedikit kenakalan dalam penceritaan di karyanya.
Baca juga: Putu Wijaya, Sastrawan Energetik dan Serbabisa
Penulis yang menggemari karya dari Gabriel Garcia Marquez, Salman Rushdie, Mo Yan ini rasanya tidak berlebihan apabila menyandang gelar sebagai living legend penulis atau sastrawan masa sekarang dengan banyaknya penghargaan yang telah diraih olehnya.
Karya-karyanya
Nonfiksi
Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (nonfiksi, 1999)
Novel
- Cantik Itu Luka (novel, 2002)
- Lelaki Harimau (novel, 2004)
- Seperti Dendam, Rindu harus Dibayar Tuntas (novel, 2014)
- (Novel, 2016)
- Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong (novel, 2024)
Cerita Pendek
- Corat-coret di Toilet (2000).
- Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (2005).
- Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (2005).
- Kumpulan Budak Setan (2010).
- Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015).
- Sumur (2021).
Terjemahan
- Pemogokan (Hikayat dari Italia) karya Maxim Gorky
- Cannery Row karya John Steinbeck
- Catatan Harian Adam dan Hawa karya Mark Twain
- Cinta dan Demit-Demit Lainnya karya Gabriel Garcia Marquez
Filmografi
- Koper (2006) – Sebagai aktor
- Sunya (2016) – sebagai penulis bersama Harry Dagoe Suharyadi
- Seperti Dendam, Rindu harus Dibayar Tuntas (2021) – Sebagai penulis cerita dalam novel dan skenario bersama Edwin
Jurnalis Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni