DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) mengadakan rapat bersama pemerintah dan DPD untuk membahas revisi Undang-Undang Pilkada, sehari setelah Mahkamah Konstitusi membuat Keputusan 60 dan 70. DPR berusaha membegal putusan MK?
Tagar.co – Rabu (21/8/2024) siang linimasa X kembali panas. Berbagai komentar negatif terhadap DPR RI dilontarkan oleh para netizen dan aktvis demokrasi. Gara-garanya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat bersama pemerintah dan DPD. Rapat yang membahas revisi Undang-Undang Pilkada itu yang akhirnya menyepakati dua hal yang dianggap menganulir dua keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada Selasa (20/8/2024) netizen dan para aktivis demokrasi bergembira karena MK membuat dua putusan sebagai angin segar bagi demokrasi. Yaitu Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, tentang Ambang Batas Pencalonan (Putusan 60) dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang Pemaknaan syarat Umur (Putusan 70).
Baca berita terkait: Dari Putusan MK PDIP Bisa Usung Calon Sendiri, Apakah Anies?
Putusan 60 menghilangkan syarat kursi dan hanya mengakui syarat suara sah, dan membatalkan bersyarat Pasal 40 ayat (1), dan membatalkan keseluruhan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada.
Konsekuensinya Pasal 40 ayat (2) juga dinyatakan MK tidak berlaku, atau dalam putusan disebutkan ”Pasal 40 ayat (2) UU 10/2016 dan ketentuan lain yang terkait dan terdampak pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan a quo”.
Dalam amar putusannya, MK kemudian memberikan syarat ambang batas yang berbeda-beda persentasenya untuk setiap wilayah, tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Untuk Jakarta misalnya, dengan DPT antara 6-12 juta, maka syarat pencalonan adalah partai politik harus mendapatkan suara sah paling sedikit 7,5 persen di Daerah Khusus Jakarta.
Sementara itu MK, meskipun menolak permohonan dua mahasiswa (A. Fahrur Rozi dan Anthony Lee) dalam Putusan 70, namun MK memberikan pertimbangan hukum yang tegas, bahwa syarat umur diperhitungkan penetapan pasangan calon kepala daerah, bukan sejak pelantikan. Diperkirakan, pelantikan kepala daerah terpilih dilakukan pada awal Januari 2025.
MK mengatakan pemaknaan demikian sudah terang benderang dan tidak perlu diberi penguatan dan penafsiran lain. Dengan menggunakan pendekatan historis, sistematis, praktis, dan komparatif, MK menegaskan pemaknaan syarat umur dihitung sejak penetapan pasangan calon, bukan sejak pelantikan.
Beberapa waktu lalu ada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 diketok pada 29 Mei 2024yang memaknai syarat umur dihitung sejak pelantikan pasangan kepala daerah terpilih. Putusan MA itu di ruang publik dianggap membuka peluang pencalonan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang namanya disebut-sebut sebagai calon kepala daerah. Sedangkan Kaesang akan berusia 30 tahun 7 hari pada 1 Januari 2025
Dua Kontroversi Baleg
Tapi, kegembirana para netizen dan aktivis demokrasi itu seperti dibungkang kembali oleh DPR. Pasalnya, siang itu lembaga ini menyepakati dua hal yang kontroversial dan bertentangan dengan putusan 60 dan 70.
Pertama, batas usia calon gubernur-calon wakil gubernur minimal 30 tahun dan 25 tahun untuk calon wali kota-calon wakil wali kota dalam RUU Pilkada merujuk kepada putusan Mahkamah Agung (MA). Artinya, DPR tidak mematuhi putusan MK, melainkan mengacu pada putusan MA.
Dengan kesepakatan seperti ini—dan jika nanti sampai berhasil berhasil ditetapkan jadi UU Pilkada dalam rapat paripurna DPR—maka peluang Kaesang Pangarep untuk maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur terbuka lagi.
Kedua, syarat ambang batas persentase perolehan suara sah hanya diberlakukan bagi persyaratan untuk mendaftarkan calon dari partai nonparlemen atau partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Sementara partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPR tetap mengacu pada ambang batas paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan
Dengan rumusan seperti itu—dan jika nanti sampai berhasil ditetapkan jadi UU Pilkada dalam rapat paripurna DPR—maka PDI Perjuangan tetap tidak bisa mencalonkan gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta pada 2024.
Pembegalan Putusan MK
Dua hasil rapat Baleg itu langsung menuai kritik. Seperti disampaikan pegiat pemilu Titi Anggraini. “Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 mengatakan syarat threshold (ambang batas) pencalonan yang direkonstruksi itu berlaku baik untuk partai parlemen maupun nonparlemen,” dalam akun @titianggraeni.
Karena itu dia mengatakan, “Jelas dan terang telah terjadi pembegalan atas amar Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024.”
Menurut dosen Universitas Indonesia itu, putusan MK final, mengikat, dan berlaku serta merta bagi semua pihak atau erga omnes. “Kalau sampai disimpangi maka telah terjadi pembangkangan konstitusi dan bila terus dibiarkan berlanjut maka Pilkada 2024 adalah inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan,” tulisnya.
MK adalah penafsir konstitusi satu-satunya yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD NKRI tahun 1945 dalam sistem hukum Indonesia. Pemerintah, DPR, dan semua elemen bangsa harus menghormati dan tunduk pada Putusan MK.
“Jangan hanya mau tunduk pada Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres,” ungkapnya.
Menurutnya, putusan MK tidak bisa dibenturkan dengan putusan MA. Putusan MK adalah pengujian konstitusionalitas norma UU terhadap UUD. Sehingga Putusan MK harus dipedomani oleh semua pihak, tidak terkecuali DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung.
“Ketika MK sudah memberi tasir, maka itulah ketentuan yang harus diikuti semua pihak. Senang atau tidak senang,” kata dia. (#)
Mohammad Nurfatoni, dari berbagai sumber.