Dilan 1983 Wo Ai Ni: Romantisme, Persahabatan, dan Cinta Monyet; Resensi film oleh Ichwan Arif, Guru Bahasa Indonesia SMP Muhammadiyah 12 GKB (Spemdalas) Gresik.
Tagar.co – Film Dilan 1983: Wo Ai Ni hasil adaptasi novel karya Pidi Baiq mengisahkan masa kecil Dilan yang masih mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD).
Dalam film garapan Falcon Pictures ini juga menjadi prekuel dari trilogi Dilan, yakni Dilan 1990 (2018), Dilan 1991 (2019), dan Milea: Suara dari Dilan (2020).
Film ini dibintangi sejumlah aktor muda, seperti Malea Emma, Ashel JKT48, Zayyan Sakha, Muzakki, Queen, Sulthan, Ferdinand, Keanu Azka, Graciella Abigail, Shania Diva, Cleo, hingga Quentin.
Selain itu, kita bisa juga menyaksikan sederet aktor senior, seperti Bucek Deep, Ira Wibowo, Mieke Amalia, Cok Simbara, dan Daan Aria.
Dalam film yang disutradarai Fajar Bustomi, tokoh Dilan yang diperankan Muhammad Adhiyat memerankan karakter Dilan versi muda, sekitar 7 tahun sebelum Dilan versi Iqbaal Ramadhan. Film ini berlatar tahun 1983, ketika ayah Dilan (Bucek Deep), bertugas sebagai tentara di Timor Timur—kini Timor Laste.
Saat itu, Dilan berusia 12 tahun dan ikut ayahnya bertugas di Timor Timur. Setelah menghabiskan 1,6 tahun di Timor Timur, Dilan kembali ke Bandung dan melanjutkan sekolah di tempat sebelumnya. Dilan kembali bertemu teman-teman lama di sekolah.
Tetapi, sebelum Dilan kembali, ternyata ada murid pindahan dari Semarang, Jawa Tengah. Murid itu bernama Mei Lien yang diperankan Malea Emma, seorang gadis keturunan Tionghoa.
Dilan pun tertarik sosok Mei Lien. Maka, tingkah Dilan pun kerap menggoda gadis tersebut. Dia berusaha semakin dekat dengan murid baru itu lewat berbagai cara.
Tak hanya itu, ketertarikannya dengan Mei Lien membuat Dilan merancang strategi dengan mempelajari bahasa Mandarin dan tertarik membaca buku yang membahas tentang Cina.
Perasaan cinta Dilan tidak berhenti di situ, dia juga merasa cemburu hingga bersaing dengan murid lain bernama Furqon yang lebih sering menghabiskan waktu bersama Mei Lien di kelas.
Di balik itu semua, Dilan juga menjadi incaran geng lain yang berusaha mengalahkan anak tentara tersebut. Bahkan, Dilan sempat dikeroyok hingga mengalami luka-luka meski masih anak-anak. Bukan nama Dilan kalau tidak menggunakan jurus gombalan khasnya untuk ‘memperdayai’ Mei Lien.
“Siapa yang paling kamu cintai, Mei?” tanya Dilan kepada Mei Lien teman sekelasnya.
“Tuhan,” jawabnya. Dilan lalu menepuk keningnya.
“Sainganku berat,” kata Dilan ke teman-temannya yang disambut gelak tawa.
Kata-kata itu dia gunakan sebagai modal memperlakukan perempuan yang dia sukai. Di film ini penonton bisa bernostalgia dengan film-film Dilan sebelumnya, dengan karakternya yang pandai merangkai kata-kata khasnya.
Pertemuan Dilan dengan Mei Lien membawanya pada pengalaman cinta monyet yang menggemaskan. Dilan yang polos dan Mei Lien yang ceria menciptakan chemistry yang manis dan penuh tawa.
Film ini menghadirkan momen-momen lucu dan menggemaskan dari tingkah laku Dilan dan Mei Lien yang masih polos dan belajar memahami perasaan cinta. Lewat surat, titip pesan, dan juga kado spesial ‘siksa neraka’ yang membikin penonton tertawa.
Dilan tidak henti-hentinya mencoba menjadi ‘orang nomor satu’ di mata Mei Lien. Dilan pun menjadi bodyguard yang akan melindungi Mei Lien dengan cara menyuruh temannya menempelkan kertas yang bertulisan bodyguard di punggungnya.
Aksinya semakin kocak, manakala Dilan sok jagoan ketika ada teman sekelasnya mencoba menggunakan kaca orotan yang diletakkan di tali sepatu guna melihat (mohon maaf) pakaian dalam Mei Lien.
Selain itu, ada aksi Dilan saat menemani Mei Lien di kantin sekolah, manakala dia keluar kelas karena waktunya pelajaran agama Islam.
“Aku ingin menemanimu,” kata Dilan ke Mei Lien.
Romantisme dan Pesan Moral
Film yang berdurasi 1 jam 30 menit ini tidak hanya fokus pada kisah cinta Dilan dan Mei Lien, tetapi juga menggambarkan kehidupan masa kecil Dilan di Timor Timur yang penuh dengan kearifan lokal dan budaya yang berbeda.
Menonton film ini kita diajak untuk merasakan atmosfer tahun 1980-an yang penuh dengan kesederhanaan dan nilai-nilai persahabatan yang kuat. Film ini wajib ditonton bagi para penggemar Dilan dan film-film bergenre coming of age (segala usia).
Film ini menghadirkan kisah yang menghanyutkan hati, penuh nostalgia, dan mengingatkan kita tentang indahnya masa muda. Bukan hanya lewat dialog, tetapi keusilan tokoh yang benar-benar penonton diajak menyelami dan merasakan romantisme masa lalu saat belajar di bangku SD.
Bagaimana Dilan dengan teman-temannya bermain mercon bumbung di depan musala, bersepada, ikut pesantren kilat di sekolah, bermarkas di pos kamling dengan ketiga gengnya, sampai dengan keusilan Dilan saat mengunci takmir masjid di kamar mandi.
Yang paling membuat penonton tersenyum, bagaimana Dilan menggunakan jurus dengan memberikan tanda berupa kapur putih arah jalan dari sekolah sampai ke rumah Mei Lien.
“Supaya kamu tidak tersesat menuju rumah,” kata Dilan. Mei Lien pun tersenyum ketika langkah kakinya mengikuti garis putih yang dibuat Dilan.
Di film ini, Pidi Baiq sebenarnya tak menceritakan tentang percintaan. Melainkan hanya menggambarkan kisah cinta monyet yang di mana situasi saat ini sedang marak terjadi peristiwa petrus alias penembakan misterius.
Tak hanya itu, film ini juga akan menggambarkan kehidupan dan keharmonisan keluarga Dilan. Bagaimana hubungannya dengan kakak perempuannya yang sedikit galak, dua kakak laki-lakinya yang menjadi tempat dia curhat dan bermain, hingga adik kecilnya.
Film ini akan penuh dengan pesan-pesan baik dari orang tua ke anaknya. Keluarga Dilan akan mengajarkan tentang bagaimana mereka harus menghargai orang, terutama dengan latar belakang yang berbeda. Mengajarkan Dilan membaca, hingga bagaimana menghargai perempuan.
Ketika menyaksikan film ini, menunju ending cerita, hati penonton pun diaduk-aduk dengan kisah ayah Mei Lien meninggal dunia akibat ditembak kawanan perampok yang merampas isi toko emasnya. Tragedinya pun menjadi perpisahan romantisme Dilan dengan Mei Lien. Jangan mewek ya. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni