Buku

Dari Indeks Al-Qur’an ke Ribuan Artikel: Perjalanan Menulis yang Menginspirasi

342
×

Dari Indeks Al-Qur’an ke Ribuan Artikel: Perjalanan Menulis yang Menginspirasi

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Atho’ Khoironi

Bermula dari niat menulis sejak SMA yang lama tertunda, seorang penulis akhirnya menemukan pijakan melalui buku Indeks Al-Qur’an. Dari sana, lahirlah ribuan artikel, belasan buku, dan kisah penuh syukur yang menginspirasi siapa pun yang bercita-cita menulis.

Oleh M. Anwar Djaelani, aktif menulis sejak 1996 dan penulis 13 buku

Tagar.co – Tiap penulis pasti punya kenangan spesial terkait kisah kepenulisannya. Tentang ini, tiap orang punya jalan sendiri untuk bisa menulis. Saya, misalnya, sudah punya keinginan menulis sejak 1978 saat masih SMA. Hanya saja, karena tak segera diwujudkan, keinginan itu berhenti di niat.

Barulah, karena ada “perkembangan situasi”, saya harus mulai menulis pada 1996. Proses memulai menulis, alhamdulillah, terbantu oleh Indeks Al-Qur’an. Seperti apa kisahnya?

Ini, Mengesankan!

Pada 1996, organisasi tempat saya aktif memutuskan membuat buletin Jumat yang akan diedarkan ke masjid-masjid di Surabaya dan sekitarnya. Nama buletinnya Yaumuna. Saya mendapat tugas untuk mengawalnya.

Bisa dibilang, saya mengelola semuanya sendirian. Tak terelakkan, tiap pekan saya harus menyiapkan naskah. Kertasnya ukuran legal, diisi bolak-balik, dan dilipat dua sehingga membentuk empat halaman.

Baca juga: Majalah Al-Munir dalam Mata Rantai Dakwah Global: Menguatkan Ahmad Dahlan, Menginspirasi Hamka

Menulislah saya. Sebelumnya, saya sama sekali tidak punya pengalaman menulis. Buletin Yaumuna terbit pertama kali pada 30 Agustus 1996. Ternyata, tulisan-tulisan saya di awal belajar menulis rata-rata mencapai 11.000 karakter. Padahal, artikel sepanjang 5.000 karakter saja sudah tergolong bagus. Artinya, saat belajar menulis pada 1996 itu saya benar-benar bekerja keras (lebih karena tak punya pengalaman).

Satu hal yang tak mungkin saya lupakan: menulis Buletin Jumat tentu harus bersandar kepada Al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, pertama, saya bukan lulusan pesantren atau sekolah agama. Kedua, saya baru mulai belajar menulis.

Menulis tema yang aktual, menurut saya, lebih baik. Alhamdulillah, di titik ini, saya agak cepat menemukannya karena punya hobi membaca sejak SD. Masalahnya, dari mana materi untuk melengkapi pembahasannya? Dari mana sumber rujukan kajiannya?

Alhamdulillah, jalan keluar terbuka. Di antara banyak koleksi buku saya, ada satu yang berjudul Indeks Al-Qur’an. Buku dengan sampul berhias kaligrafi inilah yang, jika boleh disebut, paling berjasa menemani saya belajar menulis.

Baca Juga:  Ngaji Literasi di Masjid Ibnu Katsir: Menjadikan Pena sebagai Jalan Dakwah

Sebagai contoh, ketika saya akan menulis tema ilmu, lewat Indeks Al-Qur’an itu saya mudah menemukan ayat-ayat yang membahas ilmu. Begitu juga saat mengulas tema lain seperti iman, hijrah, dan jihad. Pun, tema-tema seperti doa, silaturahim, haji, dan sebagainya.

Perlu dicatat, ini terjadi pada 1996. Saat itu, Indeks Al-Qur’an digital belum ada. Barulah pada 2013 mulai muncul versi digitalnya. Dengan versi digital, semua menjadi lebih mudah.

Manis dan Manis

Saya ingin menulis sejak 1978. Namun, saya baru mulai menulis—dan langsung rutin tiap pekan untuk buletin Jumat—pada 1996. Sejak itu, alhamdulillah, pengalaman dan keterampilan mulai terasah.

Berikutnya, saya mendapat banyak manfaat. Sejak lama saya ingin bisa menulis artikel opini, karena saya hobi membaca segala jenis tulisan, termasuk artikel opini.

Alhamdulillah, pada 1998, untuk pertama kali artikel opini saya dimuat di koran terbesar di Jawa Timur. Sejak itu, relatif banyak tulisan saya dimuat di koran itu, paling banyak berupa artikel opini. Kadang berupa resensi buku. Pernah juga menulis kajian khusus yang hanya muncul di edisi Ahad. Kala itu, naskahnya panjang, hampir separuh halaman koran.

Di antara kenangan spesial lainnya adalah polemik saya dengan seorang dosen dari salah satu perguruan tinggi di Malang. Kenangan lain: ada tulisan saya yang merespons tulisan seseorang, kemudian ada dua tulisan dari dua dosen yang “mengepung” tulisan saya.

Pada 2012 saya mulai menulis buku. Judulnya Warnai Dunia dengan Menulis. Dari belasan buku saya, salah satu yang berkesan adalah 50 Pendakwah Pengubah Sejarah. Buku yang diterbitkan pada 2016 itu sudah cetak ulang sampai keempat kalinya.

Ada lagi yang menggembirakan. Buku saya Menulislah, Engkau Akan Dikenang terbit pada 2024. Ketika pada tahun yang sama diterbitkan di pameran buku di Kuala Lumpur, alhamdulillah, buku yang dibawa habis terjual.

Guna Indeks

Alhamdulillah, meski terlambat (baru mulai menulis artikel pada 1996), sekarang mungkin sudah lebih dari seribu artikel saya. Terakhir, sudah belasan buku karya saya, dan dua judul buku sedang dalam proses penyelesaian.

Tentu, meski karya saya relatif sedikit, saya tak putus bersyukur kepada Allah. Lalu, saya tak boleh melupakan semua orang yang telah membantu saya, baik langsung maupun tidak langsung. Kepada mereka, terima kasih dan doa: Jazakumullah khayran katsiran.

Di antara yang membantu saya secara langsung adalah penulis buku Indeks Al-Qur’an. Buku itu pertama kali terbit pada 1984. Karya sepasang suami-istri, Sukmadjaja dan Rossy Yusuf.

Baca Juga:  Penjurusan di SMA Didukung Pakar Bahasa dan Sastrawan

Apa itu indeks? Menurut KBBI, indeks adalah daftar kata atau istilah penting yang terdapat dalam buku (biasanya di bagian akhir), tersusun menurut abjad, yang memberikan informasi mengenai halaman tempat kata atau istilah itu ditemukan (https://kbbi.web.id/indeks, diakses 26 Mei 2025).

Dengan demikian, secara singkat, fungsi indeks adalah:

  1. Mempermudah pencarian informasi spesifik dalam buku tanpa harus membaca seluruh isi buku.

  2. Meningkatkan efisiensi waktu pembaca dalam menemukan topik yang dibutuhkan.

  3. Membantu pembaca menghubungkan berbagai bagian buku yang membahas hal serupa.

  4. Menjadi panduan cepat bagi pembaca yang ingin menelaah buku secara tematik.

Kisah si Biru

Kembali ke Indeks Al-Qur’an. Buku ini adalah salah satu referensi penting. Isinya memudahkan pencarian ayat-ayat Al-Qur’an. Penulisnya: Sukmadjaja Asyarie dan Rossy Yusuf, pasangan suami-istri.

Sampul Indeks Al-Qur’an berwarna biru. Tebalnya, xxi + 252 halaman. Penerbitnya Pustaka Bandung. Pertama kali terbit pada 1984. Isinya “hanya” berupa daftar kata dan beberapa kalimat dalam Al-Qur’an beserta nomor surat dan ayatnya.

Menarik, sebab biasanya indeks hanya ada di bagian akhir buku dan beberapa halaman. Sementara, Indeks Al-Qur’an justru menjadi isi utama buku. Tentu, ini tidak mengherankan karena merupakan indeks dari Kitab Suci Al-Qur’an.

Bagaimana latar belakang penulisannya? Buku ini ditulis untuk menjawab panggilan hati si penulis. Sukmadjaja sering mengalami kesulitan dalam mencari jawaban masalah kehidupan yang diyakininya ada dalam Al-Qur’an. Dia yakin, masalah yang sama juga dialami banyak umat Islam lainnya, terlebih yang tidak pandai berbahasa Arab.

Sukmadjaja memutuskan untuk mulai menyusun kata-kata dari Al-Qur’an sekaligus nomor surat dan ayatnya. Pengumpulan dan penyusunan dimulai pada pertengahan 1980, sebelum dia berangkat untuk tugas belajar di Paris pada Maret 1982.

Saat tinggal di Paris, penyusunan Indeks Al-Qur’an diteruskan oleh Rossy Yusuf, istrinya. Pengerjaan selesai akhir 1983, di Bandung, ketika sang suami masih kuliah di Paris. Artinya, sang istri yang sedang berjauhan dengan suami berhasil menyelesaikan karya dakwah yang sudah digagas suaminya.

Baca Juga:  Hanya Orang Bodoh yang Meminjamkan Buku, Hanya Orang Gila yang Mengembalikannya

Benar, karena kesabaran dan ketekunan Rossy, akhirnya Indeks Al-Qur’an dapat diselesaikan selama sekitar satu setengah tahun sejak keberangkatan Sukmadjaja ke Paris. Secara keseluruhan, naskahnya selesai hampir empat tahun sejak penyusunan awal.

Mengapa Indeks?

Sebelum muncul ide menulis Indeks Al-Qur’an, Sukmadjaja merasa beruntung karena kuliah di ITB. Sebagai mahasiswa, dia terbantu oleh buku-buku yang dilengkapi indeks. Dengan itu, dia dapat mencari informasi yang dibutuhkan tanpa harus membaca secara lengkap.

Pengalaman seperti itu sangat umum. Peran besar indeks dalam sebuah buku tak bisa diabaikan. Karena itu, Sukmadjaja merasa gelisah saat menyadari bahwa banyak buku terbitan Indonesia belum dilengkapi indeks, sementara buku terbitan Eropa, Amerika, bahkan Rusia (sepengetahuannya) sudah memuaskan dalam hal ini.

Hal lain yang Sukmadjaja temukan dalam Al-Qur’an adalah adanya ayat-ayat atau peristiwa yang berulang-ulang ditulis. Ayat-ayat seperti itu sangat menyentuh hatinya dan mendorongnya untuk merenungkan maknanya lebih dalam.

Terus Kobarkan

Demikianlah, sebuah buku lahir karena kebutuhan. Buku beredar, dan banyak pemakainya mendapatkan manfaat besar. Ketika buku terus dipakai orang, tentu terlihat nilai dakwahnya yang berumur sangat panjang.

Terkait kisah Sukmadjaja dan istrinya yang sukses menulis Indeks Al-Qur’an, kita jadi teringat Hamka. Di antara kalimat berharganya, Hamka mengatakan bahwa dirinya tidak dapat menunjukkan teori khusus tentang bagaimana menjadi penulis. Namun, calon penulis harus banyak membaca. Dengan kekuatan membaca tulisan orang lain, akan timbul dorongan untuk turut menulis.

Sukmadjaja rajin membaca. Dia merasa lebih terbantu jika buku yang dibaca dilengkapi indeks. Saat dirasa Al-Qur’an akan lebih mudah dipelajari jika memiliki indeks, Sukmadjaja pun menulis buku Indeks Al-Qur’an.

Saya sendiri suka membaca sejak kanak-kanak. Mulai terpikir untuk menulis sejak SMA, walaupun baru terwujud beberapa tahun kemudian. Saya sangat bersyukur kepada Allah. Di tahap awal belajar menulis, saya sangat terbantu dengan keberadaan Indeks Al-Qur’an karya pasangan Sukmadjaja dan Rossy Yusuf.

Semoga kisah sederhana ini menginspirasi kita. Tetaplah istikamah, suka membaca, dan senang menulis. Jangan pernah padamkan keinginan untuk menulis, kata Hamka. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni