
Dina ingin suaminya lebih romantis. Tapi yang tak ia tahu, cinta itu sedang berpacu dengan waktu—dan sebuah dasi biru menyimpan rahasia perpisahan yang tak sempat diucapkan.
Cerpen oleh Dwi Taufan Hidayat
Tagar.co – Dina merasa rumah tangganya sepi seperti kamar tanpa jendela. Suaminya yang dulu hangat, kini dingin dan nyaris tak menyapa. Ia pun memulai sebuah ikhtiar sunyi—bukan untuk mengubah nasib, melainkan untuk menyentuh hati yang sempat menjauh. Tapi yang tak ia tahu, akhir kisah ini justru menyimpan kejutan yang mengguncang.
Suatu malam, di sudut ruang tamu, Dina menunduk menatap layar ponsel yang menampilkan unggahan berjudul: “Tip Membuat Suami Cuek Menjadi Lebih Romantis.” Ia tak mencarinya, hanya terpaut pandang saat menggulir linimasa. Tapi kalimat-kalimat di dalamnya seperti mengetuk hatinya.
Baca juga: Ketika Imam Kecil Itu Lari
Sudah hampir tiga tahun ia dan Bagas menikah. Awalnya penuh tawa dan obrolan kecil di malam hari. Tapi perlahan, waktu mencabut kehangatan itu. Bagas berubah menjadi pendiam dan asing, seolah mereka tinggal bersama hanya karena tak ada pilihan lain.
Dina bukan tak mencoba. Tapi setiap kali ia bicara, respons Bagas hanya sebatas anggukan, senyum tipis, atau bahkan diam. Ia merasa pernikahannya mengambang di ruang hampa. Namun setelah membaca unggahan itu, ada percikan cahaya kecil dalam pikirannya yang gelap.
Tanpa menandai hari atau membuat rencana besar, Dina mulai bertindak. Ia menyapa lebih lembut, menyiapkan teh manis dengan irisan jahe, dan tak lagi mengeluh saat Bagas sibuk dengan hobinya. Tak ada drama. Hanya perubahan sunyi yang ia jaga rapat-rapat.
Setiap kali Bagas pulang kerja, Dina menyambutnya dengan senyum utuh. Kadang, ia menyelipkan catatan kecil di saku celana kerja Bagas: “Terima kasih sudah berjuang hari ini.”
Lambat laun, hal-hal kecil mulai berubah. Bagas menghabiskan teh yang disuguhkan. Ia menyisakan sepotong ayam kesukaan Dina. Sesekali, sandal rumah Dina sudah tertata rapi. Kecil, tapi berarti.
Tanpa sadar, Dina menjadi lebih sabar, lebih hangat, dan lebih bijak. Ia belajar mencintai tanpa menuntut balasan. Ia memberi tanpa merasa berkorban. Semua itu mengalir begitu saja—mungkin karena cinta, mungkin karena tak ada yang bisa ia andalkan selain harap bahwa semua bisa membaik.
Satu malam, saat hujan tipis turun dan listrik padam, mereka duduk bersama di ruang tamu hanya diterangi cahaya lilin. Bagas berkata, “Aku suka lilinnya.” Dina terkejut, bukan karena pujian itu, tapi karena suara itu datang dari seseorang yang selama ini terasa bisu.
Ia pun menyiapkan kejutan kecil: sop buntut dan es jeruk dengan madu. Di meja makan, ia letakkan dasi biru dongker yang ia beli diam-diam. Motifnya garis-garis lembut, seperti dasi yang dulu pernah Bagas bilang ia suka saat mereka masih pacaran.
Bagas tak langsung bereaksi. Tapi sebelum makan, ia menatap Dina dan berkata, “Terima kasih.” Hanya itu. Tapi cukup untuk membayar ratusan hari sunyi.
Namun hari-hari damai itu tak berlangsung lama. Bagas semakin sering pergi keluar kota, katanya karena tugas. Ia jarang mengangkat telepon, dan semakin sulit diajak bicara. Suatu pagi yang mendung, Dina masuk ke ruang kerja Bagas untuk merapikan. Di atas meja, ada map cokelat dengan amplop putih bertuliskan: Untuk Dina.
Perasaannya tak enak. Ia buka perlahan.
“Dina,
Maaf aku tak pernah jadi suami yang romantis. Tapi aku mencintaimu setiap hari, dalam diam, dalam tubuh yang makin lemah.
Aku tak bisa berbohong lebih lama. Aku menderita tumor otak sejak dua tahun lalu. Aku tahu aku seharusnya bercerita, tapi aku tak ingin mengubah cara kita hidup. Aku ingin kau tetap melihatku sebagai suamimu, bukan sebagai pasien.
Kamu membuat hari-hariku lebih kuat. Kau menyentuhku lewat teh hangat, senyum yang tak menuntut, dan kejutan-kejutan kecil yang membuatku merasa cukup.
Aku takut, bukan karena sakit, tapi karena tak sempat membalas semua cinta yang kau beri.
Maaf karena aku akan pergi lebih cepat. Tapi jika anak kita nanti bertanya, ‘Apakah Ayah mencintai Ibu?’, jawablah: ‘Lebih dari yang bisa Ayah ucapkan.’
Dasi itu… kupakai di hari aku menulis surat ini. Bukan untuk presentasi. Tapi untuk mengucapkan selamat tinggal.”
Tangis Dina pecah. Dunia serasa berhenti. Semua perjuangannya, ternyata bukan untuk mengubah suami yang cuek, tapi untuk menemani seseorang yang diam-diam tengah mempersiapkan kepergian.
Di ruang kelas TK, seorang anak laki-laki memakai dasi biru dongker sambil membaca puisi untuk ibunya. Dina duduk di bangku paling depan. Air matanya menetes, tapi bibirnya tersenyum.
Bagas mungkin telah pergi. Tapi cintanya tertinggal—dalam teh hangat, dalam cahaya lilin, dalam catatan kecil, dalam dasi yang kini diwariskan.
Dina dulu ingin mengubah Bagas menjadi lebih romantis. Tapi ternyata, Bagas sedang menyembunyikan luka agar Dina bisa tetap mencintai tanpa takut. Yang selama ini tampak dingin, hanyalah wujud cinta yang diam-diam ingin melindungi.
Romantis bukanlah soal bunga atau kata manis, tapi tentang memberi waktu, menerima kekurangan, dan mencintai dalam sunyi yang paling dalam. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni