
Valentine dirayakan sebagai hari kasih sayang, tapi benarkah cinta sejati butuh momen khusus? Atau justru ini romantisme semu yang melunturkan nilai moral? Mari renungkan, apakah Valentine benar-benar diperlukan?
Opini oleh Sujarwa, pendidik
Tagar.co – Setiap tanggal 14 Februari, dunia ramai merayakan Valentine’s Day. Katanya, ini hari kasih sayang. Tapi jika kita perhatikan, apa benar isinya kasih sayang? Atau justru ajang maksiat yang dinormalisasi?
Baca juga: Krisis Moral Anak Muda: Dosa Siapa?
Budaya ini datang dari Barat dan diadopsi tanpa pikir panjang. Anak muda terbuai dengan romantisme semu—bunga, cokelat, hingga pergaulan bebas. Padahal, dampaknya jauh lebih besar: hancurnya moral, rusaknya akhlak, dan semakin lemahnya generasi.
Sejarah di Balik Valentine
Perayaan Valentine memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Mengutip kompas.com, salah satu legenda paling terkenal adalah kisah Santo Valentinus, seorang pendeta di Roma pada abad ke-3 Masehi. Menurut cerita, Kaisar Claudius II melarang pernikahan bagi para pemuda, dengan alasan bahwa pria lajang lebih baik sebagai prajurit.
Valentinus menentang dekret ini dan tetap menikahkan pasangan muda secara rahasia. Akibat tindakannya, ia ditangkap dan dihukum mati pada 14 Februari. Sebelum eksekusi, Valentinus dikatakan menulis surat kepada putri sipir penjara yang telah disembuhkannya dari kebutaan, menandatanganinya dengan “Dari Valentin-mu.”
Festival Lupercalia juga sering dikaitkan dengan asal-usul Valentine. Ini adalah perayaan Romawi kuno yang diadakan pada 15 Februari untuk menghormati dewa kesuburan, Lupercus. Dalam festival ini, seperti ditulis tempo.co terdapat ritual yang melibatkan pemilihan pasangan melalui undian, yang dianggap sebagai cikal bakal tradisi romantis pada Hari Valentine.
Mengutip Wikipedia hubungan antara Valentine dan cinta romantis mulai muncul pada abad ke-14, terutama melalui karya penyair Inggris, Geoffrey Chaucer. Dalam puisinya “Parliament of Fowls,” Chaucer menulis tentang burung-burung yang memilih pasangannya pada “seynt Valentynes day.” Ini menandai salah satu referensi tertulis pertama yang mengaitkan Hari Valentine dengan konsep cinta romantis.
Seiring waktu, industri modern menjadikannya ajang komersialisasi besar-besaran, menjauh dari nilai awal yang diklaimnya.
Budaya Asing yang Dianggap ‘Modern’
Valentine bukan satu-satunya budaya yang membawa mudarat. Ada April Mop yang mengajarkan kebohongan, perayaan ulang tahun dengan pesta hura-hura, Halloween yang penuh unsur mistik, serta budaya pacaran yang lebih dekat ke zina daripada ke kasih sayang yang sesungguhnya. Semuanya dijajakan sebagai ‘tradisi modern’ yang keren, padahal hanya jebakan gaya hidup bebas.
Pertanyaannya, mengapa banyak anak muda tergiur? Jawabannya sederhana: kurangnya pegangan agama, lemahnya kontrol sosial, dan pengaruh media yang terus menggiring opini bahwa semua itu adalah hal biasa.
Kasih Sayang Sejati Tak Perlu Satu Hari
Kasih sayang yang sejati tidak butuh satu hari khusus. Islam sudah mengajarkan cinta dan kasih sayang dalam bingkai yang suci—kepada orang tua, keluarga, dan pasangan halal. Jangan sampai kita terjebak dalam euforia budaya asing yang justru menjauhkan dari nilai-nilai agama.
Maka, sebelum kita ikut-ikutan merayakannya, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini sesuai dengan budaya Timur yang menjunjung tinggi moral dan etika? Apakah ini memperkuat jati diri kita sebagai bangsa yang berakar pada nilai luhur? Apakah budaya ini mendekatkan kita kepada Allah atau justru menjauhkan?
Kasih sayang tidak butuh tanggal tertentu, tetapi harus ada dalam keseharian kita dengan cara yang benar dan penuh makna. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni