Hamka, dalam pandangan banyak orang, adalah pribadi yang memiliki banyak ilmu. Di antara banyak predikat yang disematkan kepadanya, sebutan Ulama Besar adalah yang paling mengesankan.
Tagar.co – Kita harus pandai berterima kasih kepada orang lain, terutama bagi yang telah memberikan jasa kepada kita. Ucapan terima kasih, dengan berbagai ekspresinya, adalah sebentuk ungkapan syukur.
Hamka, dalam pandangan banyak orang, adalah pribadi yang memiliki banyak ilmu. Rasanya, di antara banyak predikat yang disematkan orang kepadanya, sebutan Ulama Besar adalah yang paling mengesankan.
Banyak tokoh, yang menjadikan buku karyanya sebagai salah satu media untuk menyampaikan ucapan terima kasih. Ucapan itu biasanya ditujukan kepada sejumlah orang atau pihak yang dirasa berjasa secara langsung atau tidak, turut mengantar kesuksesan bagi si penulis.
Hampir selalu, pihak yang mendapat ucapan terima kasih adalah orangtua si penulis. Setelah itu, sejumlah pihak, termasuk guru si penulis.
Guru-Guru Hebat
Jika kita masukkan Hamka sebagai Ulama Besar, maka yang mendidiknya pastilah guru-guru yang hebat. Di titik ini, Hamka tak melupakan jasa mereka.
Maka, antara lain di Kata Pengantar buku Falsafah Hidup karyanya (yang ditulis pada 1940), Hamka memanfaatkannya untuk menyampaikan terima kasih. Caranya, dia diskripsikan keutamaan masing-masing guru. Terasa pula, itulah salah cara untuk menunjukkan bahwa Hamka mencintai guru-gurunya.
Adapun Falsafah Hidup adalah satu dari empat rangkaian karya Hamka sebagai bagian dari lebih dari seratus judul buku karyanya. Berturut-turut, “empat serangkai” itu adalah: Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Budi, dan Lembaga Hidup. Oleh Hamka, keempat buku ini disebut sebagai “Mutiara Filsafat”.
Baca juga: Presiden RI yang Terabaikan, Sjafruddin Prawiranegara
Kita buka buku Falsafah Hidup, cetakan XIII (2002). Di bagian awal, Hamka mengenang beberapa guru terbaiknya. Mereka, adalah; Pertama, Fachrodin. Di depan Hamka, dia berani dan tegas. Sifat itu lalu sangat menginspirasi Hamka. Fachrodin “Menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula,” aku Hamka.
Kedua, Mas Mansur. Di muka Hamka, dia suka filsafat Islam dan bagus saat mengupas sejarah Islam. “Itu pula yang mendorong saya buat menyelidiki Tarikh Islam,” kata Hamka.
Ketiga, HOS Tjokroaminoto. Bagi Hamka, dari dia untuk kali pertama mendapatkan pandangan Islam dari sisi ilmu pengetahuan Barat. Memang, pada sekitar 1923 Hamka ke Yogyakarta. Di situ, HOS Tjokroaminoto mengajarinya “Islam dan Sosialisme”.
Keempat, A. Hassan dan M. Natsir. Ketika Hamka ke Bandung pada 1929, A. Hassan dan M. Natsir yang memimpin majalah Pembela Islam memberinya kesempatan untuk turut menulis di dalamnya. Hamka pun merasa mendapat pelajaran jurnalistik.
Hanya saja, kata Hamka, “Dasar yang saya dapat, ialah dari dua orang besar”. Keduanya, Dr. Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka sendiri) dan AR Sutan Mansur (kakak ipar Hamka).
Ungkapan Spesial
Di bagian paling awal buku Falsafah Hidup, ada judul “Persembahan kepada Tuan Guru AR Sutan Mansur”. Disebutkan, buku ini ditulis setelah Tasawuf Modern.
Berikutnya, ini yang sangat penting, pengakuan Hamka bahwa ketika menulis buku tersebut dia mendapat banyak inspirasi dari pelajaran-pelajaran yang pernah didapatnya lewat AR Sutan Mansur. Lebih dari itu, ilmu-ilmu yang berasal dari Sutan Mansur telah lekat dalam hatinya. “Itulah bekal saya berjuang di medan hidup,” sebut Hamka.
Diakui oleh Hamka, semua pelajaran dari Sutan Mansur menjadi penerang baginya saat mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Kesan Hamka, atas karya-karyanya, itu hanyalah semacam percikan dari keluasan ilmu AR Sutan Mansur.
Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah
Hamka tutup halaman persembahan itu dengan menulis: “Saya susunkan buku ini, dan saya jadikan persembahan kepada Tuan. Persembahan adik kepada kakaknya dengan artian sempit, persembahan murid kepada gurunya dalam artian luas.”
Masih di paragraf penutup, ada pernyataan jujur ini: “Jika ditilik segenap isinya, tak ubahnya saya dengan seorang yang mencurahkan air ke dalam lautan maha besar,” kata Hamka.
Jika begitu siapa AR Sutan Mansur? Jika Hamka sudah kita kagumi karena ketinggian ilmunya, maka seperti apa gerangan ilmu yang dimiliki AR Sutan Mansur?
Ya, siapa Sutan Mansur? Untuk itu, berikut ini sebagian dari diskripsi Hamka sendiri atas gurunya itu. Diskripsi tersebut adalah ungkapan terima kasih Hamka atas ilmu-ilmu yang didapatnya sekaligus ekspresi cintanya.
Guru Spesial
Hamka, pada 1923, ke Yogyakarta dan terus ke Pekalongan. Di Pekalongan tinggal AR Sutan Mansur (istri AR Sutan Mansur adalah kakak kandung Hamka). Kecuali itu, sebelum ke Pekalongan, ada yang sangat istimewa. Bahwa, AR Sutan Mansur adalah “Murid terpandai ayahku,” kata Hamka.
Kepada kakak iparnya itulah Hamka belajar agama. Kemudian, ada beberapa kesan khusus yang didapat dari AR Sutan Mansur yang lahir di Maninjau Sumatera Barat pada 1895 itu. Kesan yang sangat memberi Hamka semangat berdakwah dalam bingkai pembaharuan.
1. Di Pekalongan, Hamka mulai mengenal AR Sutan Mansur sebagai orang yang tidak pernah lepas dari “yang dua yaitu Al-Qur’an dan Fathur Rahman”. Hal yang disebut terakhir, Fathur Rahman, adalah buku yang berisi panduan mencari ayat Al-Qur’an.
2. Ketika itu AR Sutan Mansur baru saja memasuki pergerakan Muhammadiyah. Sebelumnya, dia telah berjumpa dengan Ahmad Dahlan.
3. Di Pekalongan, AR Sutan Mansur meninggalkan usahanya yang mulai berkembang. Dia lalu memberikan pelajaran kepada masyarakat dengan berbekal “yang dua yaitu Al-Qur’an dan Fathur Rahman”. Sejumlah muridnya, terbilang terpelajar, seperti Pudjotomo dan Mohammad Roem (dua kakak-beradik). Ada juga saudagar-saudagar asal Minangkabau yang punya usaha di Pekalongan.
4. Di pengajian itu, Hamka mulai mendengar kajian dengan sentuhan yang menyegarkan pikiran. Hamka mendapatkan uraian yang belum pernah didengarnya.
Baca juga: Diplomasi Jenaka Haji Agus Salim: Dari Jenggot hingga Pusar Adam
5. AR Sutan Mansur seorang pembaharu yang luar biasa. Tentang seberapa tinggi kadar pembaharuannya, berikut ini ilustrasinya. Dr. Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dikenal sebagai pembaharu. Tapi demi melihat kajian AR Sutan Mansur (yang tak lain pernah menjadi muridnya), dia sempat menilai sebagai “gila”. Sementara, bagi masyarakat Minangkabau, pembaharuan AR Sutan Mansur cukup menggoncangkan.
6. Ulama-ulama seluruh Minangkabau yang sejak 1908 telah terpecah karena selisih paham, kemudian AR Sutan Mansur-lah yang menyatukan mereka. Memang, badannya lemah (karena penyakit). Tetapi “Jiwanya cukup bersinar,” kata Hamka.
7. Di internal Muhammadiyah waktu itu, kata Hamka, barangkali AR Sutan Mansur-lah orang kedua yang aktif menggelorakan jiwa Muhammadiyah di Indonesia sesudah Ahmad Dahlan.
8. Kalau terjadi perselisihan-perselisihan di antara Pengurus Pusat Muhammadiyah, hal itu dapat reda kembali kalau AR Sutan Mansur datang ke Yogyakarta. Pendek kata, pendapatnya didengar orang banyak.
Baca juga: Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja
9. Pertimbangan AR Sutan Mansur diminta orang. Ini seperti saat Mas Mansur (kelahiran Surabaya) akan diangkat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sebelumnya, tokoh itu meminta nasihat kepada AR Sutan Mansur. Padahal Mas Mansur itu “Lebih luas ilmunya,” kata Hamka.
10. Jika AR Sutan Mansur membaca Al-Qur’an, dibacanya dengan lagunya sendiri. Lagu yang timbul dari hati sanubari, yang tidak dapat ditiru oleh orang lain. Dengan mendengar bacaan itu saja, jiwa kita sudah diketuknya. Hal ini, karena “Jiwanya yang berlagu,” kata Hamka.
11. AR Sutan Mansur pendidik yang baik. Dia dinilai bisa dan berhasil memberikan “Pendidikan Islam” dan bukan “Pengajaran Islam”.
12. Sepanjang hidupnya, AR Sutan Mansur sederhana. Di satu sisi, jejak dakwahnya luar biasa antara lain terlihat dari banyak muridnya yang menjadi tokoh terkemuka. Tetapi tidak jarang terjadi, “Anak dan istrinya menyatakan beras yang akan ditanak belum ada,” kenang Hamka. Jika pun ada uang di tangan, diberikannya saja kepada orang yang kesusahan.
Demikianlah, sekadar beberapa keistimewaan AR Sutan Mansur di depan Hamka. Hanya saja, Hamka berusaha jujur. Sang adik ipar sekaligus murid itu juga menyebut sisi lemah AR Sutan Mansur. Dalam hal keorganisasian, AR Sutan Mansur “Tidak ahli tentang itu,” kata Hamka. Meski begitu, lanjut Hamka, “Jiwanya meliputi kaum Muhammadiyah sejak dari Yogyakarta sampai ke ranting-ranting yang jauh”.
Tanda Cinta
Dari Hamka kita telah mendapatkan pelajaran. Pertama, jangan lupa berterima kasih kepada siapapun terutama kepada guru-guru kita. Kedua, di antara cara berterima kasih adalah dengan mengingat berbagai kebaikan dan keutamaan orang yang berjasa kepada kita.
Demikianlah, terasa ada getar cinta yang hangat Hamka kepada guru-gurunya. Kemudian, kuat terasa ada yang spesial posisi AR Sutan Mansur di hadapan Hamka sebagai murid. (#)
Penulis M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya; Penyunting Mohammad Nurfaoni